Posts

Showing posts from May, 2020

Eid al Fithr 1441 H

Mungkin tahun ini menjadi Idul Fitri yang tidak biasa bagi sebagian orang. Saya pun demikian. Kali ini saya mengalami Idul Fitri di Madiun. Hendak saya sebut rantau tapi kok jaraknya hanya sekitar 2,5 jam berkendara sepeda motor dari Kediri. Separah-parahnya yang pernah saya alami sebelumnya adalah tiba di rumah sore hari terakhir Ramadhan tiga tahun yang lalu. Masih bisa merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Bahkan masih lengkap bersama bapak. Saya baru sadar, Idul Fitri tahun itu adalah Idul Fitri terakhir dengan bapak.

Halo, Bapak! Semoga khidmatnya Idul Fitri di dunia bisa menjadi pelipur lara bagi bapak dan saudara-saudara di alam sana.

"Pasti ngerasain sesuatu yang agak aneh .." demikian kata seorang teman setelah saya bilang bahwa ini pengalaman pertama saya menjalani Idul Fitri tanpa keluarga. Pasalnya, ini adalah tahun keempat bagi teman yang satu ini merayakan Idul Fitri di rantau. Harusnya tahun ini idealnya dia mendapat jatah cuti Idul Fitri di rumah. Ternyata bagai bintang jatuh yang merebut putri dari ksatria, wabah COVID-19 merampas impiannya untuk pulang. Menjadikannya pungguk merindukan bulan. Pukpuk.

Sepulang kerja maghrib tadi, takbir Idul Fitri mulai dikumandangkan. Hanya satu-dua. Baru ramai setelah isya. Benar katanya, rasanya aneh mendengar takbir, menyadari esok Idul Fitri, dan saya sedang berjalan pulang menuju indekos, bukan rumah untuk bertemu ibu.

Orang-orang mulai berkirim sapa mengucap salam hari raya di grup-grup WhatsApp. Saling mendoakan dan memohon maaf. Saya pun melakukan hal yang sama. Beberapa bulir sudah dimohon maafnya. Biar saja dulu sedikit. Besok lagi.

Sebenarnya saya bingung, apa seharusnya yang saya rasa ketika Idul Fitri tiba? Haruskah saya bahagia atau malah sedih? Nyatanya, belakangan ini setiap malam menjelang Idul Fitri yang saya rasa adalah sendu. Apalagi sejak bapak pergi. Bercampur antara sedih dan sesal atas Ramadhan yang dilalui dengan biasa saja, juga sendu karena suasananya membawa memori kembali pada bapak. Malam ini juga demikian.

Demi memberikan penghayatan suasana, agar diri tidak hanya berdiam di indekos kemudian hanya melewati malam takbiran dengan berselancar melalui salah satu jendela baru dunia: smartphone, saya memutuskan keluar indekos. Tujuan saya adalah taman di depan Polres, samping rel kereta. Saya tahu di sana sering sepi. Tempat yang pas untuk menyendiri, mendengarkan takbir sambil melihat langit dan kehidupan.

Langit malam di taman tadi tidak seperti yang saya harapkan. Terganggu oleh silau lampu taman dan jalan raya. Namun, hiruk-pikuk dunia terlihat menyenangkan. Takbir berkumandang di mana-mana. Manusia berlalu-lalang di jalanan, mungkin sebagian dalam perjalanan pulang kerja, sebagian yang lain mungkin sedang menikmati suasana seperti saya. Ditambah suara sirine palang kereta yang menghalangi pengendara melintas, sebaliknya memberi akses pada kereta tangki minyak. Kombinasi yang membuat saya bebas mengikuti takbir tanpa malu terdengar orang lain. 

Mari saya bagi apa yang saya lihat dari taman tadi. Ada videonya tapi urung saya bagi karena suara saya ternyata annoying wkwk.

Rasanya seperti melihat dunia di luar lingkupnya. Seperti pengamat yang jelas-jelas berada di luar sistem (tapi sebenarnya dia bersama yang diamatinya termasuk sistem yang lebih besar, bergantung sebatas mana kita mendefinisikan sistemnya, duh jadi ingat kelas Rekayasa Termal dan Mekanika Fluida).

