Posts

Showing posts from 2019

Menuju Negeri yang Jauh - Part 1

[Isinya curhat]

Baru-baru ini, ada isu agenda training terkait pekerjaan saya. Training ini akan dilaksanakan di kampung halaman sang vendor, di luar negeri. Meski tanggalnya sudah dipilih sejak sebulan sebelumnya, nyatanya persiapan tetap berdrama, tetap gedandapan.

Pada akhirnya kemarin semuanya sudah siap: tiket, penginapan, sangu, dan tentunya itinerary kasar. Kali ini saya tidak sendiri. Saya akan berpetualang bersama tiga kawan: Mas Nugroho, Mas Ervani, dan Mas Kridanto.

Tadi malam kami beranjak dari Madiun menuju ibukota. Tempat tinggal saya di Madiun paling dekat dengan stasiun tapi saya malah datang paling akhir hehehe. Pengalaman deh. Naik mobil ke stasiun ternyata lama. Kalau kondisi memungkinkan, mending jalan dikit untuk manggil tukang becak atau sekalian jalan saja ke stasiun.

Tiba di stasiun, saya lihat Mas Nugroho sudah menunggu. Langsung saya samperin tapi kemudian seorang anak kecil hampir nabrak saya. Ternyata anak itu anaknya Mas Nugroho. Menyadari bahwa itu anaknya Mas Nugroho, saya langsung menoleh mencari istrinya. Setelah menerima boarding pass dari Mas Nugroho, saya say hi dan salaman dengan istri Mas Nugroho. Selanjutnya saya juga dikenalkan dengan orang tua mereka. Ga tahu sih itu orang tua atau mertuanya Mas Nugroho. Saya belum menanyakan. Suasana hati saya saat itu berubah tidak enak.

Hari itu saya menyadari, saya merindukan hal seperti itu hahaha. Seumur hidup, saya tidak pernah pergi jauh diantar lengkap sekeluarga. Kebanyakan diantar bapak. Setelah bapak sakit, sering Om Bah yang mengantar, kadang Mbak, kadang Pak Jamik, kadang siapapun kerabat yang longgar.

Melihat Mas Nugrioho pamitan, terutama sama anaknya, hati saya makin ga enak. Ditambah saya juga lihat Mas Ervani diantar istri dan anaknya, makin ga enak. Refleks yang saya lakukan adalah menghindar. Menjauh. Tidak ingin melihat momen itu. Maaf ya, Mas-mas. Bukan apa-apa. I just can't handle my emotions. I don't want my tears come out. Untung saja Mas Kridanto sudah masuk area pemberangkatan. Tidak mengharuskan saya melihat jika dia diantar keluarganya. Hehe.

Saya iri kali ya wkwkwk. Saya rindu meski cuma diantar oleh bapak. Cuma diantar oleh beliau yang memberikan kesan tersendiri.

Sebenarnya ga cuma saat itu sih momen sedihnya. Siang saat makan siang sendiri, saya sempat terlarut hampir mbrebes juga mengingat akan pergi jauh. Perjalanan jauh selalu mengingatkan akan bapak. Dulu paling tidak, ada bapak yang melepas kepergian meski hanya via sms. Mengingatkan untuk berhati-hati, bersholawat, dan dzikir. Tak lupa mendoakan, dan selalu menanyakan keadaan. I miss him anyway haha.

Sudah sudah …

Tadi malam entah suhu pengatur Udara diset berapa oleh awak kereta. Dingin banget. Kata Mas Nugroho, itu gladi bersih kami wkwk. Tadi malam di kereta sudah kedinginan, di sana kayak apa …

Kami sudah tiba di Jakarta. Masih di mess menunggu waktu berangkat ke bandara. Semoga kami selamat sampai tujuan. Semoga yang kami usahakan berjalan lancar dan barokah.

Nongkrong pagi. Saya menyebutnya team building wkwk.

Kasmaran

Sensasi jatuh cinta sungguh menyenangkan. Oh bukan. Lebih tepat kubilang sensasi kasmaran menyenangkan. Karena cinta tidak melulu tentang bahagia, cinta pula yang bisa membuat seseorang bersedih bahkan berputus asa karena kehilangan atau ketidakcocokan.

Saat kasmaran, harapan melambung setinggi awan. Hal-hal yang sederhana mendadak berubah menjadi sesuatu yang spesial. Bayangan yang awalnya tak ada tiba-tiba menggelayuti pikiran dan enggan pergi. Saat inilah hati diuji.

Bukan serta merta seseorang yang bayangannya tak mau pergi ini pasti ditakdirkan untuk kita. Maksud hati ingin bersama tapi keputusan tetap di tangan Yang Maha Kuasa. Sangat boleh berdoa semoga berjodoh dengannya. Memang perintahNya untuk berdoa, bukan? Namun, doa bukan ajang memaksakan kehendak. Doa sejatinya adalah media menumpahkan segala rasa kepadaNya, bukan melulu tentang meminta dan harus dituruti sesuai keinginan hati.

Kasmaran memang sungguh menyenangkan. Nikmati saja. Tenggelamlah tapi jangan terbawa arus, nanti kamu hilang arah, sebuah quote yang dimodifikasi dari sebuah novel indie, "Teman Imaji". 

Pada akhirnya, Tuhan yang akan membimbing. Tuhan yang akan memilihkan. Mohon saja bimbingan pada Tuhan.

Buku dan Perjalanan

Sudah tak perlu ditanya lagi atas sukanya saya terhadap buku dan perjalanan, terutama solo travelling. Yah meski minat baca naik-turun kayak iman, perjalanan jauh pun juga jarang, tapi jauh di dalam lubuk hati, saya suka.

Buku sudah seperti teman. Hampir tiap ngga ngapa-ngapain yang kepikiran selain main hp cuma baca buku. Paling sering sih sebagai pengantar tidur. Buat bantal juga enak haha. Saya suka ketika saya bisa tenggelam di dunia yang dibuat penulis. Benar-benar tenggelam hingga mau menyudahi rasanya berat sekali, pantang berhenti sebelum habis. Benar-benar tenggelam hingga perlu berhari-hari untuk move on ke buku yang lainnya.


Saya suka ketika menemukan "oh iya ya" atau "wah bener juga" dan kawan-kawannya. Menemukan insight baru yang sedikit demi sedikit tertanam dalam jiwa. Terkadang menohok tapi itulah sebuah lecutan untuk memperbaiki diri. Menyemai perubahan dimulai dari diri sendiri. Halah


Belakangan saya menemukan teman baru karena buku. Gara-gara buku, saya bisa sok akrab dengan teman kantor yang sebelumnya cuma berinteraksi via WA dan cuma urusan kerjaan. Buku membuka pertemanan, membantu meng-overcome urusan socially awkward, mendorong keberanian untuk berbasa-basi wkwk. Karena basa-basi ini, saya jadi merasa lebih dekat dengan mereka. Saya bisa lebih kenal mereka dari buku-buku yang mereka baca pun dari tulisan-tulisan mereka (ternyata mereka juga gemar menulis).


Menyenangkan sekali menemukan orang-orang yang menyukai buku ataupun tulisan.


Lanjut. Perjalanan.


Hal yang paling saya suka dari perjalanan adalah excitement yang muncul. Umum sih ya, orang suka sesuatu karena excitement yang muncul atas sesuatu tersebut. Gimana ya, saya ga tahu excitement itu lebih tepatnya muncul karena apa. Saya suka saja ketika melihat sekeliling, benar-benar melihat. Saya suka ketika harus nekat melakukan sesuatu, misal bertanya pada orang asing. Saya suka sensasi berdebar ketika melakukan perjalanan pertama kali. Saya suka obrolan-obrolan dengan orang baru. Terkadang banyak insight yang didapat dari obrolan itu. Pun kadang juga mendapat teman baru. Syukur kalau bisa bertahan lama. Saya juga suka bahwa diam dalam perjalanan mengingatkan akan pesan bapak, "Jika nganggur di perjalanan, jika ga ada yang ngajak ngobrol, mending dzikir." Travelling mengingatkan banyak kenangan akan bapak karena banyak perjalanan yang diliputi oleh peran beliau. I just love anything in travelling.


