Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Makanan
Halo! Saya masih ngawang-ngawang sesi Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss ini akan jadi berapa bagian. Dipikir sambil jalan saja deh.
Di sampingnya lagi, menghadap arah yang berbeda karena sereal terletak di belokan, terdapat 2 buah roti: roti kepang yang mengkilat; dan roti non-kepang. Disediakan pisau dan kain untuk memegang roti. Pengunjung dipersilakan mengiris sendiri rotinya. Elegan sekali. Di keranjang samping kedua roti tersebut, terdapat croissants dan roti lainnya yang teksturnya lebih lembut. Wah croissant di Swiss enak sekali ^^
Dari kegiatan sarapan ini, saya menemukan sebuah perbedaan budaya kami dengan orang di sana. Kami selalu sarapan dengan baju seadanya karena selanjutnya kami akan kembali ke kamar untuk membersihkan diri dan bersiap berangkat. Sementara orang di sana sarapan dengan pakaian yang sudah rapi. Mereka sarapan sekalian jalan keluar. Praktis. Namun, bagi saya pribadi, rasanya tak nyaman kalau setelah sarapan tidak bersih-bersih dulu.
Hari-hari berikutnya, menu kami disiapkan spesial oleh juru masak perusahaan kolega kami. Nama juru masaknya Amanda. Kalau kata Schwab (ngomong di depan Amanda), "Our cook is great. Her cooking is ..." kemudian kedip sebelah mata. Tapi memang benar, masakan Amanda mantap sekali. Enak banget. Seiler saja mau makan makanan kantor kalau lagi Amanda yang masak. Kalau menu FELFEL, dia bawa bekal sendiri.
Suguhan
Di postingan sebelumnya, saya pernah bilang bahwa malam pertama saya tiba di Swiss, menu makan malam saya adalah sosis. Sosis tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah sosis yang biasanya jadi jajan bocah-bocah, harganya sebiji seribuan, yang saya bawa beserta toplesnya meski kondisinya sudah saya makan sebagian di kosan karena keburu pengen. Jarang-jarang kan saya makan sosis. Haha.
Keesokan harinya, hari-hari kami merasakan Eropa yang sebenarnya dimulai.
Hotel Weisses Kreuz melayani sarapan mulai pukul 06.00 hingga 10.00 pagi (perlu diklarifikasi lagi, lupa euy) di restoran hotel. Subuh berkumandang pukul 06.15 ke atas, praktis kami menyerbu restoran tak lama setelah mereka baru saja, kalau istilah orang Jawa, dasar. Restorannya kecil tapi menentramkan. Suasananya kalem, heartwarming gitu. Suguhan setiap pagi sesuai urutan yang kami temui berdasarkan rute masuk kami adalah sebagai berikut.
Di paling ujung, kita akan menemukan beraneka macam jus: jus jeruk; jus jambu; jus tomat; jus wortel; jus anggur; jus jeruk peras wkwk, dan air putih. Namun sebelum sampai di sana, melalui rute kami akan ditemui jajaran wine dan teman-temannya yang entah hanya untuk pajangan atau dijual botolan atau dijual per sajian, per gelas.
Di samping kompleks jus, tersedia sereal yang terdiri dari granola (?), corn flakes, aneka macam biji-bijian, dried fruits: aprikot; kismis; plum, dan teman sereal yang teksturnya kenyal tapi alot.
Aneka jus (di sisi kiri yang tak terlihat), jeruk dan alat peras, kompleks sereal, serta di paling ujung berjejer selai. Credit: Mas Nugroho |
Di sampingnya lagi, menghadap arah yang berbeda karena sereal terletak di belokan, terdapat 2 buah roti: roti kepang yang mengkilat; dan roti non-kepang. Disediakan pisau dan kain untuk memegang roti. Pengunjung dipersilakan mengiris sendiri rotinya. Elegan sekali. Di keranjang samping kedua roti tersebut, terdapat croissants dan roti lainnya yang teksturnya lebih lembut. Wah croissant di Swiss enak sekali ^^
Persis di ujung belokan, selai tertata. Ada yang ditempatkan dalam jar, ada yang dibungkus mini. Seingat saya yang dibungkus mini-mini adalah selai cokelat, dan madu.