Mengumandangkan takbir seorang diri seperti ini kembali membawa memori pada bapak. Tiap malam takbiran, mau di rumah atau jalan-jalan, baik saat di atas kendaraan atau saat di lokasi tujuan jalan-jalan, bapak mengumandangkan takbir. Ikut memeriahkan suasana meski tidak dalam rombongan.

Ada sesal dalam diri karena mengurungkan niat membawa laptop. Awalnya saya berencana menulis di taman itu. Mungkin jika tadi menulis di sana, tulisan ini akan jadi lebih bagus. Hihihi.

Tak ada 30 menit saya duduk-duduk di taman. Tak mau berlama-lama lagi karena sepertinya tak baik perempuan sendirian malam-malam di tempat sepi. Cucian yang direndam juga sudah menunggu. Selain itu khawatir juga ada yang mengira saya dedemit yang kebetulan nongol di sunyi-sepi taman.

Selanjutnya saya pulang dengan mengambil jalan memutar. Menuju arah stasiun, kemudian berbelok ke Jalan Dr. Sutomo, dan terakhir belok kanan ke Jalan Nias, menuju indekos. Niatnya tidak lain dan tidak bukan adalah agar perjalanan saya menjadi takbir keliling (yang rutenya benar-benar berkeliling). Hihihi. Mungkin orang lain melihat saya aneh: cewe jalan sendirian malam-malam, lewat jalanan sepi agak gelap pula, apalagi cara jalan saya agak nyentrik, sulit ngubahnya. Biar saja. Saya cuma melakukan yang saya ingin lakukan. Lagian sekalian olah raga.

Demikian saudara-saudara. Ramadhan telah usai. Bagi saya sendiri, banyak sesal karena terlalui dengan datar-datar saja. Meski begitu, semoga Ramadhan yang baru berlalu ini barokah bagi kita semua, memberi kita damai, dan menjadikan kita insan yang lebih baik dari yang sebelumnya. 

At last, saya mohon maaf lahir dan batin. Saya sering nyinyir, ghibah, dan banyak nyebelinnya. Maaf yang teman-teman beri insyaAllah menambah berkah bagi teman-teman sendiri dan yang dimaafkan. Maka dari itu, mari saling memaafkan. Happy Eid Mubarak. 

Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - الثلج

Beberapa waktu yang lalu saya kembali membuka histori SMS dengan bapak yang sempat disimpan. Tidak lengkap namun lebih baik daripada tidak sama sekali. Kemudian saya menemukan ini.

Harap maklum teks tsb diketik dengan satu tangan dengan perangkat yang keyboardnya keras pula.

Penemuan ini mengingatkan momen-momen euforia bermimpi dulu. Bapak selalu jadi tempat pelampiasan eheheee. Bertahun sebelum SMS tadi, pernah terjadi percakapan via SMS yang tidak tersimpan karena di hp jadul yang kurang lebih seperti ini.

Nala: "Pak, aku pengen ke Jepang, pengen ke Eropa, pengen keliling dunia."
Bapak: "Ya. Suk aku ajaken ya."

Oleh karenanya perjalanan ke Swiss Desember lalu terasa seperti momen sakral bersama bapak meski secara fisik bapak tidak ada. Bahkan saya sempat berencana membawa baju batik bapak ke Swiss untuk kemudian menyempatkan diri main dan foto di sana mengenakan baju bapak. Hahahaaa tapi lupa bawa bajunya. Pun mainnya cukup wacana wkwkwk.

Sejak lepas landas dari Indonesia, dalam hati saya sudah bergemuruh, "Pak, here I am. Aku mau ke Eropa. Aku mau memenuhi janjiku untuk ngajak bapak. Meski bapak secara fisik ga ada, aku tetep merasa berpetualang bareng bapak."

Entah sejak kapan impian tadi bercokol kemudian terdeklarasi kepada bapak. Awalnya sih ingin ke Jepang. Kemudian perlahan keinginan ke Eropa muncul juga. Satu, karena  seorang teman dekat juga ingin ke sana. Dia pernah ngajak ke Vienna, Austria. Pun pernah bilang bahwa dia ingin sekolah di Belanda. Dua, karena saya mengetahui bahwa universitas terbaik untuk teknik elektro ada di Eropa: ETH Zürich.