Hampir setiap minggu saya melakukan perjalanan pulang-pergi Kediri-Madiun. Suatu hari di perjalanan rutin ini, saya bertemu seorang pemuda yang terlihat kebingungan. Rupanya dia hendak pulang ke Lampung. Itu rantauan pkali pertamanya kembali pulang ke kampung. Ini rantauan pertamanya, mudik pertamanya juga. Dia kebingungan. Saya coba bantu dia semampu saya. We exchanged number tho. Katanya kalau dia bingung nanti bisa ngubungi saya. Alhamdulillah dia sampai Lampung dengan selamat meski kabar buruk menyapanya sebelum tiba.


Dalam perjalanan itu, saya juga berinteraksi dengan seorang bapak-bapak yang ternyata guru sekolah luar biasa. Sampai saat ini, beliau bisa jadi teman perjalanan jika bertemu di perjalanan rutin Kediri-Madiun. Banyak kisah dan ilmu terutama tentang anak berkebutuhan khusus dari beliau.


Ada lagi ... Dulu dalam perjalanan pulang Madiun-Kediri, saya pernah berjumpa dengan sepasang sahabat yang juga menuju Kediri. Saat oper angkutan, kami sempat akan naik mobil sewaan bersama karena bus yang ditunggu tak kunjung datang. Belum sampai kuota mobil sewaan itu terpenuhi, bus Harapan Jaya Surabaya-Trenggalek sudah datang. Kami melarikan diri. Wahai bapak yang menyewakan mobil, maafkan kami.


Beberapa hari yang lalu saat saya naik bus Nganjuk-Madiun, tiba-tiba seorang mbak-mbak samping saya bertanya,

"Sampean orang Kediri kan?"
"???"
"Dulu yang mau naik mobil ga jadi itu bukan ya?"
Setelah sekian detik, "Lhooo kok masih inget saya, Mbak?"
It's amazing to be remembered. But it's more amazing that she still remember me.

Ada lagi ada lagi ... Hampir 4 minggu yang lalu, dalam perjalanan Kereta Gajayana Malang-Madiun, saya duduk bersebelahan dengan seorang cowo. Saya tak pernah menyangka obrolan kami bisa semenyenangkan itu sampai saya tak membiarkan diri saya tidur bahkan membaca buku pun urung. It's just so fun to talk to him. Kami bertukar ilmu dan cerita tentang pekerjaan dan kehidupan masing-masing. Kebanyakan kisah masa kuliah. Pertemuan itu sungguh membekas di hati. Semoga Tuhan mempertemukan kami kembali. Amin.


Itu cuma cerita baru-baru ini. Banyak cerita perjalanan lain yang mungkin selewat saya lupa. Lagipula tak mungkin ditumpah-ruahkan semua di sini.


Dua hal yang menyenangkan: buku yang sudah seperti teman, dan perjalanan yang membuka pertemanan, semoga menjadi salah satu media menuju jalan yang lurus.

Teruntuk Tuhan

Tuhan,
Terima kasih atas semua yang Kau beri
Atas teman-teman yang peduli
Atas orang-orang yang mau memahami
Atas kolega yang mendidik secara tak langsung
Atas segala kecukupan yang ada

Hidup ini ternyata anugerah
Kau beri aku kesempatan belajar
Bersenang-senang menikmati persahabatan
Berkesempatan berbakti pada orang tua
Menikmati menyenangkannya ekspresi cinta

Maka tolong maafkan aku
Yang hanya dengan sedikit cubitan-Mu sempat berputus asa
Yang hanya karena nila setitik
Terpikir rusak susu sebelanga

Padahal Engkau selalu ada
Sesungguhnya Allah selalu bersamamu di manapun kamu berada

Letter to Bapak (6)

Assalaamu'alaikum! Bapak, apa kabar?

Ini Ramadhan kedua tanpa sampean. Mendengar orang-orang di kos telponan dengan keluarganya membuatku ingat masa lampau saat kita sering berjumpa via telepon. Kita justru lebih dekat ketika fisik kita terpisah kota.

Aku ingat dulu aku pernah begitu antusias bercerita seberapa baik Allah hari itu padaku. Memberiku ini-itu di luar dugaanku. Berkesimpulan Allah baiiik banget. Sama seperti hari ini, hari ini banyak pemberian Allah berupa makanan untuk kami satu kos. Sama sekali tak terduga padahal komponen pendukung adanya makanan seperti biasa sedang kurang. Tapi Dia memberi dari jalan yang lain. Allah memang Maha Baik, Pak.

Bapak saiki lagi ngapain? Semoga Bapak diberikan tempat yang baik. Semoga Bapak bahagia.

Dadaaaaah
Wassalaamu'alaikum

A Letter to Bapak (5)

Bapak, semoga bapak bahagia. Jika memungkinkan, tolong titipkan pesan-pesanmu untuk kami pada Allah, semoga Dia sampaikan melalui alam. Entah kejadian, kehidupan sehari-hari, atau alam itu sendiri tanpa terjadi sesuatu. Mungkin ini kurang ajar, tapi aku yakin bertukar sapa dan berkirim pesan via Allah mungkin untuk dilakukan. Bukankah dulu bapak sering bilang, doa itu layaknya pesan. Jika sinyalnya kuat dan pemancar dan penerimanya baik, maka doa itu bisa sampai ke tujuan. Kuharap itu berlaku dan masih berlaku untuk kita. Semoga kami sendiri mampu membuat pemancar dan penerima sinyal yang baik dalam diri. Agar pesan kami, agar pesan bapak (jika memang ada), sampai ke tujuan. Karena mungkin, sebagai orang tua, banyak hal yang belum sempat bapak sampaikan. Pun dari kami, masih banyak hal yang ingin kami tanyakan dan obrolkan. Bahkan kami bertiga, anakmu, sepertinya belum sempat mengucapkan terima kasih dan mengatakan bahwa kami mencintaimu.


Pernah diposting di lapak tumblr. Direpost di sini agar surat-surat (gaib) ini terkumpul di satu tempat

A Letter to Bapak (4)

Assalaamu'alaikum.
Bapak, maturnuwun. Dulu aku belum sempat menyampaikan satu ungkapan ini. Terima kasih atas semua hal baik yang kau lakukan untukku. Terima kasih sudah sabar membimbing kami. Terima kasih sudah berjuang untuk kami. Terima kasih atas hal-hal kecil yang membuat kenangan manis atas momen dan nasihat-nasihat hidup.

Hari ini mulai Ramadhan. Aku kembali tidak di rumah. Setelah 5 tahun, akhirnya tahun lalu aku puasa sebulan penuh di rumah. Itu pun ternyata tanpamu. Sekarang di rumah pasti sepi. Hanya ada ibu dan adik. Semoga di sana meski sepi tak membuat hati kesepian.

Kapankah terakhir kali kita sholat berjama'ah? Apakah itu 2 tahun lalu? Aku bahkan lupa. Tarawih pertama seorang diri di kota baru ini membawa ingatanku padamu. Pada saat kita sekeluarga sholat berjama'ah. Juga pada saat kau tak bosan-bosan mengingatkanku di rantau untuk tarawih meski sendiri, meski hanya 8 rakaat.

Bapak, terima kasih atas semuanya. Sepertinya terlalu banyak hal darimu yang seharusnya kuberterima kasih atasnya. Terima kasih.

Salam,
Nala

Ramadhan Sebentar Lagi. Sudah Siap?

Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Jujur, saya miris melihat diri saya sendiri yang malah nggleyor. Belakangan saya merasa secara spiritual terjadi kemunduran padahal seharusnya saya menata hati, mempersiapkan diri untuk Ramadhan.

Karena kontemplasi beberapa tahun belakangan membuat saya sadar, Ramadhan bukan hanya sekadar puasa fisik. Kontemplasi yang akhirnya mempertanyakan apakah Ramadhan saya cukup berarti ataukah saya merugi?

Kontemplasi saya dimulai dengan melihat kenyataan banyak kompensasi-kompensasi yang diberikan ataupun saya lakukan karena sedang puasa. Contoh: bermalas-malasan. Memang puasa mungkin cenderung membuat badan lemas karena tidak mendapat asupan secara terus menerus, lantas apakah ini berarti wajar untuk menjadi bermalas-malasan?

