Hujan

Pukul 7.10 WIB.

Nur: Mbak, kamu sampai mana? Ditanyain Pak Jembar nih.
Nala: Saya masih di kosan kakak saya, Mbak Nur.
Nur: Walaah kami sudah di sini sejak jam 7.

Wah gawat! Saya membuat seorang atasan menunggu. Padahal saya berencana berangkat ke lokasi pukul 7.30. Hanya makan waktu sekitar 15 menit untuk perjalanan dari kosan Mbak Tri ke Teknik Industri Universitas Brawijaya (UB). Acaranya kan pukul 09.00. Bahkan berangkat pukul 7.30 pun masih menyisakan banyak waktu persiapan.

Lagipula, aturan dari mana bahwa cecunguk harus buru-buru hanya karena atasan datang awalnya kebangetan? Aturan dari mana yang seolah mengharuskan cecunguk datang lebih dulu dibanding atasan? Dari mana lagi kalau bukan mental senioritas?

Secara profesional, bukankah cecunguk dan atasan tiada beda? Tidak ada aturan yang menyatakan atasan adalah raja dan cecunguk adalah babu yang harus terbirit-birit berlari demi memuaskan atasan atas hal-hal yang secara profesional tidak penting-penting amat, masih bisa ditoleransi.

Saat ini saya berada di Malang. Tepatnya di kosan Mbak Tri, di area sekitar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sepulang dari Bandung dua hari yang lalu, saya menghabiskan waktu satu hari di rumah untuk kemudian beranjak ke Malang untuk acara hari ini. Kebetulan sekali Mbak Tri sedang mengikuti kegiatan Pendidikan Profesi Guru di UMM.

Kemarin sore, berangkatlah kami berdua menaiki bus reyot menuju Malang. Benar-benar reyot. Bus kecil, tanpa AC, berdesakan penumpang, dan jalannya merambat. Tak ayal, ada penumpang yang berdiri mabuk kendaraan. Muntah di dalam bus. Beruntung fisik saya tahan banting. Biasanya mabuk kendaraan semacam itu bisa menular. Satu orang muntah, bisa memicu pusing dan mual penumpang lain.

Buru-buru saya ucapkan selamat tinggal pada kosan Mbak Tri. Dia sudah berangkat sejak pukul 06.00 tadi. Jadwalnya padat. Penuh kuliah dan penuh tugas. Saya hanya bisa pamitan langsung dengan kamarnya.

Jalanan ramai meski Mamang Ojek memilih rute melewati gang-gang. Kota besar memang begini. Bukan jalan raya pun tetap ramai. Anak-anak berangkat sekolah, mahasiswa berangkat kuliah, orang-orang berangkat kerja, anak kosan mencari makan, dan ibu-ibu menuju pasar tumpah ruah memeriahkan pagi.

Pukul 7.29 saya tiba di depan gedung Teknologi Industri UB. Nyatanya, Pak Jembar sedang di sebuah ruangan bersama dosen-dosen sementara saya bersama Mbak Nur duduk di luar bingung sendiri mau ngapain. Akhirnya kami memutuskan menuju ruangan acara. Memastikan materi sudah diterima dan disiapkan panitia dengan baik.

Pukul 09.00 acara tak kunjung dimulai. Kurang ajar sekali mental mahasiswa Indonesia. Dari dulu zaman saya masih memanggul label mahasiswa hingga sekarang kala millenials di-agung-agung-kan, mental molornya masih saja belum berubah. Mental ini terbawa hingga dewasa. Membuat mental ini bercokol di dunia industri, pendidikan, pemerintahan, dsb. Menyemai perubahan massal memang sulit jika masing-masing individu masih egois dan tidak berinisiatif untuk memulai dari diri sendiri.

Acara hari ini simpel saja. Pak Jembar diundang untuk memberikan kuliah di sini. Saya yang ditugaskan membuat materinya. Dan di sinilah saya sebagai orang yang bertanggung jawab atas materi yang tertulis. Jika perlu perubahan mendadak, saya yang harus turun tangan. Karena tak ada perubahan, hari ini tugas saya sesimpel menjadi juru pindah slide.