Selain momen bersama bapak, saya melihat momen ke Swiss adalah salah satu jawaban atas impian-impian saya:
1. Keliling Eropa,
2. Sekolah di ETH Zürich,
3. Mengunjungi Grindelwald (tentang Grindelwald akan ada bahasan tersendiri wkwk)
4. Merasakan 4 musim non-tropis. Yang pernah saya alami adalah penghujung musim dingin yang dinginnya menyiksa, dilanjut musim semi yang aduhai cantiknya, dan permulaan musim panas yang ga kalah dengan Madiun di terik siang bolong. Inginnya sih setelah itu ngrasain musim gugur, baru musim-musim ekstrim yang tidak lain dan tidak bukan adalah puncak musim panas dan musim dingin.

Tentang 4 musim ini cukup menarik. Karena saya mengunjungi Swiss pada bulan Desember, saya terbayang akan menghadapi awal musim dingin yang cuacanya akan ekstrim. Sama sekali bukan cuaca yang saya suka. Sejak bulan November saya sudah rajin melihat ramalan cuaca di kota Lyss untuk tanggal 8-18 Desember 2019. Semuanya demi persiapan yang mantap. Saya tidak mau menderita kedinginan seperti di Korea dulu.

Meski begitu, harap-harap akan turunnya salju muncul juga. Ingin sekali rasanya melihat langsung salju seperti apa tapi ga mau menderita kedinginan wkwkwk. Nyatanya memang di musim dingin, bersalju belum tentu dingin dan cerah belum tentu hangat kan?

Karena semakin hari ramalan cuaca semakin memperlihatkan cuaca 8-18 Desember 2019 tidak bersalju, maka saya sama sekali tidak euforia harap-harap lagi.

Hingga pada sore tanggal 11 Desember 2019, di tengah keruwetan pikiran karena saya dan Mas Ervani overflow dijejali materi komunikasi CAN dan WTB (ga ada yang ngerti kan?), turunlah salju tanpa kami sangka-sangka. Otomatis kami menghentikan kegiatan. Beralih melihat keluar jendela. Takjub. Mentor kami hanya bilang, "Saya mengerti. Ini pertama kalinya kalian lihat salju. Di Indonesia ga ada salju kan?"


Saya dan Mas Ervani hanya bisa melihat salju dari jendela ruangan untuk tidak lama kemudian kami kembali dijejali ilmu-ilmu komunikasi data yang agung. Sementara Mas Kridanto dan Mas Nugroho malah diajak mentornya keluar gedung untuk menikmati salju. Ah mereka beruntung sekali.

Hari itu hanya sebentar turun salju. Bahkan salju sudah berhenti turun sebelum kami pulang. Malam harinya hujan. Menyisakan jalanan yang basah keesokan harinya.

Menuju tempat kerja eh training, 12 Desember 2019, 07:57 waktu setempat

Saat perjalanan pulang kerja tanggal 12 Desember, kami diguyur hujan meski sebentar. Malam itu cuaca labil sekali. Padahal kami sudah lari-lari kebingungan ternyata hujannya hanya beberapa menit.

Keesokan harinya, 13 Desember 2019, sesudah sholat subuh, pukul 06.40, saya mendapati pemandangan seperti ini dari kamar.


Hati saya melonjak. Senang tiada tara. Memang tidak terlihat turun salju, tapi salju kali ini lebih tebal daripada yang sebelumnya. Kabar baiknya, saat sarapan mulai terlihat turun salju. Orang-orang di jalan mulai berjalan lebih cepat. Sebagian membawa payung, sebagian tidak.

Saya tidak sabar untuk berangkat kerja. Saya ingin hujan-hujanan salju. Semakin dekat waktu berangkat, semakin deras salju yang turun. Saya semakin antusias.

Ada sedikit rasa khawatir karena belum berpengalaman. Saya membayangkan kami akan basah kuyup jika tidak menggunakan perlengkapan. Ternyata, sodara-sodara, ga pakai payung pun gapapa. Banyak kok yang ga pakai. Payung pun ga basah. Yaampun udik nian kau ini, Nal.