Lalu urusan makan. Kalau saya pikir-pikir, puasa atau engga bagi saya sama saja dalam hal makanan. Karena saya biasa makan sehari dua kali. Kalau puasa jadi cuma geser jam makan saja kan? Lantas apa artinya semua ini kalau cuma geser jam makan? Pasti ada sesuatu yang lain.

Selanjutnya melihat perilaku banyak orang yang saya lihat termasuk diri saya sendiri saat waktu buka. Makanan yang disajikan sering dibuat spesial, tak seperti biasanya. Banyak orang berjualan ini-itu yang menurut saya akhirnya mengundang konsumerisme. Ditambah tak sedikit yang makan banyak-banyak selama waktu diperbolehkan makan. Jika demikian, apakah puasa yang kata orang untuk membersihkan fisik jadi menghasilkan hal yang sama? Apakah puasa yang katanya menahan diri hanya dilakukan pada saatnya lantas di saat berbuka kita mengumbar pemuasan nafsu?

Sebenarnya bermunculannya penjual spesial Bulan Ramadhan bukanlah hal yang negatif. Banyak orang mendapatkan rezekinya dari jalan itu dan itu bukanlah hal yang haram dilakukan. Memberikan hal spesial untuk diri sebagai hadiah atas perjuangannya juga bukan hal yang salah sama sekali. Hanya saja, mungkin kita perlu merenungkan diri apakah yang kita lakukan masih wajar atau sudah terlalu melenceng dari esensi utama.

Satu hal lagi yang menurut saya cukup berpotensi menjebak: persiapan lebaran. Gini. Entah pemikiran saya benar atau tidak, saya merasa ada yang salah dengan persiapan lebaran. Saya melihat di lingkungan kita sudah seperti sebuah keharusan untuk sementara "bermewah-mewah" untuk menyambut lebaran. Seolah-olah harus untuk membeli jajan lebaran ini dan itu, pakaian ini dan itu, ngasih parsel ini dan itu, dsb. Semua itu sama sekali bukan hal yang salah. Malah sebenarnya baik sebagai bentuk menghargai diri, orang lain, dan bulan suci itu sendiri. Tapi "seolah-olah harus"nya ini loh. Saya merasa miris ketika orang-orang harus memaksakan diri bekerja keras bagai quda sampai rela meninggalkan ... Sholat tarawih misal yang hanya ada setahun sebulan yang tidak akan ditemui selain di bulan dia bekerja keras bagai quda ini demi sebuah "adat" lebaran harus baju baru, jajanan enak terhidang, dan memberi sangu bocah-bocah. Apalagi kalau kerja keras bagai quda demi adat keharusan ini sampai membuatnya meninggalkan puasa. Sangat disayangkan kan? Padahal semua itu bukan keharusan. Itu hanya seolah-olah harus karena orang-orang umumnya melakukan hal yang demikian. Again, hal-hal tadi sama sekali tidak salah, hanya sepertinya rugi jika sampai melencengkan kita dari hal yang esensial.

Hal lain dimana saya sering merugi dalam bulan Ramadhan adalah gimana saya menjalani hidup seperti biasa saja. Kurang ada atau malah tak ada peningkatan kualitas diri dalam sebulan itu. Bulan yang harusnya di sana banyak agenda pdkt, banyak merenung, refleksi diri, berdoa, belajar, malah dilalui dengan biasa-biasa saja padahal kesakralan bulan itu luar biasa. Bahasa lainnya sih pahala lagi promo gedhe-gedhean.

Ketika Ramadhan berganti menjadi Syawal lantas bertanya-tanya apa yang meningkat dari diri. Dan apa yang ditemui?

Makanya menata hati menyambut bulan spesial ini perlu agar saat tiba, kita siap untuk tidak melewatkan promo yang ada. Pun siap untuk menyelam dan mendapat mutiara esensi dari kegiatan bulan ini.

The Weird Me: Pernikahan

Belakangan saya sadar ada satu hal lagi yang agak ga umum dari diri saya. Dari pengamatan saya di lingkungan, orang-orang seumuran saya rata-rata sudah memikirkan pernikahan, sudah ada keinginan untuk menikah. Ga jarang saya nemu mereka baper kalau ke mantenan atau sekedar dapet undangan ke nikahan.

Nah saat saya ngaca, kok yang saya dapati diri saya tidaklah demikian. Di beberapa kasus kehidupan memang entah kenapa saya antimainstream makanya agak susah nyari yang klop sepemikiran. Tak terkecuali kasus ini.

Saya sendiri seringnya merasa saya masih 16-17 tahunan. Ini ngomongin kelakuan dan psikologis loh ya. Saya sering lupa bahwa seumur-real saya sebenernya sudah menjadi hal yang biasa untuk memikirkan dan membicarakan perihal jodoh dan pernikahan.

Sekarang diri saya lebih mending loh. Sekarang saya sudah sadar bahwa hal tersebut wajar. Sebelum wisuda, saya masih merasa nikah itu urusan orang gedhe. Masih terasa memalukan untuk saya saat itu untuk membahas masalah jodoh.

Meski sadar bahwa sudah wajar, saya ga yang baper pengen nikah. Mungkin belum sih haha. Saya hanya sadar bahwa suatu saat saya akan menikah. Bahkan meski belum ada calon entah dapat wangsit dari mana, saya punya feeling saya akan nikah ga lama setelah kontrak kerja sekarang berakhir. Saya justru tertarik pada hal yang dilewati setelah pernikahan: tentang punya anak. Saya lebih tertarik dengan bahasan tentang bagaimana perasaan punya anak, bagaimana anggapan orang pada umumnya terhadap anak dan harusnya bagaimana, bagaimana cara mendidik anak, bagaimana orang tua berpengaruh terhadap anaknya, gimana rencana kegiatan (pekerjaan) saya kalau sudah punya anak, dsb. Intinya sih tentang gimana dealing dengan amanah yang namanya anak.

Di situlah anehnya saya. Menurut saya ketertarikan pikiran saya ini agak ga umum. Kayak loncat gitu soalnya. Sempet nanya ke satu orang sih apakah pas dia memutuskan punya anak sudah memikirkan konsekuensi bahwa harus begini begini, harus persiapan begini begini, harus berubah begini begini. Dan jawabanya: dia baru kepikiran setelah punya anak. Sementara saya malah ga baper nikah, ga mikirin nanti harus gimana ke suami, ... Harus mikirin apa sih soal pernikahan??? Saya malah lebih tertarik sama yang berhubungan dengan menjadi orang tua. Gatau sih kalau ternyata fenomena saya ini biasa aja. Hahaha

Cita-cita

Saya punya cita-cita baru: jadi penulis. Yang utama sih penulis buku baik fiksi atau nonfiksi tapi ga bisa dipungkiri saya juga pengen jadi content writer. BTW kalau dibilang baru, engga juga sih ya kan saya udah state ini publicly sejak saya update laman about haha.

Semakin ke sini, saya melihat menjadi penulis tuh keren banget. Saya pengen jadi penulis yang bisa membawa pembaca masuk ke dunia buatan saya. Berimajinasi, merasakan ketegangan, kebahagiaan, kesedihan, dan segala jenis emosi yang ada di tulisan saya. Orang yang sering baca pasti sadar ada beberapa perubahan yang terjadi pada diri mereka karena tulisan. Tulisan secara tidak sadar dapat merasuk di hati, menanamkan doktrin, mengembangkan harapan, menusuk kepala batu, mencuci otak, membuat perubahan. Keren kan?

Membiarkan orang lain membaca tulisan kita adalah sebuah tanggung jawab yang tidak main-main. Ya karena tadi: kita bisa menyemai perubahan umat melalui tulisan. Akan sangat membahagiakan jika karya kita turut berperan dalam sebuah perubahan menuju kebaikan.

Meski saya bercita-cita demikian, saya masih belum tau tulisan seperti apa yang ingin saya jadikan genre karya utama saya. Apakah cerita fiksi, atau puisi, atau sharing pengalaman dan motivasi, saya belum tahu. Saya latihan semampu saya saja dulu.

