Eid al Fithr 1441 H

Mungkin tahun ini menjadi Idul Fitri yang tidak biasa bagi sebagian orang. Saya pun demikian. Kali ini saya mengalami Idul Fitri di Madiun. Hendak saya sebut rantau tapi kok jaraknya hanya sekitar 2,5 jam berkendara sepeda motor dari Kediri. Separah-parahnya yang pernah saya alami sebelumnya adalah tiba di rumah sore hari terakhir Ramadhan tiga tahun yang lalu. Masih bisa merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Bahkan masih lengkap bersama bapak. Saya baru sadar, Idul Fitri tahun itu adalah Idul Fitri terakhir dengan bapak.

Halo, Bapak! Semoga khidmatnya Idul Fitri di dunia bisa menjadi pelipur lara bagi bapak dan saudara-saudara di alam sana.

"Pasti ngerasain sesuatu yang agak aneh .." demikian kata seorang teman setelah saya bilang bahwa ini pengalaman pertama saya menjalani Idul Fitri tanpa keluarga. Pasalnya, ini adalah tahun keempat bagi teman yang satu ini merayakan Idul Fitri di rantau. Harusnya tahun ini idealnya dia mendapat jatah cuti Idul Fitri di rumah. Ternyata bagai bintang jatuh yang merebut putri dari ksatria, wabah COVID-19 merampas impiannya untuk pulang. Menjadikannya pungguk merindukan bulan. Pukpuk.

Sepulang kerja maghrib tadi, takbir Idul Fitri mulai dikumandangkan. Hanya satu-dua. Baru ramai setelah isya. Benar katanya, rasanya aneh mendengar takbir, menyadari esok Idul Fitri, dan saya sedang berjalan pulang menuju indekos, bukan rumah untuk bertemu ibu.

Orang-orang mulai berkirim sapa mengucap salam hari raya di grup-grup WhatsApp. Saling mendoakan dan memohon maaf. Saya pun melakukan hal yang sama. Beberapa bulir sudah dimohon maafnya. Biar saja dulu sedikit. Besok lagi.

Sebenarnya saya bingung, apa seharusnya yang saya rasa ketika Idul Fitri tiba? Haruskah saya bahagia atau malah sedih? Nyatanya, belakangan ini setiap malam menjelang Idul Fitri yang saya rasa adalah sendu. Apalagi sejak bapak pergi. Bercampur antara sedih dan sesal atas Ramadhan yang dilalui dengan biasa saja, juga sendu karena suasananya membawa memori kembali pada bapak. Malam ini juga demikian.

Demi memberikan penghayatan suasana, agar diri tidak hanya berdiam di indekos kemudian hanya melewati malam takbiran dengan berselancar melalui salah satu jendela baru dunia: smartphone, saya memutuskan keluar indekos. Tujuan saya adalah taman di depan Polres, samping rel kereta. Saya tahu di sana sering sepi. Tempat yang pas untuk menyendiri, mendengarkan takbir sambil melihat langit dan kehidupan.

Langit malam di taman tadi tidak seperti yang saya harapkan. Terganggu oleh silau lampu taman dan jalan raya. Namun, hiruk-pikuk dunia terlihat menyenangkan. Takbir berkumandang di mana-mana. Manusia berlalu-lalang di jalanan, mungkin sebagian dalam perjalanan pulang kerja, sebagian yang lain mungkin sedang menikmati suasana seperti saya. Ditambah suara sirine palang kereta yang menghalangi pengendara melintas, sebaliknya memberi akses pada kereta tangki minyak. Kombinasi yang membuat saya bebas mengikuti takbir tanpa malu terdengar orang lain. 

Mari saya bagi apa yang saya lihat dari taman tadi. Ada videonya tapi urung saya bagi karena suara saya ternyata annoying wkwk.

Rasanya seperti melihat dunia di luar lingkupnya. Seperti pengamat yang jelas-jelas berada di luar sistem (tapi sebenarnya dia bersama yang diamatinya termasuk sistem yang lebih besar, bergantung sebatas mana kita mendefinisikan sistemnya, duh jadi ingat kelas Rekayasa Termal dan Mekanika Fluida).

Mengumandangkan takbir seorang diri seperti ini kembali membawa memori pada bapak. Tiap malam takbiran, mau di rumah atau jalan-jalan, baik saat di atas kendaraan atau saat di lokasi tujuan jalan-jalan, bapak mengumandangkan takbir. Ikut memeriahkan suasana meski tidak dalam rombongan.

Ada sesal dalam diri karena mengurungkan niat membawa laptop. Awalnya saya berencana menulis di taman itu. Mungkin jika tadi menulis di sana, tulisan ini akan jadi lebih bagus. Hihihi.

Tak ada 30 menit saya duduk-duduk di taman. Tak mau berlama-lama lagi karena sepertinya tak baik perempuan sendirian malam-malam di tempat sepi. Cucian yang direndam juga sudah menunggu. Selain itu khawatir juga ada yang mengira saya dedemit yang kebetulan nongol di sunyi-sepi taman.

Selanjutnya saya pulang dengan mengambil jalan memutar. Menuju arah stasiun, kemudian berbelok ke Jalan Dr. Sutomo, dan terakhir belok kanan ke Jalan Nias, menuju indekos. Niatnya tidak lain dan tidak bukan adalah agar perjalanan saya menjadi takbir keliling (yang rutenya benar-benar berkeliling). Hihihi. Mungkin orang lain melihat saya aneh: cewe jalan sendirian malam-malam, lewat jalanan sepi agak gelap pula, apalagi cara jalan saya agak nyentrik, sulit ngubahnya. Biar saja. Saya cuma melakukan yang saya ingin lakukan. Lagian sekalian olah raga.

Demikian saudara-saudara. Ramadhan telah usai. Bagi saya sendiri, banyak sesal karena terlalui dengan datar-datar saja. Meski begitu, semoga Ramadhan yang baru berlalu ini barokah bagi kita semua, memberi kita damai, dan menjadikan kita insan yang lebih baik dari yang sebelumnya. 

At last, saya mohon maaf lahir dan batin. Saya sering nyinyir, ghibah, dan banyak nyebelinnya. Maaf yang teman-teman beri insyaAllah menambah berkah bagi teman-teman sendiri dan yang dimaafkan. Maka dari itu, mari saling memaafkan. Happy Eid Mubarak. 

Comments

Popular posts from this blog

Es Wawan