Payungnya ga basah. Malah berat wkwkwkwk.

Mas Nugroho lebih lebay lagi. Demi melindungi tasnya yang tak ber-cover, dia berponco plastik sepanjang jalan. Sementara sepatunya dilindungi dengan mantel sepatu yang saya beli barengan dengan Sugandi di sebuah online marketplace. Keren sekali Mas Nugroho. No isin-isin club. Yang penting fungsinya dapet dan bisa sampai tujuan dengan aman.

Mas Nugroho menelusuri jalanan dengan santainya

Model kami mendukung kesukaan saya mendokumentasikan momen

Hari itu kami berangkat dengan bahagia. Kami yang dasarnya jalannya tidak terlalu cepat (Mas-mas sih wkwk. Saya kan jalannya cepet wkwk. Jadi kayak Yamaha di antara mereka, selalu di depan), semakin mencolok dengan euforia kami karena kami foto sana-sini. Sementara orang-orang pada umumnya bergegas. Tak mau berlama-lama di luar ruangan. Ingin segera merasakan kehangatan heater.

Pengalaman pertama melihat salju ternyata bisa semenggembirakan itu. Biar saja kami norak memang ini pertama bagi kami. Hihihi. 

Tapi jangan salah. Sebenarnya bukan hanya kami yang bahagia. Seorang anak yang berangkat sekolah terlihat berlari-lari sambil menggendong setangkup salju. Disusul temannya yang juga berlarian dan kemudian mengambil setangkup salju juga. Pasti mereka sebentar lagi akan saling lempar di sekolah. Wah indahnya masa kecil.


Putih di mana-mana. Seperti yang saya bilang tadi, bersalju belum tentu dingin. Hari itu relatif tidak terlalu dingin. Tidak sedingin hari Sabtunya nanti yang tidak turun salju.

Siapa sangka keindahan musim dingin ini ternyata juga membawa beberapa sengsara. Seperti harus selalu sedia pelembab demi melindungi diri dari kulit pecah-pecah, berberat-berat menggunakan pakaian tebal, sering kesetrum, harus mengganti ban khusus untuk musim dingin, sedia pembersih kaca untuk menghilangkan bunga-bunga es di kaca mobil, tak lupa mengeruk salju di jalanan agar dapat dilewati, dll yang saya belum ketahui. Hari itu kami sebenarnya menyaksikan kendaraan yang menggerus lapisan salju demi kemaslahatan umat ini. Sayang sekali tidak terdokumentasi.

Musim dingin tak seindah angan yang referensinya cuma dari tontonan layar, Kawan.
 
Tiba di kantor kolega, kami disambut oleh Mas Schwab. Kemudian disusul Amanda yang meng-update suguhan hari itu sekaligus mengumumkan menu makan siang kami. Hari itu Hari Jumat. Kombo. Salju, pindah hotel, menu paling enak dari Amanda, dan bagi saya pribadi, materi paling menarik. Jumat barokah.

Pagi itu euforianya tinggi sekali. Menyambut sebuah jawaban atas sebuah impian melihat musim non-tropis. Mimpi yang membawa memori tentang bapak. 


Allah, terima kasih atas kesempatan ini. Mohon sampaikan salam untuk bapak :)

Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Makanan

Halo! Saya masih ngawang-ngawang sesi Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss ini akan jadi berapa bagian. Dipikir sambil jalan saja deh.

Di postingan sebelumnya, saya pernah bilang bahwa malam pertama saya tiba di Swiss, menu makan malam saya adalah sosis. Sosis tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah sosis yang biasanya jadi jajan bocah-bocah, harganya sebiji seribuan, yang saya bawa beserta toplesnya meski kondisinya sudah saya makan sebagian di kosan karena keburu pengen. Jarang-jarang kan saya makan sosis. Haha.

Keesokan harinya, hari-hari kami merasakan Eropa yang sebenarnya dimulai.