Saking pengennya saya jadi penulis, saya pernah nulis di status WA (hahaaa ga install ig sih wkwk hanya dishare ke sekitar 26 kontak pula), target saya ketika kontrak kerja saya habis sudah ada draft tulisan siap kirim ke penerbit. Kalau bisa sih pas kontrak berakhir bukunya udah terbit biar bisa dikasih buat kenang-kenangan ke best persons di tempat kerja kalau saya ga lanjut kontrak. Kalau lanjut yaaa tetep dikasih. Hahaha. Meski begitu, saya masih tetep belum kebayang sih buku kayak gimana yang cocok saya tulis. Mungkin ada yang mau kasih masukan berdasarkan pengalaman mengenal saya baik secara langsung atau melalui tulisan? Woy Nal, emang di sini ada yang baca? Kan lu milih bercurhat ria di sini karena ga ada yang baca wkwkwk.

Yaudah aminin aja lah ya cita-cita saya.

Cita-cita pertama saya adalah menjadi guru. Sudah sempat tercapai karena sebelumnya saya memang sempat ngajar les. Ngajar ternyata ngangenin juga. Dulu saya ngajar banyakan anak SMP. Saya merasa nyambung sama mereka. Hihihi

Selanjutnya, cita-cita saya kalau ga enjiner ya jadi ilmuwan. Masuk dunia kuliah, terseok-seok menghadapi dunia tapi tetap saja saya masih ingin jadi enjinir. Bahkan saya masih berani bermimpi kuliah enjiniring lagi meski menyadari keterseokan yang begitu berarti. Kesulitan yang pernah bikin diri kayak mayat hidup. Memenuhi ciri-ciri makhluk hidup tapi jiwanya mati. Kesulitan yang membentuk saya seperti sekarang ini, entah baik entah buruk.

Saat ini, posisi saya ada di cita-cita ini. Pengalaman selama beberapa bulan ini memang banyak menampar saya. Menyuburkan pikiran bahwa mungkin dunia saya bukan di sini. Tapi bisa jadi kan sebenarnya tempat saya memang di sini, cuma perlu waktu untuk belajar dan healing myself dari segala efek buruk pengalaman hidup sebelumnya.

Nanti jika saya harus meninggalkan pekerjaan ini, saya mau serius menulis dan nyemplung ke dunia pendidikan, ikut gerakan-gerakan di bidang pendidikan. Kalaupun nanti saya jatuh cinta cukup dalam sama enjiniring, saya akan tetap serius dengan dunia menulis, mungkin peran di dunia pendidikan yang porsinya akan agak kurang.

Dari kedua skema tadi sih common thing nya saya mau serius menulis. Ga peduli apakah akan menjadikannya profesi utama atau tidak. Yang jelas saya ingin karya saya dibaca orang banyak dan memberikan efek yang baik. Kalau bisa menekuni jadi penulis, enjiner, dan ikut gerakan pendidikan sih mantap syekali. Aamiin.

Cerita Saja (20)

Wah judul Cerita Saja muncul lagi! Terakhir muncul sekitar dua tahun lalu. Seperti namanya, Cerita Saja berisi sekadar cerita apapun yang ada di kepala. Alurnya tak beraturan. Hahaha.

Tadi malam saya nonton Mata Najwa On Stage Kediri (tapi di yutub haha). Tokoh tamunya orang-orang keren semua. Tapi jujur, di mata saya yang paling keren adalah Pak Fuadi, novelis, karena beliau yang pernah menginspirasi saya secara langsung melalui karya-karyanya. Hehehe.

Orang-orang keren emang biasanya penuh dengan energi positif. Energi itu menular ke orang-orang sekitarnya. Empat orang keren di panggung energi positifnya meluber-luber sampai ke saya yang cuma menikmati lewat hp ini. Dan entah bagaimana mereka bisa membangkitkan harapan, membangkitkan optimisme, membangunkan mimpi-mimpi yang terlelap tak berdaya ditelan realita.

Saya teringat akan impian saya. Mimpi untuk belajar di Jepang. Tak hanya Jepang sebenarnya tapi di manapun itu, sejauh apapun itu. Mimpi untuk keliling dunia. Apalagi saat ini saya lebih sering mengeluhkan hidup saya. Mengeluhkan hidup yang harus saya jalani karena keputusan yang didasari rasa tak enak. Hal ini menambah pertanyaan apakah saya harus mengejar mimpi saya untuk melanjutkan studi? Jika ya, saya perlu bersiap-siap sejak dini.

Kalau dipikir-pikir, mimpi lanjut studi terutama di luar negeri dan di institusi yang lebih baik daripada institusi yang saya tempati sebelumnya tuh sepertinya khayal buat saya. Malah mungkin saya tak tahu diri karena berkaca dari pengalaman sebelumnya, di sekolah sebelumnya saja saya terseok-seok, gelagapan untuk menyelesaikan tanggung jawab lha kok mau narget sekolah yang secara kualitas lebih baik dan keren. Lha wong dihadapkan dengan kerjaan begini saja ngeluhnya ga karuan lha kok mimpi masuk ke lingkungan akademik nan keren. Ini perang yang harus saya selesaikan dalam diri saya: ke mana sebenarnya saya mau melangkah.

Despite the pessimism above, bangunnya mimpi-mimpi itu mengingatkan saya pada seseorang yang spesial. I think we were close enough but now ... It seems great wall grows between us haha. Saya ingat bagaimana kami dulu berbagi impian kami. Kebahagiaan saya selalu membuncah, tumpah-tumpah setiap membicarakan mimpi bersama dia. Tak tahu dari sisinya apakah juga demikian.

Tiga bulan yang lalu saya memutuskan mengirimkan sebuah surat untuknya melalui e-mail. Tak berbalas. Saya sendiri tak tahu apakah dia sudah mengetahui surat tersebut dan sudah membacanya atau belum. Sebenarnya saya sudah bertekad bahwa menulis surat tersebut merupakan satu langkah untuk move on. Untuk mengeluarkan semua yang saya pendam agar lebih longgar ruang dalam diri. But even though I said that I wanna move on, nyatanya sudah tiga bulan dan saya belum bisa. This scares me karena jika ternyata takdir kami memang akan bersama orang lain, apakah bayangannya akan benar-benar pergi? Semoga. Semoga Allah jadikan itu mudah bagi saya. Semoga hidup masing-masing kami bahagia. Dan semoga kami tetap menjadi teman baik dan tak ada masalah terkait itu. Amin.

----

Ini saya kok tumben ngomongin ginian sih haha

Durhaka

Malu rasanya kala mendengarkan lagu-lagu romantis religius seperti lagu-lagu Maher Zain. Seperti munafik karena nyatanya yang saya lakukan atau rasakan belum sampai sejauh itu.

"You're the reason my life worth living, You're the reason I'm alive, I'll be lost without You, You're the reason that I strive."

Beluuum. Saya belum bisa berpikir seromantis itu dengan Tuhan. Dulu mungkin saya bisa menganggap Tuhan adalah "teman" saya. Kala saya sepi, sedih, senang, saya curhat padanya. Bukan lewat sholat, curhat biasa saja, jadi seperti orang ngomong sendiri. Dulu saya pernah bisa hingga tahap seperti itu. Sekarang entah kenapa tak bisa.

"Allah, every day I try to be as true as I can to You. Cause loving You the best I can will always be my number one and only plan"

Yaampun apalagi ini ... Setiap hari banyak lupa. Ditelan kesibukan dan berbagai permasalahannya.

Kalau dipikir-pikir, diri ini tidak tahu diri. Egois. Tuhan cuma nyuruh apa sih? Sholat misal, hal dasar yang harusnya mudah karena bisa diatur sedemikian rupa menjadi habit, sebuah media untuk berkeluh kesah lima kali sehari. Ironisnya, belum menemukan sebuah kekhusyukan di sana. Lebih memilih segera pergi daripada curhat panjang lebar setelahnya. Lebih ironis lagi, masih malas untuk menyegerakannya. Lebih lebih ironis lagi, masih belum bisa melengkapi kelimanya.

Yang diminta simpel loh padahal. Itu pun sebenarnya untuk kebaikan diri sendiri, baik secara fisik atau psikologis. Padahal mungkin itu bisa menjadi jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Jika pun harus dilogiskan agar percaya itu bisa jadi jalan keluar, ketenangan yang didapatkan setelah melakukan tentunya bukan hal yang bisa diabaikan, kan?