Usai menyampaikan kuliah, Pak Jembar undur diri. Namun itu tidak berlaku bagi saya dan Mbak Nur. Kami melanjutkan diskusi dengan pihak kampus tentang kunjungan industri ke perusahaan kami sambil mencari jadwal kereta terdekat dan menunggu waktu keberangkatan. Melalu pembelian go-show, kami mendapatkan kereta keberangkatan pukul 13.30 dari Malang, Kereta Gajayana. Dengan pembelian seperti ini, jangan terlalu berharap dapat memilih tempat duduk sesuai keinginian. Saya biasanya akan memilih tempat duduk di samping jendela. Kali ini, musnah sudah keinginan saya. Hanya tersisa tempat duduk di samping aisle.


Kami perlu menunggu sekitar 15 menit sejak tiba di Stasiun Malang hingga kereta berangkat. Meski bukan akhir pekan maupun masa liburan, stasiun ini tetap ramai orang berpindah tempat.

Tempat duduk saya ada di Gerbong 4, 10-B. Mbak Nur mendapat tempat duduk yang terpisah jauh di belakang namun masih satu gerbong. Saya berharap tempat duduk samping saya masih kosong jadi saya bisa menikmati pemandangan di luar dengan lebih leluasa meski sebentar. Saya menghampiri tempat duduk dari sisi belakang. Terlihat sesosok manusia berjaket hitam, rambut cepak. Yah sudah ada orang. Mungkin saya akan menghabiskan waktu membaca buku saja.

"Halo, Mas. Permisi."
"Silakan, Mbak."

Sebuah momen canggung yang selalu muncul kala berjumpa penumpang baru terjadi. Meski sudah berniat untuk membaca buku, hati saya tetap mengajak untuk memecah kecanggungan. Kalimat saya sudah di ujung tekak.

"Mau ke mana, Mbak?" Yah saya keduluan.
"Madiun, Mas. Mas?" Saya balik bertanya. Template sekali.
"Wah sama. Madiun juga. Di sini kerja?"
"Saya kerjanya di Madiun. Ini tadi kebetulan ada kerjaan yang mengharuskan ke sini. Ke Madiun mau pulang, Mas? Kerja di sini?" Hanya sedikit improvisasi dari template. Haduh.
"Ini tadi habis jenguk adik. Baru pertama kuliah jadi dijengukin dulu. Mumpung ada waktu. Ini mau pulang."

Seutas senyum menyertai di sela percakapan. Intonasinya ramah. Santun. Sepertinya teman perjalanan saya kali ini adalah orang yang easygoing.

Pengumuman keberangkatan sudah dikumandangkan. Masinis melakukan traksi. Perlahan kereta bergerak maju. Tak lama setelah meninggalkan stasiun, terlihat rumah-rumah yang dicat berwarna-warni.

"Oh jadi ini ya kampung warna-warni yang populer itu," Saya kembali membuka obrolan. Bersama kami melihat kampung warna warni layaknya pelangi itu, "Iya. Baru kali ini saya lihat."
"Sama. Saya juga. Sebenernya kalau dilihat-lihat biasa saja ya?"
"Iya. Bisa nge-hits karena media sosial. Tapi lebih mending kan daripada tidak dibuat berwarna-warni? Coba kalau dibiarkan, pasti lebih terlihat kumuhnya."
"Wah bener juga."

Saya urung membaca buku. Kereta melewati kawasan bukit dan persawahan. Indah sekali dipandang. Sayang sekali saya tidak leluasa melihat. Namun nikmat itu tergantikan dengan obrolan seru dengan teman seperjalanan yang belum saya ketahui namanya ini. Kami bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing. Sedikit demi sedikit saya menggali tentang lawan bicara saya. Di mana dia bekerja, apa pekerjaannya, apa ilmu yang didalaminya.