Hotel Weisses Kreuz melayani sarapan mulai pukul 06.00 hingga 10.00 pagi (perlu diklarifikasi lagi, lupa euy) di restoran hotel. Subuh berkumandang pukul 06.15 ke atas, praktis kami menyerbu restoran tak lama setelah mereka baru saja, kalau istilah orang Jawa, dasar. Restorannya kecil tapi menentramkan. Suasananya kalem, heartwarming gitu. Suguhan setiap pagi sesuai urutan yang kami temui berdasarkan rute masuk kami adalah sebagai berikut.

Di paling ujung, kita akan menemukan beraneka macam jus: jus jeruk; jus jambu; jus tomat; jus wortel; jus anggur; jus jeruk peras wkwk, dan air putih. Namun sebelum sampai di sana, melalui rute kami akan ditemui jajaran wine dan teman-temannya yang entah hanya untuk pajangan atau dijual botolan atau dijual per sajian, per gelas.


Di samping kompleks jus, tersedia sereal yang terdiri dari granola (?), corn flakes, aneka macam biji-bijian, dried fruits: aprikot; kismis; plum, dan teman sereal yang teksturnya kenyal tapi alot.

dfsdfdd
Aneka jus (di sisi kiri yang tak terlihat), jeruk dan alat peras, kompleks sereal, serta di paling ujung berjejer selai.
Credit: Mas Nugroho

Di sampingnya lagi, menghadap arah yang berbeda karena sereal terletak di belokan, terdapat 2 buah roti: roti kepang yang mengkilat; dan roti non-kepang. Disediakan pisau dan kain untuk memegang roti. Pengunjung dipersilakan mengiris sendiri rotinya. Elegan sekali. Di keranjang samping kedua roti tersebut, terdapat croissants dan roti lainnya yang teksturnya lebih lembut. Wah croissant di Swiss enak sekali ^^

Persis di ujung belokan, selai tertata. Ada yang ditempatkan dalam jar, ada yang dibungkus mini. Seingat saya yang dibungkus mini-mini adalah selai cokelat, dan madu.

Tepat di samping roti, bertenggerlah beraneka macam buah. Berbeda-beda setiap harinya. Namun tidak jauh-jauh dari apel, pir, kiwi, anggur, buah tin, jeruk, apalagi? Kami sering nggondol untuk dinikmati di kamar.

Bergeser lagi adalah area yang dilengkapi dengan es batu karena penyajian yang diharuskan dingin. Di sana adalah kelompok yoghurt, susu, manisan buah, sejenis salad buah namun teksturnya mengisyaratkan buahnya dipasrah bukan diiris, mentega, sesuatu hal yang terlihat seperti marshmallow yang terselimuti (mungkin) mayonaise yang kemudian saya duga adalah keju, dan beberapa bungkusan lain yang di kemudian hari, berkat keingintahuan Mas Ervani mengeksplor segalanya, kami ketahui sebagai "selai jeroan" wkwk.

Selanjutnya, sudah tiba di pojokan lain, bertengger sebuah rak. Di bagian bawah terdapat beberapa keju kering. Jauh berbeda dengan keju Kraft atau Prochiz yang belakangan baru saya tahu adalah keju olahan. Pantas rasanya masih bisa saya terima tanpa kesulitan yang berarti. Sedangkan di bagian atas terdapat lembaran-lembaran patty (?) dan ham yang saya tebak dimaksudkan untuk dikombinasikan dengan roti. Di depannya terdapat potongan sayuran yang mungkin dimaksudkan sebagai teman roti-sensasi-asin-dengan-daging, tapi Mas Nugroho mencampurnya dengan keju mayonaise yang saya sebut tadi, menjadikannya salad sayuran.

Di hari pertama, kami tiba di restoran paling awal. Jegigisan karena tak tahu harus bagaimana makannya.

Tepat di belakang rak terdapat satu-satunya sumber protein hewani yang dapat kami makan: telur rebus. Di sana, orang menikmati telur rebus tidak terlalu matang. Telur ditempatkan di sebuah penyangga kemudian dibuka bagian atasnya sebagai jalan dan kemudian dimakan dengan sendok atau dijadikan celupan makanan lain.

