Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Penginapan

Judul ini saya buat sedemikian rupa sesuai request rekan perjalanan saya: Mas Nugroho; Mas Ervani; dan Mas Kridanto, yang dulu --sambil mencie-cie-- ngerjain saya, meminta postingan blog berjudul Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss. Here it is, Mas-mas. Takturuti.

Cerita sebelumnya ada 4 bagian: curhatan part 1, penerbangan pertama, penerbangan kedua, dan perjalanan terakhir. Super sekali. Perjalanan sekali jalan saja bisa jadi 4 part begini.

Setelah total sekitar 2 hari perjalanan, tertempuh sudah jarak antara Madiun dan Lyss. Hotel yang kami huni pertama kali adalah Weisses Kreuz (baca: Waises Kroits). Sesuai namanya, Weisses (putih), hotel ini benar-benar berwarna putih

Lantai 1 gedung ini adalah restoran. Kami biasanya sarapan di sana. Lantai atasnya adalah kamar-kamar hotel.

Bagian hotel dimana resepsionis berada.

Hotel ini nyaman sekali. Selain hotel, tempat ini juga adalah sebuah restoran, pun menyediakan aula untuk acara-acara tertentu. Kebetulan saat booking, tinggal tersisa kamar dobel. Jadilah saya meski seorang diri menempati kamar dengan 2 tempat tidur. Saat kami check in, respsionisnya heran.

"Kalian pesan 3 kamar dobel untuk 4 orang?"
"Iya. Tinggal double room saat kami booking. Tidak mungkin saya satu kamar dengan mereka," demikian jawab saya.

Pada kesempatan ini, saya menempati kamar 101 di lantai 1; Mas Ervani dan Mas Kridanto sekamar di lantai 2; sementara Mas Nugroho menempati  kamar lain yang juga di lantai 2. Malam pertama, kami makan malam di ruangan masing-masing setelah diskusi panjang tentang air minum dan colokan listrik. Melepas lelah, mempersiapkan diri untuk perang beberapa hari ke depan. Malam itu saya makan sosis.

Double bed dengan masing-masing terdapat cokelat selamat datang

Balkon kamar saya

View sisi kanan balkon. Menuju jalan samping hotel

FYI, berdasarkan informasi dari Pak Feri yang tidak sengaja kami temui di Stasiun Zürich Flughafen (diceritakan di cerita penerbangan kedua), air kran di Swiss aman untuk langsung diminum. Asalkan yang dingin, jangan yang panas karena pemanasannya dengan minyak. Sementara Seiler, kolega yang mengurus kami, keesokan harinya mengatakan bahwa air di sana aman untuk langsung diminum baik yang dingin maupun panas.

Selama di sana, saya memutuskan minum air kran. Dulu di Singapura juga begitu kan. Perkara air ini sangat menghemat uang karena saya lihat sebotol air putih 600 ml dijual seharga 4 Franc, setara dengan sekitar 56ribu Rupiah kala itu.

Saya biasanya ambil air minum di wastafel itu. Kadang rasanya di hati agak gimana gitu sih. Air minum diambil deket WC gitu wkwk.

Di hari pertama, sebuah penyesalan karena membatalkan membawa universal travel adaptor terjadi. Berdasarkan hasil surfing, di Swiss juga menggunakan colokan 2 lubang seperti di Indonesia. Nyatanya, terminal listrik di Swiss menggunakan 3 lubang kecil. Sebenarnya 2 lubang saja yang digunakan juga bisa. Namun, hanya steker berukuran kecil saja yang bisa masuk ke terminal listrik di sana. Saya perlu adapter untuk dapat nge-charge baterai laptop yang stekernya terlalu besar untuk terminal itu.

Satu set terminal di Swiss bisa mengakomodasi 3 device sekaligus (kalau pegangan stekernya ga gedhe2 amat wkwk)

Masalah adapter ini terselesaikan dengan tidak sengaja. Seiler membantu kami melobi pihak hotel untuk memberikan water heater di kamar kami. Alasan kami sih untuk ngopi, padahal kayaknya alasan besar mas-mas adalah untuk bikin Indomie. Kebetulan sekali bersama sang heater, terdapat adapter yang cocok untuk charger laptop yang saya bawa. Syukur alhamdulillah.

Super sekali hotel ini. Hingga request water heater juga dituruti.

Saat kami di sana, bumi Eropa sedang menyongsong musim dingin. Malam lebih panjang daripada siang. Kala itu, Subuh masuk pada sekitar pukul 6.15 - 6.30 pagi. Semakin hari semakin "siang". Sedangkan Maghrib sudah menjelang sekitar pukul 16.45.

Jadwal subuh yang agak siang ditambah acara training yang dimulai pukul 8.30 membuat kami harus bersiap cepat. Selepas sholat subuh, kami langsung sarapan, bersiap sebentar, dan langsung berangkat. Saya menyiasati jadwal dengan mandi sebelum tidur sehingga paginya hanya perlu cuci muka dan sikat gigi (tipikal orang bule banget dah wkwk). Lagian ini musim dingin yang malah disarankan untuk tidak mandi terlalu sering (adalah Krisdianti, teman sebangku saya kala SMA yang pernah melewati musim dingin di Turki, yang nuturi saya tentang ini).

Dengan perjalanan jauh nan lama dan perbedaan waktu 6 jam lebih telat dibandingkan WIB, kami terserang jet lag. Hari pertama saya tidur pukul 8 atau 9 malam dan terbangun pukul 3 pagi. Sementara Mas Nugroho setelah isya pun langsung tidur, terbangun pukul 12 malam, dan tidak bisa tidur lagi. Dia yang paling parah jet lag nya di antara kami berempat. Hari pertama training, pukul 18.00 mata Mas Nugroho sudah merah karena di Indonesia sudah pukul 00.00, biasanya dia sudah di Pulau Kapuk.

Hotel ini memberikan fasilitas sarapan. Prasmanan, pilihannya banyak, tapi menunya  setiap hari sama. Suasana ruang makan di sana menyenangkan. Kalem, tenang gitu. Pelayan-pelayannya juga baik. Mau saja menuruti kami yang kulturnya berbeda.

Sebuah sisi tempat menata menu sarapan

Di  meja makan terdapat selembar kertas berisi salam dalam banyak bahasa. Memberikan kesan ramah sekali. Tapi sayang, tulisan shabahul khair nya rusak dan di sana ga ada Bahasa Indonesia :(

Pelayanan lain yang diberikan adalah room service. Setiap pulang kerja, kamar saya kembali rapi dan bersih. Saya ga kebayang gimana komentar petugas kebersihannya pas lihat kamar mandi mas-mas jadi tempat njereng cucian. Hahaha

Tarif jasa laundy di Weisses Kreuz kala itu. Tapi saya ga pakai. Hihi.

Hari pertama, kami berangkat pukul 8.15 dengan dijemput kolega kami bernama Schwab. Kami menjalani hari-hari penuh ilmu baru. Hingga hari Jumat, 13 Desember 2019, kami harus berpindah. Di antara hari-hari kami di Swiss, hari Jumat itu hotel Weisses Kreus penuh. Memaksa kami untuk berpindah sementara.

Berpindah
Jumat pagi hari, kami check out dan menitipkan barang di Weisses Kreuz sebelum bekerja. Malamnya, kami -- saya dan Mas Nugroho -- mengambil barang kemudian menyusul Mas Ervani dan Mas Kridanto check in di Hotel Spatz (baca: Spats). Barang Mas Ervani dan Mas Kridanto ditinggal di Weisses Kreuz karena besoknya sudah kembali ke Weisses Kreuz lagi. Saya sih ga bisa tanpa barang-barang esensial yang saat itu ada di koper.

Hotel Spatz letaknya sangat dekat dengan Stasiun Lyss. Mungkin hanya 2 menit jalan kaki dari stasiun. Seperti Weisses Kreuz, Spatz juga sebuah hotel restoran. Namun, di sini sepertinya hotelnya tidak terlalu menonjol. Kalah pamor dengan restorannya. Pintu masuknya terletak di belakang restoran alih-alih di depan sehingga agak sulit menemukannya.




Hotel ini tidak ditemukan di laman booking seperti Traveloka. Kami mengetahui hotel ini juga karena info dari Seiler. Pun perusahaan Seiler yang melakukan booking untuk kami.

Bangunannya cukup sempit. Memang tarifnya beda jauh sih dengan Weisses Kreuz. Tapi perbandingan saya kurang tepat karena di Spatz saya menghuni kamar single sementara di Weisses Kreuz double room. Jadi harusnya wajar kalau lebih mahal hehehe.

Gara-gara harga hotel ini yang murah banget ... sebelum tidur, kami berempat bingung mencari-cari bahan defense jika nanti kami diprotes perusahaan kenapa menggunakan hotel yang lain. ups hehe. Alhamdulillah aman sih.

Kongkow di kamar Mas Nugroho. Dia dapat double room harga single.

Suasana kamar di Hotel Spatz. Minimalis. Bikin parno sih itu jendelanya. Takut kalau kelihatan dari gedung sebelah. BTW pintu di sana saya pikir adalah jalan menuju balkon. Ternyata ....

Itu pintu ke kamar mandi. Jendela kaca di kamar mandi itu meski buram bikin parno banget.

Hotel Spatz juga menyediakan sarapan. Salah satu hal yang patut kami syukuri selama di Swiss: tak perlu khawatir pagi-pagi kelaparan. Jika di Weisses Kreuz kami bebas mengambil apapun yang kami mau, di Spatz makanan disediakan di meja kami. Minum pun kami harus request ke pelayan yang sedang bertugas. Pagi di Spatz, saya minum teh mint. Enak sekali. Akhirnya teh mint saya jadikan oleh-oleh hihihi.

Sarapan di Spatz menunya terbatas pada yang disuguhkan di meja.

Satu malam menginap di Spatz, esoknya kami check out, titip barang, main sebentar, lalu kembali check in ke Weisses Kreuz. Saya jadi tidak bisa mengulas tentang room service di Spatz deh.

Sepertinya pembahasan penginapan sudah habis. Ingin membahas menu-menu sarapan sih tapi sepertinya akan masuk di kategori makanan yang akan dibahas selanjutnya.

Segini dulu saja. Besok saya jadwal libur tapi harus tetap masuk kantor nih (curcol). Semoga postingannya menghibur dan bermanfaat.

Comments

  1. Mantap Kak, next ceritane ditunggu yah pinisirin hehe

    ReplyDelete
  2. Nguerii kak. Membacanya seperti sedang berada di Lyss. Jadi tidak sabar menanti kelanjutan ceritanya. Salam buat kak Schawb.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Es Wawan