Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - الثلج

Beberapa waktu yang lalu saya kembali membuka histori SMS dengan bapak yang sempat disimpan. Tidak lengkap namun lebih baik daripada tidak sama sekali. Kemudian saya menemukan ini.

Harap maklum teks tsb diketik dengan satu tangan dengan perangkat yang keyboardnya keras pula.

Penemuan ini mengingatkan momen-momen euforia bermimpi dulu. Bapak selalu jadi tempat pelampiasan eheheee. Bertahun sebelum SMS tadi, pernah terjadi percakapan via SMS yang tidak tersimpan karena di hp jadul yang kurang lebih seperti ini.

Nala: "Pak, aku pengen ke Jepang, pengen ke Eropa, pengen keliling dunia."
Bapak: "Ya. Suk aku ajaken ya."

Oleh karenanya perjalanan ke Swiss Desember lalu terasa seperti momen sakral bersama bapak meski secara fisik bapak tidak ada. Bahkan saya sempat berencana membawa baju batik bapak ke Swiss untuk kemudian menyempatkan diri main dan foto di sana mengenakan baju bapak. Hahahaaa tapi lupa bawa bajunya. Pun mainnya cukup wacana wkwkwk.

Sejak lepas landas dari Indonesia, dalam hati saya sudah bergemuruh, "Pak, here I am. Aku mau ke Eropa. Aku mau memenuhi janjiku untuk ngajak bapak. Meski bapak secara fisik ga ada, aku tetep merasa berpetualang bareng bapak."

Entah sejak kapan impian tadi bercokol kemudian terdeklarasi kepada bapak. Awalnya sih ingin ke Jepang. Kemudian perlahan keinginan ke Eropa muncul juga. Satu, karena  seorang teman dekat juga ingin ke sana. Dia pernah ngajak ke Vienna, Austria. Pun pernah bilang bahwa dia ingin sekolah di Belanda. Dua, karena saya mengetahui bahwa universitas terbaik untuk teknik elektro ada di Eropa: ETH Zürich.

Selain momen bersama bapak, saya melihat momen ke Swiss adalah salah satu jawaban atas impian-impian saya:
1. Keliling Eropa,
2. Sekolah di ETH Zürich,
3. Mengunjungi Grindelwald (tentang Grindelwald akan ada bahasan tersendiri wkwk)
4. Merasakan 4 musim non-tropis. Yang pernah saya alami adalah penghujung musim dingin yang dinginnya menyiksa, dilanjut musim semi yang aduhai cantiknya, dan permulaan musim panas yang ga kalah dengan Madiun di terik siang bolong. Inginnya sih setelah itu ngrasain musim gugur, baru musim-musim ekstrim yang tidak lain dan tidak bukan adalah puncak musim panas dan musim dingin.

Tentang 4 musim ini cukup menarik. Karena saya mengunjungi Swiss pada bulan Desember, saya terbayang akan menghadapi awal musim dingin yang cuacanya akan ekstrim. Sama sekali bukan cuaca yang saya suka. Sejak bulan November saya sudah rajin melihat ramalan cuaca di kota Lyss untuk tanggal 8-18 Desember 2019. Semuanya demi persiapan yang mantap. Saya tidak mau menderita kedinginan seperti di Korea dulu.

Meski begitu, harap-harap akan turunnya salju muncul juga. Ingin sekali rasanya melihat langsung salju seperti apa tapi ga mau menderita kedinginan wkwkwk. Nyatanya memang di musim dingin, bersalju belum tentu dingin dan cerah belum tentu hangat kan?

Karena semakin hari ramalan cuaca semakin memperlihatkan cuaca 8-18 Desember 2019 tidak bersalju, maka saya sama sekali tidak euforia harap-harap lagi.

Hingga pada sore tanggal 11 Desember 2019, di tengah keruwetan pikiran karena saya dan Mas Ervani overflow dijejali materi komunikasi CAN dan WTB (ga ada yang ngerti kan?), turunlah salju tanpa kami sangka-sangka. Otomatis kami menghentikan kegiatan. Beralih melihat keluar jendela. Takjub. Mentor kami hanya bilang, "Saya mengerti. Ini pertama kalinya kalian lihat salju. Di Indonesia ga ada salju kan?"


Saya dan Mas Ervani hanya bisa melihat salju dari jendela ruangan untuk tidak lama kemudian kami kembali dijejali ilmu-ilmu komunikasi data yang agung. Sementara Mas Kridanto dan Mas Nugroho malah diajak mentornya keluar gedung untuk menikmati salju. Ah mereka beruntung sekali.

Hari itu hanya sebentar turun salju. Bahkan salju sudah berhenti turun sebelum kami pulang. Malam harinya hujan. Menyisakan jalanan yang basah keesokan harinya.