Kami sebagai orang jawa tulen, maunya telur matang. Pelayan restoran berbaik hati memberikan telur rebus spesial untuk kami: ten minutes boiled egg. Cara kami menikmatinya juga Indonesia sekali. Dikupas dong. Kalau ga gitu dibelah jadi 2 (karena panas banget, ga kuat ngupas), lalu dimakan bersama taburan garam dan merica. Keesokan paginya, kami meminta lagi. Keesokan paginya lagi, tanpa diminta, pelayan sudah hafal kami akan meminta jadi mereka sudah siap siaga.

Beginilah kira-kira cara orang eropa makan telur rebus
sumber: Google

Di bagian paling ujung terdapat pemanggang roti. Tak pernah saya mencoba menggunakannya. Bagi saya, roti yang tersedia sudah enak. Teksturnya tidak terlalu keras atau terlalu lembut. Jadi kenapa harus dimodifikasi lagi?

Dengan semangat, ramah, dan sabar, pelayan restoran menawarkan minuman hangat berupa kopi atau teh ke pelanggan.

"Kaffee?"
"Yes, Please."
"Kaffe?"
"Nein. Danke."
"Bitte."

Aih elegan sekali! Sayangnya ibu-ibu yang rajin melayani kami (kemudian malah kami sebut mbahe) tidak bisa Bahasa Inggris jadi kami agak kesulitan untuk berkomunikasi dengan beliau. Beruntung terkadang ada pelayan lain yang mengerti.

Karena menu yang itu-itu terus, ternyata bosan melanda juga. Kabarnya, pernah Mas Ervani request ke Si Mbahe agar esok hari kami dibuatkan omelet saja instead of telur rebus biar ada variasi. Namun pada akhirnya kami tak pernah menjumpai omelet itu hingga kami pulang.

Sarapan yang sempat saya dokumentasikan: sereal dan jus wortel.

Dari kegiatan sarapan ini, saya menemukan sebuah perbedaan budaya kami dengan orang di sana. Kami selalu sarapan dengan baju seadanya karena selanjutnya kami akan kembali ke kamar untuk membersihkan diri dan bersiap berangkat. Sementara orang di sana sarapan dengan pakaian yang sudah rapi. Mereka sarapan sekalian jalan keluar. Praktis. Namun, bagi saya pribadi, rasanya tak nyaman kalau setelah sarapan tidak bersih-bersih dulu.

Perbedaan kedua adalah kami makannya lama banget. Kami bisa menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sarapan. Orang yang datang belakangan saja sudah pergi bahkan sebelum kami beranjak. Sepertinya bagi kami, atau mungkin kita kalau saya boleh men-general-kan, momen sarapan bersama adalah momen yang sakral. Harus dinikmati. Suasana meja kami dengan yang lain beda sekali lho. Di sana tak tahu obrolannya apa, suaranya redam, pelan. Sementara kami, jegigas-jegigis hampir sepanjang sarapan, ditambah suara kami lantang macam kuli pabrik. Tapi kami memang kuli pabrik sih ehehe.

Foto selfie perlu credit ga? credit: Mas Nugroho
 
Kami selalu sarapan di pojok sini kecuali pada hari pertama, hari terakhir, dan saat menginap di Spatz

Sarapan Spatz
Seperti yang sudah diceritakan pada postingan sebelumnya, menu sarapan kami di Spatz terbatas pada roti dan croissant yang disuguhkan di meja kami, dengan minuman jus, teh, kopi, dan air putih yang kami pesan langsung kepada pelayan.


Menu sarapan di Spatz dan suasana sebelum sarapan di Spatz.
Mas Ervani memanggil pelayan, Mas Kridanto lagi video call sama anak dan istri, Mas Nugroho ngeblur wkwk.

Makan siang
Makan siang selalu kami lakukan di kantor kolega kami kecuali saat akhir pekan. Mereka men-treat kami dengan sangat baik. Setiap hari kami selalu dikabari apa rencana menu untuk besok, apakah kami bisa makan atau tidak. Pernah kami ditawari menu esoknya adalah bakso. Mas-mas ragu dan langsung menolak. Akhirnya menu selanjutnya untuk kami dikhususkan menjadi vegan menu, meski ada ikannya juga. Mungkin waktu itu kami ditawari menu bakso karena Seiler kurang menangkap penjelasan saya via WA. Berikut reka kejadiannya.