"Mas kerja di mana sih?" Saya coba gali informasi lagi.
"Di Kalimantan." Ternyata teman seperjalanan saya ini cukup tertutup tentang profesinya.
"Jarang ketemu keluarga berarti? Atau keluarga memang sudah di Kalimantan?" Saya coba pancing. Heheh
"Waduh saya belum nikah, Mbak. Keluarga dari mana." jawabnya santai sambil cengengesan. "Saya dapat libur 14 hari setiap 56 hari. Jadi saya pulang 2 bulan sekali. Ini saya lagi libur 2 minggu itu." Saya mulai bisa menebak bidang pekerjaan lawan bicara saya ini. "Kalau Mbak, keluarga di Madiun?"
"Asal saya Kediri. Tiap minggu saya usahakan pulang."
"Nanti kita lewat dong. Ga pulang sekalian?"
"Yah besok udah kerja, Mas. Capek di jalan lah kalau mampir-mampir."

Awak kereta lewat menjajakan makanan dan minuman. Perhatian kami teralihkan. Sebentar saja. Kami berdua tidak tertarik untuk makan atau minum. Obrolan kami rasanya seru.

"Saya dulu anak SMK, Mbak. Tahu sendiri kan biasanya anak SMK kebanyakan tidak berorientasi untuk kuliah? Tapi saya pengen kuliah. Saya dulu belajar habis-habisan buat ngikutin pelajaran SMA. Dulu SBMPTN saya ambil UNESA sama UNS. Alhamdulillah keterima di UNS, Teknik Sipil," Dia mulai membuka cerita hidupnya. Matanya terlihat bersemangat sekali bercerita.

"Kalau memang dari awal ingin kuliah, kenapa dulu ga masuk SMA aja, Mas?"

Sambil membenarkan posisi duduk, dia kembali bercerita, "Rumah saya di desa, Mbak. Di kabupaten. SMP saya dulu juga dari kabupaten tapi saya ingin sekolah di kota. Dulu NEM saya lumayan bagus lho. Tapi kalau dari kabupaten mau sekolah di kota kan ada kuota tersendiri. Nah NEM saya tu ga masuk di kuota ini. Padahal kalau itu NEM-nya anak kota, saya bisa masuk tuh. Pendaftaran SMA kan barengan jadi saya tidak punya pilihan lain. Daripada saya ga sekolah, jadi mending masuk SMK."

"SMK pun saya ambil jurusan agak beda. Biasanya kebanyakan SMK kan otomotif gitu. Saya ambil Teknik Bangunan. SMK kan ada praktik lapangannya 1-2 bulan, saat praktik lapangan ya saya jadi kuli. Bahasa kerennya aja Teknik Bangunan, realitanya jadi kuli bangunan."

"Karena saya asalnya dari SMK, kami terbiasa praktik menggambar teknik 2D dan 3D menggunakan software. Jadi saat kuliah, ketika teman-teman yang lain masih jalan patah-patah, saya, 'ini sih gampang!' Hahaha," Cerocosnya dengan antusias sambil menggerakkan tangan seperti mengoperasikan komputer. Obrolan ini semakin asyik. Tawa bangga menghiasi wajah teman seperjalanan saya ini. Semakin ... cakep. Eh.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Kami bercerita tentang pengalaman kuliah: tentang unit kegiatan yang kami ikuti di kampus, kriteria memilih kosan, frekuensi pulang, hingga usaha untuk memenuhi kebutuhan finansial karena ternyata kami sama-sama penerima beasiswa pemerintah dan sering sungkan meminta pada orang tua ketika uang bulanan kami kurang.

"Saya sebenernya di kampus ikut organisasi Islam yang aktif di masjid gitu loh, Mbak. Tapi tiap saya ikut kumpul tu saya merasa beda sendiri terutama dalam hal berpakaian. Kan saya jadi sungkan ya. Makanya saya lebih aktif di Pecinta Alam. Mbak suka naik gunung?" Style teman perjalanan saya ini memang cocok diasosiasikan dengan anak gunung. Tas dengan brand yang terkenal dengan peralatan pendakiannya, celana yang sepertinya memang celana untuk naik gunung, sandal gunung, jam tangan digital, dan jaket yang meski bukan jaket gunung tapi memiliki brand yang sama dengan tasnya.