Sebenarnya saat ini bisa dibilang saya sedang rindu. Rindu saat saya bisa merasakan nikmat kala mendekat padaNya. Ketika yang terpikir dan terucap pertama kala mengeluh atau curhat adalah namaNya. Rindu ketika membaca dan merenungi ayatNya terasa nikmat. Rindu ketika ayatNya jauh lebih ingin kudengar daripada musik manapun. Rindu ketika tiba-tiba audio ayatNya yang kuputar menjawab kegelisahan yang sedang kurasakan.

Sayangnya, biarpun saya bilang saya rindu, usaha saya tak sepadan dengan yang saya katakan. Salah satu hal yang saya benci dari diri saya.

Menunggu Moment of Blossoming

Belakangan ini saya merasa tidak berguna. Saya merasa bodoh hingga tak dapat melihat adanya nilai tambah dengan adanya saya di lingkungan. Sebenarnya saya benci diri saya yang seperti ini. Karena ini kontras dengan satu nilai yang saya coba untuk percaya.

Saya yakin bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Saya percaya bahwa setiap hal, setiap orang pasti berguna, sekecil apapun value yang disumbangkaan.

Namun mengingat kepercayaan tadi ternyata tidak membantu memperbaiki mood. Anggapan bahwa saya tak dapat melakukan apa-apa tetap saja mengendap di kepala.

Saat seperti ini, saya perlu energi eksternal untuk menarik saya dari belenggu ini. Saya perlu seseorang untuk meyakinkan saya bertahan dan berjuang. Dulu ada bapak yang melakukan peran tersebut. Sekarang, untuk sementara, saya belum punya penggantinya.

Ngomong-ngomong soal kebergunaan diri, saya yakin setiap manusia sudah punya jalan masing-masing untuk menjadi berguna. Ada yang berguna lewat science, agama, komunikasi, kelihaian debat, ketekunan, kemandirian, ketahanan fisik, bahkan sampai bentuk fisiknya. Banyak aspek dari manusia yang memungkinkan dia berguna. Maka mereka yang bukan menjadi bintang kelas, bukan lah orang bodoh dan tidak mempunyai kesempatan untuk sukses. Bisa jadi potensi mereka bukan di bidang itu. Bisa jadi potensi mereka sebenarnya di bidang itu namun hanya perlu waktu untuk membuatnya bersemi. Seperti tanaman, manusia perlu musim dan tempat yang tepat.

Mungkin sekarang saya sedang di tempat yang kurang tepat. Atau sebenarnya sudah tepat tapi hanya perlu menunggu waktu dan moment of blossomingnya. Yang jelas, pasti ada skenario besar kenapa saya ada di sini.

Budaya (Minta) Traktiran

Di lingkungan saya, biasanya kalau ada seseorang yang dianggap patut merayakan sesuatu, paling sering sih ultah, teman-temannya akan minta traktiran. Ultah, dimintai traktiran. Dapet peringkat satu, dimintai traktiran. Jadian, dimintai traktiran. Semua-muanya aja traktiran wkwk.

Sebelumnya, saya merasa wajar saja dengan budaya ini. Tapi setelah ngobrol dikit dengan orang-yang-saya-lupa-namanya pas saya di Korsel, pikiran saya jadi berubah. Kenapa kalau ada yang ultah malah kita "palak" minta traktiran? Kenapa ga temen-temennya yang urunan nraktir dia? Bukankah jadi lebih ringan daripada satu orang harus mentraktir sekian banyak orang? Lagipula, siapa tahu orang yang sedang ultah ternyata sedang seret.

Tentang hal selain ultah juga begitu. Mungkin dia dapat rezeki, tapi siapa tahu rezeki itu benar-benar sedang dia butuhkan? Siapa yang tahu kalau rezeki itu untuk biaya rumah sakit misal. Eh malah kita "palak".

Kalau si dia dengan inisiatif sendiri mau sedekah, itu beda kasus. Terima saja dengan senang hati hahaha. Tapi kalau kita yang membuat dia "sedekah" dengan permintaan atau sindiran kita, menurut saya kok kurang pantas.

Letter to Bapak (3)

Halo, Pak!

Apa kabar? Aku sedikit kurang fit beberapa hari ini. Dingin. Hidung tersumbat. Batuk.

Dan aku rindu Bapak. Mungkin Bapak akan merawatku kalau ada di dekatku sini. Menawariuntuk membelikan makanan apapun yang aku mau. Menyuruhku istirahat. Tak lupa haruspakai jaket, berselimut, dan guling di kanan-kiri. Mengusahakan agar aku hangat.

Aku rindu.

On The Way Home - Part 1

23 Juni 2017
Assalaamu'alaikum!

I am on the way to my home rite now.
 Menunggu bus yang entah datangnya kapan. Sebenarnya masih banyak hutang cerita untuk ditulis di blog tapi masih belum sempat menuliskannya. Ada cerita voluntary activity terakhir, ada farewell parties, hari terakhir sebelum balik Indo, dan tentunya catatan perjalanan pulang ke Indo yang agaknya memberikan kesan tersendiri. Hahahaa

Well, perjalanan pulang saya ke Indonesia dimulai dengan berangkat jam 1.30 pagi dari kampus. Saya diantar sama 김원경, buddy saya. Saya agak ga enak gitu sih sama dia, soalnya itu tengah malem dan sebenernya bus saya ke bandara itu jam 2.30 am. Hahaaa jadi deh kami nunggu di bus terminal selama 1 jam. Ohiya, sebelum kami hail taxi, saya ketemu Ali, Dervis, sama Tim. Saying goodbye to each other. Kali itu sudah ga sedih-sedih amat menghadapi perpisahan. Udah sedih sebelum-sebelumnya. Well, good luck, Ali, on your postgrad study! And have a nice vacation, Dervis, Tim! May you have a nice campus life! Btw, waktu itu Dervis bilang ke saya, kalau ga salah inget, "Thank you. It was really funny. Itu beneran funny loh, beneran." Trus saya mikir, saya beneran kocak po?

Kamar 22 Juni 2017 00:53:46. Mi Ji dan Ji Yeong sudah pindah ke asrama baru. Tinggal barang-barang ... haduh lupa nama roommate yang jarang pulang

Kali ini, saya memilih tempat duduk di bus persis sama dengan tempat duduk saya saat pertama kali datang ke Gumi, pojok kanan belakang. Saya pikir, biar makin enak diinget gitu haha. Nothing to enjoy in every night trip, jadi saya tidur saja. Pas banget bangunnya
tepat saat sampe bandara. Sampai bandara baru 5.42 am. Iya, saya kepagian. Flight saya jam 11.15 am btw.

Karena ga tahu mau ngapain, saya iseng-iseng nyobain self check-in di bandara tapi ga bisa. Sempet dibantuin bapak-bapak, yang berakhir tetap gagal. Akhirnya saya cuma duduk. Ada dua orang Indonesia di deket saya waktu itu. Salah satunya orang kuliah S2 kalau ga S3. Mereka ngomongin cerita kerja sambil kuliah di Korea. Kalau kuliah sambil kerja di Korea, bedakan rekening buat nerima beasiswa (dari pemerintah Korea) dengan rekening buat nerima gaji biar ga kena kasus. Itu yang saya tangkap. Setelah ngobrol super dikit, saya pamitan check in ke counter.

Datanglah saya ke counter maskapai China Southern. Waktu itu ternyata saya salah counter. Ternyata itu counter Garuda Indonesia yang sebelumnya sempet diapakai China Southern. Tapi untungnya masih ada petugas China Southern di sana. Komentar pertama, "you come too early." Cuma bisa ketawa hahaha. Trus dia bilang, gampangnya sih gini, "Penerbangan Anda kayaknya ditunda deh. Kami masih belum tahu apakah waktunya bakal cukup untuk mnegejar penerbangan selanjutnya di Guangzhou atau engga. Kalau ga bisa, kami bakal ngasih penerbangan alternatif kok. Penerbangan yang langsung ke Jakarta. Tapi itu belum pasti jadi tolong tunggu dulu. Kami informasikan lagi nanti jam 9.”