Tepat di samping roti, bertenggerlah beraneka macam buah. Berbeda-beda setiap harinya. Namun tidak jauh-jauh dari apel, pir, kiwi, anggur, buah tin, jeruk, apalagi? Kami sering nggondol untuk dinikmati di kamar.
Bergeser lagi adalah area yang dilengkapi dengan es batu karena penyajian yang diharuskan dingin. Di sana adalah kelompok yoghurt, susu, manisan buah, sejenis salad buah namun teksturnya mengisyaratkan buahnya dipasrah bukan diiris, mentega, sesuatu hal yang terlihat seperti marshmallow yang terselimuti (mungkin) mayonaise yang kemudian saya duga adalah keju, dan beberapa bungkusan lain yang di kemudian hari, berkat keingintahuan Mas Ervani mengeksplor segalanya, kami ketahui sebagai "selai jeroan" wkwk.
Selanjutnya, sudah tiba di pojokan lain, bertengger sebuah rak. Di bagian bawah terdapat beberapa keju kering. Jauh berbeda dengan keju Kraft atau Prochiz yang belakangan baru saya tahu adalah keju olahan. Pantas rasanya masih bisa saya terima tanpa kesulitan yang berarti. Sedangkan di bagian atas terdapat lembaran-lembaran patty (?) dan ham yang saya tebak dimaksudkan untuk dikombinasikan dengan roti. Di depannya terdapat potongan sayuran yang mungkin dimaksudkan sebagai teman roti-sensasi-asin-dengan-daging, tapi Mas Nugroho mencampurnya dengan keju mayonaise yang saya sebut tadi, menjadikannya salad sayuran.
Di hari pertama, kami tiba di restoran paling awal. Jegigisan karena tak tahu harus bagaimana makannya. |
Tepat di belakang rak terdapat satu-satunya sumber protein hewani yang dapat kami makan: telur rebus. Di sana, orang menikmati telur rebus tidak terlalu matang. Telur ditempatkan di sebuah penyangga kemudian dibuka bagian atasnya sebagai jalan dan kemudian dimakan dengan sendok atau dijadikan celupan makanan lain.
Kami sebagai orang jawa tulen, maunya telur matang. Pelayan restoran berbaik hati memberikan telur rebus spesial untuk kami: ten minutes boiled egg. Cara kami menikmatinya juga Indonesia sekali. Dikupas dong. Kalau ga gitu dibelah jadi 2 (karena panas banget, ga kuat ngupas), lalu dimakan bersama taburan garam dan merica. Keesokan paginya, kami meminta lagi. Keesokan paginya lagi, tanpa diminta, pelayan sudah hafal kami akan meminta jadi mereka sudah siap siaga.
Beginilah kira-kira cara orang eropa makan telur rebus sumber: Google |
Di bagian paling ujung terdapat pemanggang roti. Tak pernah saya mencoba menggunakannya. Bagi saya, roti yang tersedia sudah enak. Teksturnya tidak terlalu keras atau terlalu lembut. Jadi kenapa harus dimodifikasi lagi?
Dengan semangat, ramah, dan sabar, pelayan restoran menawarkan minuman hangat berupa kopi atau teh ke pelanggan.
"Kaffee?"
"Yes, Please."
"Kaffe?"
"Nein. Danke."
"Bitte."
Aih elegan sekali! Sayangnya ibu-ibu yang rajin melayani kami (kemudian malah kami sebut mbahe) tidak bisa Bahasa Inggris jadi kami agak kesulitan untuk berkomunikasi dengan beliau. Beruntung terkadang ada pelayan lain yang mengerti.