"Hahaa pengen doang, Mas. Belum keturutan. Kalau di kampus saya semua yang beragama Islam masuk ke namanya Gamais, Keluarga Mahasiswa Islam. Tapi yang aktif ya penggiat masjid gitu. Saya tiap ikut acaranya sungkan juga sih. Lha saya style-nya pakai jeans, kaos, kelakuannya pencilakan, trus kumpul sama yang pakai gamis, yang kalem-kalem jadi aneh gitu kan rasanya. Sungkan. Hehee saya malah aktifnya di karawitan."

"Masa-masa kuliah menyenangkan ya," Lanjut saya. "Tapi banyak susahnya juga haha. Saya lebih banyak homesick di tahun-tahun terakhir karena menurut saya itu masa-masa sulit bangeet."

"Loh saya malah awal-awal seringnya pulang. Semakin ke belakang. Saya semakin tahan untuk tidak pulang. Sayang uangnya. Saya kan beswan x. Kadang kurang gitu untuk kebutuhan kuliah dan sehari-hari. Mau minta orang tua sungkan juga kan. Kalau pulang pasti jadi keluar uang lebih. Saya lebih banyak menyibukkan diri cari sambilan."

"Sambilan apa? Kalau saya dulu nyambinya ngajar gitu. Ga mampu kayaknya nyambi yang akademik gitu. Paling banter ya asisten praktikum."

"Proyek-proyek gitu sih. Saya sering gangguin senior-senior hahaha. 'Bang, ada kerjaan ga? nggambar apa gitu kek, Bang.' Ga ada di satu ya ke yang lain. Sampai akhirnya kalau ada kerjaan tanpa saya minta juga beberapa dikasih ke saya."

"Saya dapat kerja pertama kali juga dari ikut proyek begini sih," lanjutnya. "Setelah lulus, saya ikut proyek dosen. Proyek pertama setelah lulus tuh sebuah rumah sakit di Solo."

"Koordinasi antara arsitek dan engineer sipil dalam proyek tuh kayak gimana sih, Mas? Saya ngebayangin kok kompleks gitu ya. Banyak love-and-hate-nya haha."

"Waduh, Mbak. Kadang pusing saya. Udah nggambar trus ga jadi. Revisi lagi, lagi, dan lagi." Jawabnya dengan gaya sebal yang lucu sekali. Haha. "Arsitek kan lebih ke estetikanya. Ada sih pertimbangan kekuatan dsb. Tapi kadang dari mata orang sipil, itu tidak memungkinkan. Maunya arsitek apa, di lapangan realitanya gimana. Yaudah deh cekcok kalau udah kayak gitu."

"Haha kok kayaknya malah seru ya saya ngebayanginnya. Beruntung loh kamu dibuat sekolah di SMK, Mas. Jadi kuli hahaha. Kalau ga gitu, mungkin kamu ga akan kepikiran jadi civil engineer." Antusiasme saya perlahan naik.

"Saya selalu terpukau dengan karya-karya orang Teknik Sipil loh, Mas. Keren gitu. Gedung-gedung pencakar langit setinggi itu bisa ga roboh, lorong bawah tanah bisa ga roboh, jembatan juga bisa kuat dan ga roboh. Saya ga bisa bayangin deh kalau bikin jembatan tu ngecornya gimana coba? Kan air semua tuh," Saya coba tanyakan hal yang selama ini saya sangat ingin tahu.

Dia tampak menata pikiran dan menghela nafas, "Sebenarnya fokus saya lebih ke sipil bangunan tapi saya coba jawab berdasarkan yang saya ketahui ya. Kita bisa memasang pembatas mengelilingi area pondasi terlebih dahulu," Dia mulai menjelaskan sekaligus memperagakan dengan tangan. "Luasnya cukup untuk pekerja beraktivitas dan beristirahat. Kemudian kita sedot air di dalam pembatas itu. Selesai." Menakjubkan. Kenapa saya tidak pernah terpikir jawaban seperti itu atas pertanyaan yang sudah lama terpendam?

"Kalau Mbak yang dikerjain apa?" Ganti dia menggali tentang saya.

Perlu waktu sejenak untuk saya merumuskan kalimat untuk mendeskripsikan pekerjaan saya, "Di kereta yang modern, biasanya kontrol-kontrol kereta kayak buat pintu, AC, dll dilakukan oleh sebuah sistem. Nah, kerjaan saya membuat sistem ini. Secara software-nya saja sih. Hardwarenya tetap beli karena kita belum mampu bikin. Ini diharapkan bisa mengurangi cost karena selama ini belinya barang siap pakai. Harganya mahal dan kita jadi bergantung kepada penyedia produk jika terjadi kerusakan."

"Perlahan kita kuasai teknologinya ya. Lalu selanjutnya apa?"

"Ke depannya, sistem ini bakal terintegrasi dengan IoT, Mas. Internet of Things. Tahu ga?" Saya menduga, harusnya lawan saya tahu istilah ngetop dekade ini.

"Engga." Yaaah kok ga tahu sih.

"Dengan internet, kita kirimkan data-data keretanya ke server kita. Jadi meski di office, kita bisa tahu kereta kita sedang ada di mana, sedang ada gangguan apa."

"Wah keren. Kalau di dunia sipil apa ya yang kayak gitu? Kayaknya inovasinya lebih ke peralatan, material dan metode atau cara membangunnya."

"Eh ada loh, Mas. Saya pernah baca paper gitu, sebuah perusahaan jepang memasang sensor-sensor di lift yang mereka produksi. Sistem lift mereka diberikan kemampuan untuk mengirim data sensor-sensor tadi ke server perusahaan. Jadi perusahaan tau tingkah laku si lift meski sedang dioperasikan di mancanegara. Nah, pinternya mereka, dengan melihat tingkah laku ini mereka membuat sistem untuk memprediksi kerusakan lift sehingga mereka bisa menyiapkan tenaga dan sparepart untuk melakukan maintenance sebelum terjadi kerusakan."

"Selain itu, sekarang nge-tren juga kok Smart Home gitu. Tapi emang lebih ke elektroniknya sih, bukan persipilannya. Heheee," Tambah saya sambil nyengir.

Kereta kami melintasi persawahan. Hijau sejauh mata memandang hingga bertemu dengan biru. Di sana berbaris banyak SUTET yang menghubungkan saluran distribusi listrik. Saya suka pemandangan seperti ini. Persawahannya membuat saya kagum pada Sang Pencipta sementara SUTET-nya membuat saya kagum dengan engineering-nya orang listrik arus kuat yang jika  saya tarik lagi malah membuat saya kagum pada Dia yang memberikan petunjuk sehingga engineer listrik arus kuat dapat merekayasa distribusi listrik dengan SUTET ini.

Tanpa bisa saya tahan, saya tersenyum melihat pemandangan di luar jendela. Teman seperjalanan saya turut melihat apa yang ada di luar sana. Membuat seolah kami melihat pemandangan bersama. Hahaha.

Obrolan kami berlanjut. Berbagai obrolan berlalu. Tebakan saya akan pekerjaan teman bicara saya ini terkonfirmasi. Wah saya sedang berbincang dengan engineer keren! Saya kagum dengan bagaimana cara dia menjelaskan hal-hal di bidangnya. Caranya menjelaskan gamblang dan mudah dipahami. Ditambah dengan suasana humor yang dibangun, rasanya seru sekali obrolan kami.

Saya melihat sekeliling. Semua orang di gerbong itu terlelap. "Eh sadar ga sih. Semua orang di gerbong ini tidur. Kita doang yang berisik dari tadi."
Dia mengelilingkan pandangan. "Wah bener juga. Yaampun."

Seseru itu obrolan kami hingga tak menyadari bahwa hanya kami sumber suara manusia di gerbong itu.

"Kita dari tadi ngobrol tapi belum kenalan loh." Dia mengulurkan tangan. "Hujan."
"Nala." Saya sambut tangan itu. Tersungging senyum di wajahnya. Oh Tuhan, dia manis sekali. Eh.

Perjalanan kami mungkin sudah lebih dari separuh perjalanan. Obrolan kami berlanjut. Sama sekali tak memberi jeda pada saya untuk menumbuhkan keinginan membaca ataupun tidur. Momen ini terlalu jauh dari kata membosankan. Keterbukaan pikirannya membuat bermacam topik mengalir begitu saja.

