Imajinasi Masa Depan
Baru-baru ini sepertinya saya melakukan hal yang sedikit
konyol tapi mungkin juga wajar, lhoh.
Mengamati apa yang terjadi pada pengalaman kerja praktik saya, secara tak sadar
saya menyimpulkan pekerjaan yang bagaimana yang saya inginkan di masa depan. Namun
ternyata imajinasi ini tidak hanya tentang pekerjaan tapi juga imajinasi kalau
saya berkeluarga. Sebenarnya saya terpikir, kok saya mikir ginian ya. Tapi
kadang saya ngeles ke diri saya sendiri. Ah, mungkin ini salah satu proses
menuju dewasa hahahaaaa.
Selama kerja praktik ini saya mendapatkan pembimbing yang
memberikan kelonggaran datang minimal seminggu sekali karena jenis kerjaan yang
saya dapat lebih mengarah ke programming jadi tidak harus dikerjakan di kantor.
Dari apa yang saya alami, saya susah sekali untuk mengerjakan tugas kalau saya
tidak masuk (walaupun ini juga belum cukup men-trigger saya untuk berangkat ke kantor). Saya merasa justru
kelonggaran yang terlalu longgar malah menghambat saya karena saya tipe deadliner jadi kalau masih merasa
longgar ya belum dikerjain. Tapi ini walaupun deadline masih jauh, akan berbeda kasus jika lingkungannya
mendukung. Ada yang mengharuskan saya masuk, dan kalau di kantor maka mau tak
mau saya harus mengerjakan sesuatu.
Tidak hanya dari satu poin di atas, dari beberapa pengamatan
yang saya lakukan, saya jadi berimajinasi. Suatu saat nanti jika saya bekerja,
saya ingin pekerjaan yang bisa berinteraksi dengan orang. Bukan yang hanya
berkutat dengan benda saja. Bukan berarti pula pekerjaan seperti sales, atau
costumer service yang super ramah itu. Bukan juga yang terlalu “nguli”. Saya
ingin pekerjaan yang seimbang, saya ngoprek
tapi juga harus berinteraksi dengan
orang lain. Saya bilang harus,
karena kalau tidak diharuskan mungkin saya akan main dengan benda saja sampai mumet baru keluar buat lihat pepohonan.
Saya malah terbayang suatu saat saya membuat gerakan seperti
Ricky Elson dan bisa menginspirasi orang lain, mengajak orang lain untuk maju.
Terkadang juga malah terbayang bikin sekolah kayak di film 3 Idiots. Tapi dua hal ini sangat mungkin dijalani bersamaan.
Sangat mungkin. Saya ingin sekali memberikan semangat kepada anak negeri ini.
Tak hanya lewat kata-kata tapi saya juga ingin mereka tersemangati melihat apa
yang saya lakukan. Bukan berarti pamer. Hopefully
you know what I mean.
Jadi nanti kalau sudah berkeluarga saya tetep pengen kerja.
Sepertinya saya tak mau hanya diam di rumah karena saya akan menjadi malas
ketika tidak diharuskan ngapa-ngapain. Bahkan dari pengamatan saya, saya lebih
sering sholat Dhuha kalau saya berangkat KP atau kuliah. Selain itu saya punya
mimpi yang lain yang ingin saya wujudkan dengan hasil kerja saya sendiri, tapi
kalau suatu saat ada yang mau membantu akan saya terima dengan senang hati hihi.
Saya pengen nanti bisa kerja dan maksimal jam 4 sore sudah
sampai di rumah. Saya pengen walaupun saya kerja, saya tetap ada waktu buat
anak saya nantinya. Selain itu juga pengen pulangnya harus lebih duluan
daripada suami hahahaa.
Senin-Jumat kerja. Weekend saya pengen menjadi waktu buat
keluarga. Sempat mengimajinasikan kalau Sabtu adalah waktu buat bersih-bersih
rumah. Saya bagian dalam rumah, nanti suami bagian ngurusin yang luar rumah, such as kebun, pekarangan, atau
semacamnya. Kalau anak-anak liburnya Sabtu-Minggu, maka bersih-bersih rumah ini
akan menjadi kegiatan keluarga yang menyenangkan hahahaa. Karena hari Sabtunya
sudah bersih-bersih maka hari Minggu bisa jalan-jalan bareng keluarga. Entah
kemana.
Saya mencoba mengimajinasikan bagaimana saya berkomunikasi
dengan orang tua suami saya nantinya. Kalau suami saya orang Jawa, kemungkinan
besar saya akan pakai basa krama
sebisa saya. Akhirnya saya jadi mikir, ke “orang lain” saja pakai basa krama masa ke orang tua kandung
sendiri ga pakai basa krama. Akhirnya
saya berpikir sepertinya saya harus mulai membiasakan basa krama ke orang tua saya tapi sampai sekarang masih bingung
bagaimana memulainya.
Melihat keadaan sekitar kost yang demikian padat, saya
bersyukur rumah orang tua saya masih lebih nyaman. Kami masih punya space yang
lebih dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitar kosan saya. Akhirnya saya pun
terpikir. Suatu saat nanti, saya ga pengen punya rumah di area yang terlalu kota
(menurut definisi saya). Saya suka area yang tenang, yang “hijau” sehingga
setiap pagi terasa segar. Ga pengen punya rumah yang mewah-mewah yang sampek
kayak rumah gedong begitu. Ga pengen
juga rumah yang kayak apartemen gitu. Juga kurang pengen rumah yang di kompleks
yang jarang ketemu tetangga. Kok kayaknya pengennya rada ribet ya hahahaa.
Trus juga sempat berimajinasi nanti kalau kerja naik sepeda
saja. Kalau jauh baru naik angkutan umum, motor atau mobil. Pokoknya urutan
prioritasnya sepeda, angkutan umum, motor, mobil. Entah kenapa saya juga
berimajinasi di saat itu teknologi sepeda sudah keren, kayak di buku TOFI Perburuan Bintang Sirius dimana
sepedanya bisa melaju secepat mobil. Dan
saat itu juga teknologi transportasi umum di Indonesia saat itu sudah pakai
kereta semacem shinkansen jadi kereta
jadi transportasi utama (walaupun kalau boleh realistis, sebenarnya kemungkinan
besar kalau sudah ada saat itu baru di salah satu pulau di Indonesia saja). Walaupun
berimajinasi punya mobil buat keluar sekeluarga (ya, pengennya mobil hanya
dipakai kalau keluar sekeluarga. Kalau tiap kerja bawa mobil kan sayang, makan space besar di jalan tapi isinya ga
penuh), saya berimajinasi mau diskusi sama keluarga nanti, tabungannya buat
tabungan haji dulu saja.
Sebenarnya masih ada beberapa hal lain yang terpikir tapi . . . ah, mungkin lebih baik saya ceritakan pada orang-orang tertentu saja