Cerita Saja (20)
Wah judul Cerita Saja muncul lagi! Terakhir muncul sekitar dua tahun lalu. Seperti namanya, Cerita Saja berisi sekadar cerita apapun yang ada di kepala. Alurnya tak beraturan. Hahaha.
Tadi malam saya nonton Mata Najwa On Stage Kediri (tapi di yutub haha). Tokoh tamunya orang-orang keren semua. Tapi jujur, di mata saya yang paling keren adalah Pak Fuadi, novelis, karena beliau yang pernah menginspirasi saya secara langsung melalui karya-karyanya. Hehehe.
Orang-orang keren emang biasanya penuh dengan energi positif. Energi itu menular ke orang-orang sekitarnya. Empat orang keren di panggung energi positifnya meluber-luber sampai ke saya yang cuma menikmati lewat hp ini. Dan entah bagaimana mereka bisa membangkitkan harapan, membangkitkan optimisme, membangunkan mimpi-mimpi yang terlelap tak berdaya ditelan realita.
Saya teringat akan impian saya. Mimpi untuk belajar di Jepang. Tak hanya Jepang sebenarnya tapi di manapun itu, sejauh apapun itu. Mimpi untuk keliling dunia. Apalagi saat ini saya lebih sering mengeluhkan hidup saya. Mengeluhkan hidup yang harus saya jalani karena keputusan yang didasari rasa tak enak. Hal ini menambah pertanyaan apakah saya harus mengejar mimpi saya untuk melanjutkan studi? Jika ya, saya perlu bersiap-siap sejak dini.
Kalau dipikir-pikir, mimpi lanjut studi terutama di luar negeri dan di institusi yang lebih baik daripada institusi yang saya tempati sebelumnya tuh sepertinya khayal buat saya. Malah mungkin saya tak tahu diri karena berkaca dari pengalaman sebelumnya, di sekolah sebelumnya saja saya terseok-seok, gelagapan untuk menyelesaikan tanggung jawab lha kok mau narget sekolah yang secara kualitas lebih baik dan keren. Lha wong dihadapkan dengan kerjaan begini saja ngeluhnya ga karuan lha kok mimpi masuk ke lingkungan akademik nan keren. Ini perang yang harus saya selesaikan dalam diri saya: ke mana sebenarnya saya mau melangkah.
Despite the pessimism above, bangunnya mimpi-mimpi itu mengingatkan saya pada seseorang yang spesial. I think we were close enough but now ... It seems great wall grows between us haha. Saya ingat bagaimana kami dulu berbagi impian kami. Kebahagiaan saya selalu membuncah, tumpah-tumpah setiap membicarakan mimpi bersama dia. Tak tahu dari sisinya apakah juga demikian.
Tiga bulan yang lalu saya memutuskan mengirimkan sebuah surat untuknya melalui e-mail. Tak berbalas. Saya sendiri tak tahu apakah dia sudah mengetahui surat tersebut dan sudah membacanya atau belum. Sebenarnya saya sudah bertekad bahwa menulis surat tersebut merupakan satu langkah untuk move on. Untuk mengeluarkan semua yang saya pendam agar lebih longgar ruang dalam diri. But even though I said that I wanna move on, nyatanya sudah tiga bulan dan saya belum bisa. This scares me karena jika ternyata takdir kami memang akan bersama orang lain, apakah bayangannya akan benar-benar pergi? Semoga. Semoga Allah jadikan itu mudah bagi saya. Semoga hidup masing-masing kami bahagia. Dan semoga kami tetap menjadi teman baik dan tak ada masalah terkait itu. Amin.
----
Ini saya kok tumben ngomongin ginian sih haha
Tadi malam saya nonton Mata Najwa On Stage Kediri (tapi di yutub haha). Tokoh tamunya orang-orang keren semua. Tapi jujur, di mata saya yang paling keren adalah Pak Fuadi, novelis, karena beliau yang pernah menginspirasi saya secara langsung melalui karya-karyanya. Hehehe.
Orang-orang keren emang biasanya penuh dengan energi positif. Energi itu menular ke orang-orang sekitarnya. Empat orang keren di panggung energi positifnya meluber-luber sampai ke saya yang cuma menikmati lewat hp ini. Dan entah bagaimana mereka bisa membangkitkan harapan, membangkitkan optimisme, membangunkan mimpi-mimpi yang terlelap tak berdaya ditelan realita.
Saya teringat akan impian saya. Mimpi untuk belajar di Jepang. Tak hanya Jepang sebenarnya tapi di manapun itu, sejauh apapun itu. Mimpi untuk keliling dunia. Apalagi saat ini saya lebih sering mengeluhkan hidup saya. Mengeluhkan hidup yang harus saya jalani karena keputusan yang didasari rasa tak enak. Hal ini menambah pertanyaan apakah saya harus mengejar mimpi saya untuk melanjutkan studi? Jika ya, saya perlu bersiap-siap sejak dini.
Kalau dipikir-pikir, mimpi lanjut studi terutama di luar negeri dan di institusi yang lebih baik daripada institusi yang saya tempati sebelumnya tuh sepertinya khayal buat saya. Malah mungkin saya tak tahu diri karena berkaca dari pengalaman sebelumnya, di sekolah sebelumnya saja saya terseok-seok, gelagapan untuk menyelesaikan tanggung jawab lha kok mau narget sekolah yang secara kualitas lebih baik dan keren. Lha wong dihadapkan dengan kerjaan begini saja ngeluhnya ga karuan lha kok mimpi masuk ke lingkungan akademik nan keren. Ini perang yang harus saya selesaikan dalam diri saya: ke mana sebenarnya saya mau melangkah.
Despite the pessimism above, bangunnya mimpi-mimpi itu mengingatkan saya pada seseorang yang spesial. I think we were close enough but now ... It seems great wall grows between us haha. Saya ingat bagaimana kami dulu berbagi impian kami. Kebahagiaan saya selalu membuncah, tumpah-tumpah setiap membicarakan mimpi bersama dia. Tak tahu dari sisinya apakah juga demikian.
Tiga bulan yang lalu saya memutuskan mengirimkan sebuah surat untuknya melalui e-mail. Tak berbalas. Saya sendiri tak tahu apakah dia sudah mengetahui surat tersebut dan sudah membacanya atau belum. Sebenarnya saya sudah bertekad bahwa menulis surat tersebut merupakan satu langkah untuk move on. Untuk mengeluarkan semua yang saya pendam agar lebih longgar ruang dalam diri. But even though I said that I wanna move on, nyatanya sudah tiga bulan dan saya belum bisa. This scares me karena jika ternyata takdir kami memang akan bersama orang lain, apakah bayangannya akan benar-benar pergi? Semoga. Semoga Allah jadikan itu mudah bagi saya. Semoga hidup masing-masing kami bahagia. Dan semoga kami tetap menjadi teman baik dan tak ada masalah terkait itu. Amin.
----
Ini saya kok tumben ngomongin ginian sih haha
Comments
Post a Comment