Karena menu yang itu-itu terus, ternyata bosan melanda juga. Kabarnya, pernah Mas Ervani request ke Si Mbahe agar esok hari kami dibuatkan omelet saja instead of telur rebus biar ada variasi. Namun pada akhirnya kami tak pernah menjumpai omelet itu hingga kami pulang.
Sarapan yang sempat saya dokumentasikan: sereal dan jus wortel. |
Dari kegiatan sarapan ini, saya menemukan sebuah perbedaan budaya kami dengan orang di sana. Kami selalu sarapan dengan baju seadanya karena selanjutnya kami akan kembali ke kamar untuk membersihkan diri dan bersiap berangkat. Sementara orang di sana sarapan dengan pakaian yang sudah rapi. Mereka sarapan sekalian jalan keluar. Praktis. Namun, bagi saya pribadi, rasanya tak nyaman kalau setelah sarapan tidak bersih-bersih dulu.
Perbedaan kedua adalah kami makannya lama banget. Kami bisa menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sarapan. Orang yang datang belakangan saja sudah pergi bahkan sebelum kami beranjak. Sepertinya bagi kami, atau mungkin kita kalau saya boleh men-general-kan, momen sarapan bersama adalah momen yang sakral. Harus dinikmati. Suasana meja kami dengan yang lain beda sekali lho. Di sana tak tahu obrolannya apa, suaranya redam, pelan. Sementara kami, jegigas-jegigis hampir sepanjang sarapan, ditambah suara kami lantang macam kuli pabrik. Tapi kami memang kuli pabrik sih ehehe.
Foto selfie perlu credit ga? credit: Mas Nugroho |
Kami selalu sarapan di pojok sini kecuali pada hari pertama, hari terakhir, dan saat menginap di Spatz |
Sarapan Spatz
Seperti yang sudah diceritakan pada postingan sebelumnya, menu sarapan kami di Spatz terbatas pada roti dan croissant yang disuguhkan di meja kami, dengan minuman jus, teh, kopi, dan air putih yang kami pesan langsung kepada pelayan.
Menu sarapan di Spatz dan suasana sebelum sarapan di Spatz. Mas Ervani memanggil pelayan, Mas Kridanto lagi video call sama anak dan istri, Mas Nugroho ngeblur wkwk. |
Makan siang
Makan siang selalu kami lakukan di kantor kolega kami kecuali saat akhir pekan. Mereka men-treat kami dengan sangat baik. Setiap hari kami selalu dikabari apa rencana menu untuk besok, apakah kami bisa makan atau tidak. Pernah kami ditawari menu esoknya adalah bakso. Mas-mas ragu dan langsung menolak. Akhirnya menu selanjutnya untuk kami dikhususkan menjadi vegan menu, meski ada ikannya juga. Mungkin waktu itu kami ditawari menu bakso karena Seiler kurang menangkap penjelasan saya via WA. Berikut reka kejadiannya.
Seiler: We do our best to respect your food wishes. Do you need any special food like e.g. vegetarian?
Me: (forward to group)
Nugroho: Bilang kita tidak makan daging dan segala turunan babi/pork. Seafood is OK. (Berarti ada slot daging selain babi boleh dong?)
Me: (Menjawab Seiler berdasarkan masukan Mas Nugroho dan pengalaman hidup 2 tahun sebelumnya) We don't eat pork or any kind of its product. Also, we prefer not to just eat any meat (maksudku, aku ga mau makan daging sembarangan). Seafood is OK. I think vegetarian meals will ease the choice.
Saat penawaran bakso itu, saya lupa reka kejadiannya. Saya jadi merasa bersalah jangan-jangan sebelumnya saya bilang ke Seiler kami OK saja makan daging selain babi. Eh ternyata tidak. I am happy now that I am innocent.
Hidup di negara dengan muslim sebagai minoritas memang agak-agak susah terutama kalau cukup strict. Apalagi kalau strict, alergi seafood pula. Beuh susah wis. Kalau ga mau ribet ya bilang aja vegan. Agak makan waktu menjelaskan bahwa kita sebenernya makan daging tapi ga bisa makan sembarang daging, hanya mau makan daging yang halal. Halal itu yang bla bla bla. Saya termasuk orang yang agak ga enak hati menyampaikan "keribetan" tersebut apalagi kalau akhirnya merepotkan. Jadi pengennya langsung aja deh bilang vegan. Tapi alhamdulillah kami bisa menjelaskan dan kolega kami mau mengerti. Kalau kata Mas Ervani, "We eat meat in Indonesia. We eat chicken, beef. But we can't eat meat or chicken here, the meat need special treatment."
Hari pertama, kami makan siang makanan siap saji dengan brand FELFEL. Kami berempat mendapat menu yang berbeda. Saya sendiri mendapat Spatzli aux marrons et légumes de saison yang setelah diterjemahkan kawan saya, GoogleTranslate, ternyata artinya Spatzli dengan chestnut dan sayur-mayur musiman. Chestnut-nya enak euy. Dasarnya saya ga terlalu suka pasta, menu hari itu pun tidak mampu saya habiskan dalam sekali makan. Lumayan juga sih jadi makan malam akhirnya.
Kalau pengen tahu menunya mas-mas, tanya sendiri aja ke mereka.
|
Hari-hari berikutnya, menu kami disiapkan spesial oleh juru masak perusahaan kolega kami. Nama juru masaknya Amanda. Kalau kata Schwab (ngomong di depan Amanda), "Our cook is great. Her cooking is ..." kemudian kedip sebelah mata. Tapi memang benar, masakan Amanda mantap sekali. Enak banget. Seiler saja mau makan makanan kantor kalau lagi Amanda yang masak. Kalau menu FELFEL, dia bawa bekal sendiri.
Inilah Amanda. Sayang sekali Amanda tidak paham Bahasa Inggris. Kami butuh translator untuk berkomunikasi dengannya. Ini saya ngupload fotonya gapapa kan ya? |
Makan di luar
Jadwal makan yang harus kami akomodir sendiri adalah makan malam. Kami tiba sejak hari Minggu menjelang maghrib. Tiga hari pertama training (Senin-Rabu), kami selalu diantar pulang oleh kolega kami, sekali oleh Schwab, 2 kali oleh de Lara. Selama itu juga kami makan malam di kamar masing-masing. Pada hari keempat, kami pulang kerja eh training tanpa diantar. Karena itu, akhirnya kami sekalian memutuskan untuk makan di luar agar kami tidak melulu makan makanan yang kami bawa dari Indonesia. Opsi pertama kami adalah kebab depan Stasiun Lyss. Jujur, saya bingung tipe ngantri di kedai kebab ini seperti apa. Kami datang, sang pelayan masih sibuk menyiapkan pesanan pelanggan lain. Apakah kami harus tetap kayak orang hilang berdiri di depan counter dan sebagian di luar kedai, atau kami harus duduk di kursi yang disediakan kemudian baru ke counter saat dipanggil, saya tak tahu. Lama sekali baru kami dilayani.
Sebelum pesan lebih lanjut, kami memastikan kebab ini halal atau tidak. Sang pelayan bilang daging yang digunakan didapatkan dengan "dor", sapinya bukan disembelih tapi ditembak. Pada kesempatan selanjutnya ketika mas-mas, terutama Mas Ervani dan Mas Kridanto sudah ngebet ingin protein hewani selain telur, kami melakukan surfing lebih lanjut tentang daging di Swiss. Sayang sekali keinginan Mas Ervani dan Mas Kridanto adalah utopia. Pasalnya, Swiss tidak memperbolehkan penyembelihan hewan. Treatment yang diperbolehkan adalah dengan menembak mati. Katanya sih menembak mati tidak memberikan penderitaan yang berarti bagi hewan. Katanya sih daging halal diimpor dari Perancis. Itu pun kabarnya entah sudah memenuhi persyaratan penyembelihan yang benar-benar halal atau belum.
Beginilah kondisi naas Mas Ervani yang sudah sangat mendambakan protein hewani selain telur sementara Mas Kridanto dengan senang hati mencari info tentang daging halal. |
Pilihan kami selanjutnya jatuh pada McDonald. Posisi McDonald ini berada di persimpangan. Strategis sekali. Pada kesempatan pertama ini, mas-mas ragu sehingga hanya membeli french fries, dihargai CHF 4,1. Sementara saya memutuskan membeli Quinoa Curry yang merupakan burger vegan, dihargai CHF 5,9. FYI, saus teman french fries di sini bayar. Saya lupa harganya berapa, tapi CHF 4,1 tadi sudah termasuk saus.
McD di persimpangan ~ Alangkah indahnya ~ Oh kasihan ~ Kan ku beli~ |
Sebenarnya saya tidak suka kari. Kari mengingatkan saya pada orang-orang Bangladesh di KIT dulu. Duh kalau masuk dapur, ga jarang aroma masakan mereka yang jadi aroma. Trus mereka masaknya ga leave it clean gitu. Meninggalkan ceceran-ceceran kuah. Microwave dan kulkas juga jadi aroma kari. Kesan saya terhadap kari kan jadi sesuatu yang jorok gitu. Ditambah burgernya ada bawang bombaynya pula, haduuuuuh ... Tapi pada akhirnya saya berhasil menaklukan Quinoa Curry.
Quinoa Curry |
Sebagai bukti bahwa kami pernah makan di luar hotel |
Pada hari Minggu, kami kembali makan di McDonald untuk makan siang. Kali itu Mas Nugroho akhirnya membeli Quinoa Curry, sementara kami bertiga membeli Fillet O-Fish Burger seharga CHF 5,5. Saya lebih suka burger ini dibandingkan Quinoa Curry. Sayang porsinya lebih kecil hahaha.
Pemandangan dari lantai 2 McD sebenarnya bagus. Seingat saya, saya juga pernah mengabadikannya tapi sepertinya file nya rusak karena saya tak dapat menemukannya dan memang ada beberapa dokumentasi saya di Swiss yang tidak bisa dibuka :(
Senang rasanya melihat rupa-rupa orang hilir mudik di jalanan sana (sebenernya agak sepi sih jalannya wkwk soalnya di akhir pekan katanya orang sana males keluar). Di persimpangan, meski tak ada lampu merah, mereka tertib. Mendahulukan pejalan kaki, kemudian pesepeda, baru kongkalikong di antara kendaraan bermotor. Saya tebak, kongkalikong ini bekerja dengan prinsip siapa cepat dia dapat. Yang sampai persimpangan duluan yang dipersilakan lewat duluan. Ga tau sih kalau saya keliru.
Ohiya, sebenarnya kami juga sempat makan di sebuah resto burger vegan di Bern. Tapi biar saja nanti saya ceritakan di sesi yang lain karena agenda ini masuk agenda jalan-jalan.
Makanan yang dibeli di swalayan
Demi menjaga keseimbangan jasmani, kami mengusahakan menu yang bervariasi agar tidak melulu makan perbekalan makanan instan meski tidak makan andok di resto. Harap maklum, sulit sekali rasanya mencari resto yang meyakinkan. Hari Jumat selepas kami mendapatkan kunci kamar di Spatz, kami membeli makan malam di swalayan COOP di seberang Spatz. Lama sekali kami berkeliling di sana sekalian scanning item-item yang memungkinkan untuk dijadikan oleh-oleh. Sekian lama memilih, akhirnya kami berempat membeli salad.
Mixed salad setengah harga |
Penting untuk diketahui bahwa di Swiss biasanya di penghujung hari, makanan siap saji di swalayan dijual separuh harga. Ini berlaku untuk produk-produk yang hampir kadaluarsa namun masih aman untuk dimakan. Pada kesempatan ini, saya dan Mas Nugroho mendapatkan setengah harga itu sementara Mas Ervani dan Mas Kridanto mendapat harga normal. Harga salad setengah harga ini adalah CHF 3,4.