Menuju tempat kerja eh training, 12 Desember 2019, 07:57 waktu setempat

Saat perjalanan pulang kerja tanggal 12 Desember, kami diguyur hujan meski sebentar. Malam itu cuaca labil sekali. Padahal kami sudah lari-lari kebingungan ternyata hujannya hanya beberapa menit.

Keesokan harinya, 13 Desember 2019, sesudah sholat subuh, pukul 06.40, saya mendapati pemandangan seperti ini dari kamar.


Hati saya melonjak. Senang tiada tara. Memang tidak terlihat turun salju, tapi salju kali ini lebih tebal daripada yang sebelumnya. Kabar baiknya, saat sarapan mulai terlihat turun salju. Orang-orang di jalan mulai berjalan lebih cepat. Sebagian membawa payung, sebagian tidak.

Saya tidak sabar untuk berangkat kerja. Saya ingin hujan-hujanan salju. Semakin dekat waktu berangkat, semakin deras salju yang turun. Saya semakin antusias.

Ada sedikit rasa khawatir karena belum berpengalaman. Saya membayangkan kami akan basah kuyup jika tidak menggunakan perlengkapan. Ternyata, sodara-sodara, ga pakai payung pun gapapa. Banyak kok yang ga pakai. Payung pun ga basah. Yaampun udik nian kau ini, Nal.

Payungnya ga basah. Malah berat wkwkwkwk.

Mas Nugroho lebih lebay lagi. Demi melindungi tasnya yang tak ber-cover, dia berponco plastik sepanjang jalan. Sementara sepatunya dilindungi dengan mantel sepatu yang saya beli barengan dengan Sugandi di sebuah online marketplace. Keren sekali Mas Nugroho. No isin-isin club. Yang penting fungsinya dapet dan bisa sampai tujuan dengan aman.

Mas Nugroho menelusuri jalanan dengan santainya

Model kami mendukung kesukaan saya mendokumentasikan momen

Hari itu kami berangkat dengan bahagia. Kami yang dasarnya jalannya tidak terlalu cepat (Mas-mas sih wkwk. Saya kan jalannya cepet wkwk. Jadi kayak Yamaha di antara mereka, selalu di depan), semakin mencolok dengan euforia kami karena kami foto sana-sini. Sementara orang-orang pada umumnya bergegas. Tak mau berlama-lama di luar ruangan. Ingin segera merasakan kehangatan heater.

Pengalaman pertama melihat salju ternyata bisa semenggembirakan itu. Biar saja kami norak memang ini pertama bagi kami. Hihihi. 

Tapi jangan salah. Sebenarnya bukan hanya kami yang bahagia. Seorang anak yang berangkat sekolah terlihat berlari-lari sambil menggendong setangkup salju. Disusul temannya yang juga berlarian dan kemudian mengambil setangkup salju juga. Pasti mereka sebentar lagi akan saling lempar di sekolah. Wah indahnya masa kecil.


Putih di mana-mana. Seperti yang saya bilang tadi, bersalju belum tentu dingin. Hari itu relatif tidak terlalu dingin. Tidak sedingin hari Sabtunya nanti yang tidak turun salju.

Siapa sangka keindahan musim dingin ini ternyata juga membawa beberapa sengsara. Seperti harus selalu sedia pelembab demi melindungi diri dari kulit pecah-pecah, berberat-berat menggunakan pakaian tebal, sering kesetrum, harus mengganti ban khusus untuk musim dingin, sedia pembersih kaca untuk menghilangkan bunga-bunga es di kaca mobil, tak lupa mengeruk salju di jalanan agar dapat dilewati, dll yang saya belum ketahui. Hari itu kami sebenarnya menyaksikan kendaraan yang menggerus lapisan salju demi kemaslahatan umat ini. Sayang sekali tidak terdokumentasi.

Musim dingin tak seindah angan yang referensinya cuma dari tontonan layar, Kawan.
 
Tiba di kantor kolega, kami disambut oleh Mas Schwab. Kemudian disusul Amanda yang meng-update suguhan hari itu sekaligus mengumumkan menu makan siang kami. Hari itu Hari Jumat. Kombo. Salju, pindah hotel, menu paling enak dari Amanda, dan bagi saya pribadi, materi paling menarik. Jumat barokah.

Pagi itu euforianya tinggi sekali. Menyambut sebuah jawaban atas sebuah impian melihat musim non-tropis. Mimpi yang membawa memori tentang bapak. 


Allah, terima kasih atas kesempatan ini. Mohon sampaikan salam untuk bapak :)

Comments

Popular posts from this blog

Es Wawan