Dering handphone-nya berbunyi. Seseorang memanggil. Terlihat "Ibu" tertera di sana. Mau tak mau saya mendengar komunikasi mereka meski hanya di satu sisi. Membuat saya tertegun. "Sopan sekali ini bocah sama ibunya," batin saya.

Manusia ini, dengan humor, kemampuan komunikasi, pengetahuan, sopan santun, dan keterbukaan pikirannya sangat menarik untuk dijadikan teman. Lain waktu kami bisa diskusi tentang banyak hal kembali. Menjadi teman jangka panjang hingga mati juga boleh. Eh.

Sebentar lagi kami tiba di Stasiun Madiun. Waktu saya berjumpa tidak lama lagi. Hati saya mulai mengeluh, "Yah sebentar lagi berpisah."

"Mbak Nala, boleh saya minta kontaknya?" Dia kembali memulai percakapan.
Saya mengerutkan dahi dan menyipitkan mata. Ragu-ragu. Belum sempat saya menjawab, buru-buru dia menjelaskan. "Saya kan ke depan pengen kerja dekat rumah. Kan ga mungkin saya kerja di Kalimantan terus. Pengen dekat keluarga juga. Jadi, kali aja di tempat kerja Mbak Nala ada lowongan, kan bisa kabari saya. Hehe."
"Was that a camouflage?" curiga saya. Tapi apapun itu, toh saya memang ingin berteman.
Dengan ragu-ragu tapi mau, "Well, OK."  Saya terima handphone-nya kemudian mengetikkan kontak saya.

Usainya, dia mengirim pesan agar saya bisa menyimpan kontaknya. "Assalamu'alaikum." Begitu pesannya. Saya jawab lisan, "Wa'alaikum salam."

Saya nervous. Saya bingung mau ngapain. Hati saya tegang. Sebentar lagi kami berpisah. Rasanya mirip sekali dengan saat perpisahan dengan teman-teman baik.

Akhirnya kereta tiba di Stasiun Madiun saat maghrib menjelang. Kami bersama mencari pintu keluar kereta. Seharusnya kami mengambil pintu sebelah kiri. Saya tahu itu. Sudah berkali-kali saya naik-turun di stasiun ini. Namun, entah kenapa kok saya manut saja mengikuti dia keluar di pintu sebelah kanan.

Saat dia sudah turun di sisi kanan, dia berbalik. Saya yang masih di atas kereta, kali ini bisa melihat wajahnya penuh dari depan. Tadi saat di kereta lebih banyak saya tidak melihat wajahnya karena posisi kami menyamping. Yaampun, Tuhan, kenapa makhluk ini menarik sekali. 

Sesudah turun, saya kembali sadar bahwa tak seharusnya kami lewat sini. Pintu keluar ada di seberang. Yaampun, Nala, bego banget sih sampe ga bilangin dia ini jalan yang salah. Kenapa ngikut-ngikut aja dah? Pikiranmu ke mana tadi?

Akhirnya kami kembali naik kereta dan turun melalui pintu sisi kiri. Saya masih tegang. Rasa ndredeg atas perpisahan ini belum kunjung hilang. Membuat saya kaku kayak kanebo kering. Saya malah berjalan cepat tanpa mengucapkan salam perpisahan dengan baik.

"Bye." Itu saja yang saya ucapkan. Kemudian saya langsung berjalan cepat, pergi menghindar. Hati saya masih tegang. Haduh, Nala, kenapa kamu sering seperti ini? Tak bisa mengontrol perasaan dan menghindar begitu saja.

Itu sama sekali bukan perpisahan yang saya harapkan. Keluar dari stasiun, saya menyesal. Buru-buru saya kirim pesan kepada Hujan.

Nala: Sampai jumpa kapan-kapan. Thanks obrolannya seru.
Hujan: Iya. Sama-sama. Terima kasih sudah mau ngobrol sama Hujan.

Saya masih berharap dapat berjumpa di lain kesempatan. Jumpa lewat pesan pun tak apa. Saya ingin berteman dengannya. Dia dengan kepribadiannya terlalu sayang untuk dilewatkan menjadi teman.

-----

Pertanyaan terakhir. Apakah kisah ini nyata?

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Es Wawan