Waktu itu saya seneng-seneng gimana gitu sih. Ada harapan lebih biar flightnya beneran ga kekejar. Hahaa soalnya lagi males nungguin lama dan diganti yang langsung ke Jakarta. Kemungkinan pakai Garuda Indonesia dong. Seinget saya pas booking ga da penerbangan China Southern langsung Incheon – Cengkareng.

Setelah lama berselang …

12 Maret 2019
Bagian di atas ditulis sejak 23 Juni 2017, sudah dua tahun yang lalu belum kunjung diselesaikan. Gara-gara baru saja dibeberkan pengalaman kocak Mas Nugroho dan Mas Fakhrudin dulu pas di Cina, saya jadi tergelitik untuk melanjutkan draft ini.

Oke mari kita lanjutkan.

Selanjutnya saya duduk-duduk saja deh di tempat tunggu Garuda Indonesia. Di sana saya kenalan sama mas-mas orang daerah Tegal gitu deh kayaknya. Saya ada kontak FBnya kok haha dia minta soalnya tapi ga pernah kontak wkwk. Sekarang si mas sudah nikah dan masih lanjut kerja di Korea Selatan. Di daerah mana ya? Gimhae deh kalau ga salah. Dia ambil penerbangan Garuda Indonesia jam 9.

Yang kocak dari perkenalan ini adalah si masnya mirip banget sama dosbing saya, Pak Egi. Mirip banget! Saya pas pertama lihat langsung ngira dia saudaranya Pak Egi. Sampek mbatin, “Di Korea masih aja ‘ketemu’ sama Pak Egi. Adik (iparnya) kuliah di kampus yang sama dengan tempaku numpang, jadi asisten dosen pula. Eh ini ketemu sodara lainnya (trus ternyata orang yang mirip doang). Mengingatkan masih ada urusan lagi buat wisuda nanti wkwk.”

Saya juga sempet kenalan sama orang Trenggalek. Mereka juga ambil flight Garuda Indonesia. Tidak terlalu banyak obrolan dan cerita dengan mereka. Sekadar obrolan biasa perjalanan. Kayak gini nih yang bikin sebuah perjalanan menyenangkan. Bertemu orang baru dan berinteraksi. Memang tak selalu bisa terjadi pembicaraan yang menyenangkan. Entah mereka atau diri kita sendiri yang menutup diri sehingga suasana jadi awkward. Tapi kalau sudah nemu, sensasinya menyenangkan!

Lama menunggu, pukul 9 saya diinformasikan penerbangan saya belum ada kejelasan. Ternyata ditunda karena pesawatnya masih di China sono dan cuaca di sana lagi ga baik. Oke menunggu lagi. Apa yang saya lakukan? Orang-orang dengan penerbangan Garuda Indonesia sudah berangkat. Saya duduk-duduk saja lagi sambil baca Qur’an. Ih gaaaya wkwk.

Sekitar pukul 12 gitu saya dikabari untuk segera check in. Flight untuk saya sebentar lagi berangkat. Saya disuruh cepet-cepet itu. Panik lah. Waktu itu saya diprioritaskan sama maskapai ini. Ternyata menjadi prioritas itu memang membahagiakan wkwkwk. Buru-buru saya cari gate-nya. Ah ternyata masih nunggu lumayan lama juga di sana.

Menunggu Gate 107 dibuka

Ternyata pesawat penerbangan berdurasi 3 jam itu termasuk pesawat kecil. Saya duduk di samping mbak-mbak orang China. Dari dia, saya menebak waktu itu di China lagi ngetren chatting menggunakan voice message. Hahaha.

Waktu itu Bulan Ramadhan dan saya tidak sedang udzur, jadi saya memutuskan untuk puasa. Saya menolak makanan di flight itu, membuat si mas pelayan bingung haha. Saya kurang baik sih menyampaikan maksud saya.

Ohiya selingan. Sehari sebelum pulang, saya sempet jalan-jalan sendiri di 옥계- (Okgye-dong) dan sempat mampir di toko roti yang pernah saya kunjungi bersama Liyana. Wah pelayannya masih inget dong sama saya. Sebenernya yang diinget Liyana sih wkwkwk tapi karena saya pakai kerudung jadi gampang aja mengingat kalau saya temennya Liyana. Trus saya ngobrol dikit looooh sama si mbak pelayan. Pakai bahasa korea seadanya. Uwaaah seneng banget.

Hmmm cerita kali ini segini dulu saja ya. hihihi ini saya kasih beberapa foto ga jelas wkwk.





Mental Manja

Permisi. Saya mau sambat di sini. Di sini kan ga ada yang baca lagi *eh haha.

Mental saya bukanlah mental yang saya impikan. Bukan mental sekuat baja. Saya rapuh. Mudah sekali patah. Selain itu, penakut pula. Mental saya hingga saat ini ditulis masih mental diajari dan disuruh. Masih mental disuapi. Perlu energi cukup besar bagi saya untuk membuat diri saya berani melakukan sesuatu yang mungkin bagi kebanyakan orang lain mudah saja. Bertanya, misalnya. Mudah kan? Tapi banyak kesempatan di mana saya benar-benar harus mengumpulkan keberanian hanya untuk bertanya.

Tapi saya tetap cinta diri saya. I don't want to blame her. I want to encourage her. I want to support her in every side of life. I want her to be a good person. I want her to be proud of herself and love her self more and more so that it makes her grateful for her life.

Polos

Semakin ke sini semakin kusadari ternyata diriku memang polos. Dunia mengejutkanku dengan berbagai macam manusianya, beserta kelakuan dan konfliknya. Aku sering lupa, tidak semua orang sama sepertiku. Tidak semua orang berpikiran sama sepertiku. Oleh karenanya, menemukan orang yang satu frekuensi adalah suatu nikmat yang nyata.

Terbuka

Menurutku, Nal, manusia perlu terbuka. Perlu memaklumi bahwa setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda. Bahwa setiap orang memiliki cetakan sifat yang berbeda. Selama tidak menyalahi aturan dan tidak mengganggu orang lain, mengapa harus dinyinyiri? Bukankah ada cara lain yang lebih manusiawi untuk melihat orang lain?

Kelabu

Senja ini tak biasa. Bukan kemilau keemasan di langit yang menyapaku saat membuka pintu aula kerjaku. Hanya kelabu.

Sedikit rasa aneh di hatiku. Warnanya mungkin tak jauh berbeda dengan langit sore ini. Sebuah kekosongan, pikiranku mendeteksinya.

Another Letter to Bapak

Hai, Bapak! Apa kabar di sana?
Aku rindu
Aku rindu nasehat-nasehatmu
Aku rindu bagaimana kau menenangkanku
Sudah. Itu saja.

Keberangkatan -- Part 2

Lanjutan cerita keberangkatan saya ke Korsel dua tahun lalu ...

Setelah pesawat landing, saya berpisah dengan si bapak samping saya. Beliau buru-buru kali ya. Cepet banget ngilangnya.

Nah, turun dari pesawat saya kembali sendiri. Belum tahu apa-apa sih di bandara Incheon jadi asal ngikutin orang-orang saja jalan ke mana. Setelah melewati bagian imigrasi, saya harus naik kereta ke gate lain buat ambil bagasi. Nah, di kereta ini nih saya sempet kenalan sama dua mbak-mbak yang sebelumnya sempet saya foto dari belakang. Ternyata mereka lagi liburan seminggu di Korsel.



Saya pikir kami bakal berpisah setelah ngambil bagasi masing-masing. Eh ternyata dua mbak-mbak ini mau nemenin saya. "Kasian ih kamu sendirian gini," kata mereka. Ya sudah. Saya sih seneng-seneng aja ada temennya. Selanjutnya kami duduk di ruang tunggu bandara, tempat orang-orang yang njemput dan ngantar itu loh. Nah di sana kami ngecas hape. Mbaknya sempet nawarin makan bareng di bandara sih, kasihan kali ya lihat muka saya. Tapi akhirnya ga jadi soalnya kami bertiga masih kenyang. Kan abis sarapan di pesawat.