Seiler: We do our best to respect your food wishes. Do you need any special food like e.g. vegetarian?
Me: (forward to group)
Nugroho:  Bilang kita tidak makan daging dan segala turunan babi/pork. Seafood is OK. (Berarti ada slot daging selain babi boleh dong?)
Me: (Menjawab Seiler berdasarkan masukan Mas Nugroho dan pengalaman hidup 2 tahun sebelumnya) We don't eat pork or any kind of its product. Also, we prefer not to just eat any meat (maksudku, aku ga mau makan daging sembarangan). Seafood is OK. I think vegetarian meals will ease the choice.

Saat penawaran bakso itu, saya lupa reka kejadiannya. Saya jadi merasa bersalah jangan-jangan sebelumnya saya bilang ke Seiler kami OK saja makan daging selain babi. Eh ternyata tidak. I am happy now that I am innocent.

Hidup di negara dengan muslim sebagai minoritas memang agak-agak susah terutama kalau cukup strict. Apalagi kalau strict, alergi seafood pula. Beuh susah wis. Kalau ga mau ribet ya bilang aja vegan. Agak makan waktu menjelaskan bahwa kita sebenernya makan daging tapi ga bisa makan sembarang daging, hanya mau makan daging yang halal. Halal itu yang bla bla bla. Saya termasuk orang yang agak ga enak hati menyampaikan "keribetan" tersebut apalagi kalau akhirnya merepotkan. Jadi pengennya langsung aja deh bilang vegan. Tapi alhamdulillah kami bisa menjelaskan dan kolega kami mau mengerti. Kalau kata Mas Ervani, "We eat meat in Indonesia. We eat chicken, beef. But we can't eat meat or chicken here, the meat need special treatment."

Hari pertama, kami makan siang makanan siap saji dengan brand FELFEL. Kami berempat mendapat menu yang berbeda. Saya sendiri mendapat Spatzli aux marrons et légumes de saison yang setelah diterjemahkan kawan saya, GoogleTranslate, ternyata artinya Spatzli dengan chestnut dan sayur-mayur musiman. Chestnut-nya enak euy. Dasarnya saya ga terlalu suka pasta, menu hari itu pun tidak mampu saya habiskan dalam sekali makan. Lumayan juga sih jadi makan malam akhirnya. 

Kalau pengen tahu menunya mas-mas, tanya sendiri aja ke mereka.
Credit to measing-masing pemilik foto-foto ini

Hari-hari berikutnya, menu kami disiapkan spesial oleh juru masak perusahaan kolega kami. Nama juru masaknya Amanda. Kalau kata Schwab (ngomong di depan Amanda), "Our cook is great. Her cooking is ..." kemudian kedip sebelah mata. Tapi memang benar, masakan Amanda mantap sekali. Enak banget. Seiler saja mau makan makanan kantor kalau lagi Amanda yang masak. Kalau menu FELFEL, dia bawa bekal sendiri.

Aneka masakan Amanda untuk kami: (a) Nasi Salmon, (b) Spaghetti, (c) Pasta berisi bayam, disebut spinach saja, (d) Menu terlezat: kentang orak-arik, salad, salmon, (e) Nasi nugget keju dan lalapan, (f) Spaghetti lagi (g) Kentang utuhan, Salmon, dan (mungkin) zucchini.
Credit to any of them yang ngambil foto-foto ini. Sudah tak bisa membedakan ini jepretan siapa.


Inilah Amanda. Sayang sekali Amanda tidak paham Bahasa Inggris. Kami butuh translator untuk berkomunikasi dengannya. Ini saya ngupload fotonya gapapa kan ya?

Makan di luar
Jadwal makan yang harus kami akomodir sendiri adalah makan malam. Kami tiba sejak hari Minggu menjelang maghrib. Tiga hari pertama training (Senin-Rabu), kami selalu diantar pulang oleh kolega kami, sekali oleh Schwab, 2 kali oleh de Lara. Selama itu juga kami makan malam di kamar masing-masing. Pada hari keempat, kami pulang kerja eh training tanpa diantar. Karena itu, akhirnya kami sekalian memutuskan untuk makan di luar agar kami tidak melulu makan makanan yang kami bawa dari Indonesia. