Dilema
Saya
diserang penyakit. Namanya cukup keren. Dilema. Dilemma sebutan asingnya. Nah beberapa hari ini saya punya sebutan
baru karena penyakit itu. Saya menjadi dilemmatist.
Sebutan yang saya temukan dalam pikiran saya. HAHAHA
Semuanya
berawal dari saya yang masih tahu diri. Saya ngaca, semester kemarin seperti
apa, bagaimana performa saya, dan bagaimana hasilnya. Kemudian disandingkan
dengan realita yang harus saya hadapi, masih berapa banyak tanggung jawab yang
harus saya penuhi. Sebuah dilema yang benar-benar dilema. Disandingkan lagi
dengan keinginan hati. Disandingkan lagi dengan keinginan orang-orang yang
selama ini benar-benar tanpa tanda jasa, siapa lagi kalau bukan orang tua. Ah dilema
yang semakin menjadi.
Saya perlu
bantuan. Saya perlu orang untuk diajak bicara. Hal seperti ini harusnya
dibicarakan dengan dosen wali tapi selama ini saya belum pernah sekalipun
berinteraksi ngomongin beginian dengan beliau. Biasanya rencana studi saya
langsung disetujui beberapa jam setelah saya mengisi. Tak ada “Semester kemarin
gimana? Tidak ada masalah kan? Rencana kamu ke depannya seperti apa?” Tak ada,
Kawan. Kubilang tak ada. Akhirnya saya malah minta izin menemui dosen pembimbing
untuk membicarakan ini. Ah, dosen pembimbingku baik sekali, mau membantu urusan
yang seharusnya bukan tanggung jawabnya begini. Akhirnya kami ngobrol
kesana-kesini.
“Kurang
berapa SKS?”
“Hah? Kok
masih banyak. Kamu ambil apa aja?”
“Bentar,
dua mata kuliah ini aman sih.” Beliau melingkari dua mata kuliah,
mengelompokkannya.
“Tapi ini,
ini sama Pak ITU (jangan sebut nama deh) ya? Tuntutannya banyak sih, banyak
waktu yang harus disisihkan.”
“Kalau ini,
ini juga berat sih. Kalau kata yang sudah ambil gimana?” “Oh yaudah berarti ga
terlalu berat ya.”
“Kalau ini,
saya kurang tahu. Bentar, ini isinya apa sih?” Beliau buka silabus.
“Saya ga
tahu sih kayak gimana kuliahnya tapi dari silabusnya harusnya isinya ya kayak
yang dulu sudah pernah diambil tentang sinyal. Dosennya siapa sih?”
“Ooh Pak
ITU2. Saya belum pernah diajar beliau sih tapi orangnya tegas.”
“Trus ini,
mata kuliah dari prodi mana? Kuliahnya berat ga?”
“Trus
rencana kamu yang kemarin gimana?”
“Ya kalau
menurut saya sih segini SKS berat. Tapi coba tanya-tanya lagi ke yang udah
ambil. Kalau kamu bisa menyisihkan minimal 5 jam, eh tambah 1 jam deh buat
ngerjain TA ya gapapa.”
“Teman-teman
yang lain ngambil berapa SKS?” Beliau menanyakan Squiddie sama Patrick.
Beberapa
obrolan yang masih teringat. WOW! For the first time in my life, saya
mendiskusikan masalah beginian sama dosen. Senang rasanya hahaha. Keluar dari
ruangan beliau saya masih belum sembuh tapi saya jadi punya opsi plan baru untuk
strategi pengambilan mata kuliah ini. Saya menyebut opsi yang saya punya, plan
nekat dan plan tidak nekat versi baru.
Beberapa
hari dilema, beberapa hari pula saya berdebat dengan orang tua. Mungkin kalian illfeel gimana gitu mengetahui saya
buat ngambil SKS aja dirundingin sama orang tua. Ya gimana ya, yang ngebiayain
saya kan orang tua saya. Kalau saya ambil keputusan yang ga disetujui dan
beliau ga mau ngebiayain kan repot juga. Naudzubillah.
Ya sebenarnya lebih ke tanggung jawab moral sebagai anak sih.
Hingga hari
rabu rencana studi saya tak kunjung disetujui. Tumben sekali. Saya tanya teman
sedosen wali, katanya dia sudah. Waduh, ini jangan-jangan beliau ga setuju saya
ngambil banyak-banyak nih. Gimana dong? Kemarin saya memutuskan untuk menemui
beliau tapi gagal. Beliau sudah pulang. Tapi hari ini saat saya akan berangkat
menemui beliau, tiba-tiba ada notifikasi persetujuan rencana studi. Ada pesan
dari beliau, “kalau ada yang akan diubah nanti saja saat prs.”
Saya masih
saja dilemma. Saya bingung haruskah saya senang atau sedih, ah bukan, yang ini
sepertinya lebih ke pesimis bukan sedih. Di satu sisi jika saya berhasil studi
saya ga molor, di sisi lain diri saya masih ragu akankah saya mampu.
Siangnya
bapak menelpon karena paginya saya SMS beliau tentang bagaimana keputusan
perdebatan kemarin. Apakah proposal ide lulus molor saya di-approve? Tidak. Hahaha. Saya cuma
nanggepin “ya” doang sambil nahan nangis biar ga kedenger. Lagian sudah
disetujui dosen wali.
Comments
Post a Comment