Selain salad, mas-mas juga membeli telur siap saji. Katanya sih rasanya jauh lebih enak telur rebus Weisses Kreuz. Yah kalau itu sih tiada duanya. Telur siap saji ini mengingatkan saya dengan telur siap saji di swalayan KIT dulu. Tapi telur di KIT unik, warnanya kuning, ter-blend dengan kuning telurnya. Entah cara masaknya gimana.
Alhamdulillah, mas-mas ga bruntusan meski makan telur melulu.
Saya sih menyebutnya telur paskah. Lha diwarna-warna lho. |
Sementara itu, telur siap saji di Korea yang pernah saya temui seperti ini |
Pada hari Minggunya, saya menyempatkan diri membeli makan malam sendiri di swalayan sementara mas-mas berniat menghabiskan perbekalan. Saya beli semacam spinach yang dimasak Amanda kemarin. Saya masaknya sih simpel saja. Saat masih dalam bungkusan, saya rendam dalam air panas. Setelah kira-kira sudah lemas, barulah saya makan. Tanpa saos ataupun mayonaise. Tawar. Saya banget.
Sama Quinoa salad juga sih belinya haha |
Suguhan
Selama training, kami diberikan suguhan sepanjang berjalannya hari. Suguhannya monoton: croissant dan buah-buahan (buahnya bervariasi sih hehe). Jika kami lapar, langsung comot saja. Kadang kami nggondol juga untuk dinikmati di kamar. Suguhan buah juga ada di meja resepsionis hotel. Kalau di Indonesia biasanya yang disuguhkan di resepsionis permen. Ini buah, Coy! Sehat banget kan.
Melihat hal ini, begini komentar ibu saya, "Camilannya sehat gitu ya. Ga berminyak-minyak, ga berkolestrol. Pantes orang luar sana sehat-sehat. Lha kita? camilannya gorengan, makanannya banyak yang bersantan dan berminyak, pisang aja yang udah bener sehat sebagaimana mestinya malah dijadiin pisang goreng."
Harap fokus pada suguhannya. Ada buah dan croissant yang posisinya agak tersembunyi.
|
Croissant yang digondol sebagai makan malam bersama Bandrek Hanjuang |
Ada ceplukan! |
Makanan mandiri kami
Saya tidak tahu detil perbekalan mas-mas seperti apa. Saya sendiri dari Indonesia membawa setoples sosis (yang mungkin isinya tinggal separuh), (entah 2 atau 1) bubur instan, 1 Popmie, 5 sachet bandrek, beberapa sachet oatmeal instan, dan 1 sachet mashed potato instan yang saya lihat diimpor Indonesia dari Jerman eh malah saya bawa ke Eropa lagi wkwk. Semuanya tandas dalam 10 hari kecuali oatmeal instan. Percayalah, perbekalan mas-mas lebih ekstrim.
Cozy banget menikmati sore di balkon sambil berjemur dan makan Popmie |
Secara umum, biaya makanan di Lyss cukup affordable. Memang kalau dirupiahkan pasti mahal, tapi kala travelling, melihat dengan kacamata penduduk setempat adalah perlu. Urusan makanan kami tergolong mudah menurut saya. Kami dapat dengan mudah membedakan mana makanan yang dapat kami makan, mana yang tidak. Memang jangan mengharapkan protein hewani berupa daging, tapi berusahalah mensyukuri yang ada. Sayuran dan buah-buahan pun adalah pilihan yang sangat sehat. Telur juga dapat menjadi opsi (kalau tidak mau dibilang satu-satunya) sumber protein hewani. Tetap bisa bertahan kan?
Sekian dulu sesi Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss. Semoga menghibur dan berguna.
Comments
Post a Comment