Sebenarnya saya sudah tahu apa yang harus saya lakukan sehabis dari bandara untuk perjalanan selanjutnya. Tapi saya sudah janjian dengan anak telkom buat naik bus bareng. Penerbangan mereka dan saya selisih setengah jam. Ditambah waktu buat ngambil bagasi dan cari-mencari, saya menunggu mungkin sekitar satu jam di ruang tunggu itu.

Setelah bertemu, ternyata tak serta-merta saya bisa getting along dengan mereka. Saya masih jadi orang asing. Ternyata mereka ke Korsel diantar satu gurunya. Astagaaa wow. Saya jadi inget dulu saya ada di posisi mereka. Dulu pas SMA, kalau ikut lomba di Surabaya gitu saya selalu dianter beberapa guru. Diopeni apik lah pokok. Sementara anak SMA tetangga ga dianterin sama sekali. Dulu saya mbatin gitu, "Wah keren! mereka ngurus apa-apa sendirian. Berani banget!" Eh lha kok saat itu dunia sudah berputar 180 derajat dari sudut pandang itu. Hahaha.

Saya kan mau bareng mereka ngebus nih. Saya samperin deh si bapak guru. Tanpa basa-basi, saya minta tolong mau nitip beli tiket bus. Saya kira Telkom guys tuh udah bilang ke gurunya kalau ada anak kampus lain sendirian, mau bareng, namanya ini, nanti kalau udah ketemu dikenalin. Eeeeeeeh ternyata si bapak waktu itu heran tiba-tiba ada orang asing minta tolong nitip beli tiket bus. Lu sih, Nal! harusnya kenalan dulu. SKSD.

Untuk beli tiket bus, harus keluar bandara. Setelah keluar ini saya dibikin excited lagi. Hawa dingin mulai terasa. Waktu itu penghujung musim dingin. Masih sangat dingin buat orang tropis ga tahan dingin kayak saya. Seneng banget kalau lihat pas ngomong keluar asepnya wkwk.

Di bus, saya dapat seat paling belakang pojok kanan. Pas banget buat saya yang sendirian di antara sekelompok orang-orang ini. Hahaha. Pada akhirnya nanti saat pulang, saya kembali milih seat ini buat mengenang saat pertama hihihi.

Masuk bus dan kembali hangat

Seneng banget dapat tempat duduk samping jendela. Bisa lihat pemandangan di luar. Sebenernya capek banget sih tapi tiap mengalami perjalanan pertama bawaannya susah tidur. Pengen banget lihat pemandangan sekitar. Adanya Wi-Fi di bus bikin gampang menghubungi buddy. Membantu banget sih soalnya waktu itu kami belum beli sim card jadi ga ada akses internet sama sekali setelah keluar dari bandara. Ohiya buddy adalah seorang murid yang dipilih kampus tujuan untuk mendampingi murid pendatang. Tiap murid pendatang mendapat satu buddy.

Karena masih musim dingin (meski mau habis), pemandangannya ya monoton saja. Kering semua. Beberapa sungai masih ada yang ada sisa esnya tapi lebih banyak yang sudah mencair. Itu benar-benar pemandangan baru buat saya. Ke manapun memandang, gersang. Trus juga jalannya lebar dan sepi, Coy! Mungkin waktu itu kecepatan busnya nyampe deh 80 km/jam. Seneng banget lihat jalanan di kota maju. Kelihatan rapi dan tertib gitu loh. Ga asal-asalan gitu nyetirnya. Dan relatif sepi jadi lebih nyaman dipandang soalnya banyakan orang milih buat pakai transportasi umum.

Gersang, kering, dan dingin


Kami naik bus cuma sampai Terminal Bus Gumi. Di sana buddy-buddy menjemput. Buddy saya ga bisa jemput soalnya ngedatengin wisuda temennya. Dia mewakilkan tugasnya ke seorang buddy lain yang namanya 박체덕 (gini sih kalau ga salah tulisan namanya), bacanya Park Che Dok.

Selanjutnya kami naik taksi sampai kampus. Ada yang bertiga. Ada yang berempat. Waktu itu saya bertiga sama Telisha dan si Che Dok itu. Trus dibayarin Che Dok. Gamsahaeyo, Che Dok-ssi!

Sesampainya di sana, akhirnya saya ketemu 김원경(Kim Won Kyeong) alias Bono si buddy saya. Setelah registrasi kamar, kami diantar buddy masing-masing ke kamar. Karena buddy saya cowo, akhirnya dia nitipin saya ke seorang buddy cewe bernama 선화(Sun Hwa). Saya diantar ke kamar oleh Sun Hwa. Kamar saya di lantai lima. Padahal anak-anak Indo lainnya di lantai satu. Ga tau kenapa saya disendiriin gini.

Ini Bono, buddy saya. Foto ini bukan pas pertama ketemu sih tapi pas ambil personality test.


Kamar saya masih kosongan. Saya kira saya bakal sendirian karena di pengumuman sebelumnya, ga ada nama lain selain nama saya di kamar itu. Tapi akhirnya saya punya temen sekamar kok. Anak Korsel semua hahaha. Ini oleh-oleh dari saya. View dari jendela kamar saya saat pertama kali tiba. Waktu itu pukul 17.13 KST. Wah saya bahagia banget nulis pengalaman ini ^^


Asrama sebelah


Keberangkatan -- Part 1

Mumpung vibe nulis masih ada, saya pengen nulis blog lagi. Tiba-tiba teringat saya masih punya hutang cerita keberangkatan saya ke Korsel hampir dua tahun yang lalu.

Hari itu Senin, 27 Februari 2017. Sore hari, saya berangkat ke Cengkareng dari Bandung. Seperti biasa, saya ithak-ithik sendirian. Poin menyenangkannya dari travelling sendirian ya ithak-ithik kaya bocah ilang ini. Seru gitu kalau ga tau apa-apa trus harus tanya ke orang sekitar, atau senyam-senyum sendiri saking antusiasnya melihat kehidupan, atau dapet teman bicara di perjalanan. Ih jadi kangen berpetualang sendirian.

Sebenarnya ada sembilan orang dari Telkom Univ yang juga berangkat hari itu ke Korsel. Tujuan kami sama karena memang kami diterima di program yang sama. Tapi selama ini kami selalu beda flight. Mereka beramai-ramai naik maskapai asal Korsel, saya sendiri cinta Indonesia dengan naik maskapai kebanggan : Garuda Indonesia. Mereka sudah rama-ramai, masih diantar keluarga dan teman sampai bandara pula. Sementara saya diantar Teh Ros sampai pool travel di Dipati Ukur hihihi. Antara setrong dan kasihan beda tipis memang haha. Sebenernya mereka ngajakin barengan aja nungguin flight-nya tapi saya sudah terlanjur melewati petugas imigrasi dan di area menuju gate. Sementara mereka masih di luar dan bakal di gate yang berbeda. Jadi kami belum sempat bertemu saat itu.

Diantar Teh Ros. Yang berangkat siapa, yang difoto sama koper siapa wkwk.

Sembari menunggu jadwal boarding, waktu itu saya sempet nulis blog di bandara. Waktu itu flight tengah malam. Meski itu bukan pertama kalinya saya naik pesawat, rasa dagdigdug tetap ada sepanjang waktu. Itu pertama kalinya saya akan bepergian jauh dengan penerbangan sekitar tujuh jam, Coy! dan saya sendirian. I was so excited yet dagdigdug. 

Setelah diperbolehkan masuk gate, saya duduk-duduk di sana sendirian. Well, memang banyak orang tapi saya sendiri dalam keramaian. Tak ada teman ngobrol. Di sebelah ada sih segerombolan anak-anak muda, kayaknya anak kuliahan angkatan bawah saya. Mereka juga akan ambil flight ini. Saya pengen sok kenal gitu sama mereka tapi sungkan. Saya merasa cupu gitu soalnya pas lihat gimana cara mereka berpenampilan dan berinteraksi. Ga jadi SKSD deh.

Selfie dulu dong haha

Di ruang tunggu gate ada kaca yang bisa lihat pemandangan di luar. Di luar ada pesawat yang bakal saya tumpangi. Excitement saya meningkat drastis soalnya itu pertama kalinya saya lihat pesawat segedhe itu. Pesawat yang pernah saya tumpangi sebelumnya lebih kecil soalnya.

Woaaaah saya excited banget lihat pesawat segedhe itu

Oiya saya beruntung banget pas beli tiket penerbangan ini. Soalnya pas saya beli harganya 3 jutaan (murah bangeeeet) trus besoknya pas saya cek ulang harganya udah naik jadi 6 jutaan. Oh sungguh sesuatu yang harus disyukuri.

Di pesawat, saya kembali ber-wow ria soalnya ini tempat duduknya melintang banyak gitu (ga tau dari A sampai huruf apa) sebelumnya yang pernah saya tumpangi kan cuma A sampai E doang. Sumpah ini saya udik banget sih. Saat itu saya dapat seat A, dapat samping jendela dan SAYA BISA LIHAT SAYAP PESAWAT meski terbatas. Keinginan saya terkabul. Terima kasih, Ya Allah!

Tempat duduk paling pinggir cuma jejer dua. Samping saya bapak-bapak yang kayaknya businessman dan biasa naik pesawat gitu. Ga kayak anak sampingnya haha. Saya lihat di jamnya si bapak sih ada tiga waktu yang nongol: Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Jepang (JST), dan Waktu Korea Selatan (KST). Lihat itu, saya langsung "WOW, kayaknya si bapak orang sibuk sih ini, atau malah orang penting." Sayangnya saya ga tau gimana cara memulai percakapan. Toh saat itu sudah tengah malam, saatnya bobo. Jadi saya ga jadi mengganggu si bapak.

Di pesawat ada beberapa perkakas yang terbungkus baru dan tersedia untuk penumpang: selimut, headset, dan kaos kaki. Nah, karena si bapak buka kaos kaki dan selimut, saya ikutan lah. Saya kan ga tahan dingin.

Saya ga tahu apakah perkakas untuk penumpang ini boleh diambil atau tidak tapi saya colong saja kaos kakinya buat kenang-kenangan. Sampai sekarang kaos kakinya masih ada. Masih cukup sering dipakai juga haha.

Nah, saat itu adalah pertama kalinya saya naik pesawat yang ada layar di kursi belakang (buat tontonan penumpang belakangnya). Nah, saya tuh udik banget, ga tau cara ngoperasiinnya gimana. Padahal beberapa orang di sebelah saya tuh nonton film di layar ini. Trus di kursi bagian samping ada semacam remote (yang ternyata itu bukan remote) dan tombol-tombol yang saya ga tahu itu fungsinya buat apa. Belakangan saya baru tahu ternyata beberapa tombol itu gunanya buat manggil pramugari kalau penumpang butuh bantuan. Sumpah waktu itu saya merasa udik banget. Tapi ya seneng excited dan masih dagdigdug gitu.

Si bapak sudah tertidur pulas, saya belum juga bisa tidur. Saya cuma nglihatin layar depan saya yang memperlihatkan kondisi penerbangan saat itu : posisi pesawat, cuaca di luar, jarak dari tujuan, perkiraan waktu tiba di tujuan, dll. Cuma lihat layar itu doang aja saya senengnya minta ampun. Selebihnya saya berusaha lihat ke luar jendela.




Karena di atas awan, harusnya bintang-bintang terlihat lebih jelas dan lebih banyak, begitu pikir saya. Namun ternyata yang terlihat hanyalah pantulan lampu kabin. Jadi kepikiran, mungkin ga sih atap pesawat dibikin transparan pas malam hari biar penumpang bisa menikmati pemandangan langit? kalau siang ya ditutupi.

Usaha yang sia-sia -_-

Mungkin sekitar jam 2 gitu (saya lupa) pramugari berkeliling menawarkan camilan. Waktu itu saya ga mau. Bego banget! Waktu itu saya mikir kalau itu harus bayar gitu. Saya kan berangkat dengan kenekatan finansial yang luar biasa jadi ya saya tolak deh tawaran mbak pramugari. Padahal itu kan gratis :( Maklum penerbangan pertama saya yang ada fasilitas makannya wkwk.

Nah yang bikin bingung di penerbangan gini tuh waktu sholatnya. Penerbangan saya kan 23.35 dan sampai tujuan jam setengah 7 paginya Indo jadi ngelewatin waktu subuh. Saya bingung gimana menentukan kapan waktu buat sholat subuh. Cari di internet  sih bilangnya menyesuaikan waktu di daratan bawahnya pesawat itu. Lah gimana gue tahu pas subuhnya si pesawat ada di manaaa. Kalau maskapai ngasih fasilitas pengumuman buat waktu sholat kayaknya dabest sih.

Akhirnya saya sholat subuh di waktu yang saya yakin saja. Nah pas saya mau tayamum nih, si bapak samping saya bangun dan ke belakang. Saya kira beliau ke belakang mau wudhu dan sholat. Saya jadi berasumsi ada tempat sholat di pesawat. Meski saya ga tau juga sih si bapak ini muslim atau engga haha. Saya jadi ragu tapi tetap saya lanjutkan saja tayamum dan sholatnya. Nah ternyata si bapak ini tadi ke belakang buat cuci muka (harusnya sikat gigi juga wkwk) dan ganti baju. Persiapan ngantor kayaknya.

Nah sekitar jam 6 pramugari berkeliling lagi. Menawarkan sarapan. Sebenernya saya tetap masih ragu apakah ini bayar atau engga, meski di tiket flight udah ada keterangan ada makanan wkwkwk. Tapi karena malu sama bapak sebelah, saya ambil saja. Kan malu kalau saya nolak trus ternyata makanannya gratis, nanti bapaknya mbatin, "Ni anak udik banget ya. Dikira bayar kali ya?", atau kalau ternyata beneran bayar, bapaknya juga mbatin, "Ni anak sobat misqin kali ya? Dari semalem belum makan kan ya harusnya makan aja sekarang." Nah pokoknya akhirnya saya ambil itu dan ternyata gratis wkwkwk. Saya lupa waktu itu pilihan menunya nasi padang sama apa. Saya milih apa juga lupa. Yang jelas saya ambil jus apel dan puding buat penutupnya. Saya ga mendokumentasikan makanannya soalnya malu sama bapak sebelah. Kelihatan norak kan kalau makanan pesawat gitu aja difoto. Kelihatan banget pertama kali naik pesawat gituan wkwk. Hahaha w masih punya gengsi juga.

Nah, pas sarapan ini nih saya coba otak-atik layar depan saya. Saya pengen nonton film. Cukup lah sejam buat nonton. Sebenernya dari tadi malamnya saya pengen nonton film tapi saya ga tahu dimana tempat nyolok headset. Akhirnya saya beranikan diri tanya sama si bapak, nyolokin headsetnya di sebelah mana. Dikasih tahu deh. Ternyata di ujung pegangan kursi, Coy! Aku tak cukup teliti dalam melihat.

Saya nonton Kimi no Nawa yang akhirnya belum lima menit saya hentikan. Soalnya Kimi no Nawa kan di awal ada adegan mbaknya, eh masnya yang jiwanya tertukar ke tubuh mbaknya, bangun tidur dan heran trus akhirnya ngecek-ngecek badan, pegang-pegang dada. Ya walaupun itu anime tapi nonton adegan bangun-tidur-tertukar-jiwa di samping orang lain yang ga kenal kan rasanya ga enak banget. Ga jadi nonton deh. Paling ga saya tahu lah tempat nyolok headset di pesawat harus nyarinya di sekitar mana. Hahaha.

Sepanjang pagi di pesawat itu saya terkagum-kagum lihat langit biru dan sayap pesawat yang gerak-gerak. Norak memang. Tapi biarin wek :P Paling kagum sama bunga-bunga es di jendela pesawat sih. Saya ber-wow ria menyaksikan fenomena itu hahaha.





Nah pesawat yang saya tumpangi no molor-molor club. Tepat waktu. Sekitar pukul 08.30 KST pesawat landing. Biar ga terlalu panjang, ceritanya dilanjut di postingan selanjutnya saja hahaha ...

BTW saya ga tahu di pesawat boleh menyalakan handphone dengan mode pesawat atau engga (buat foto-foto doang) jadi ini saya ngefotonya curi-curi wkwkwk.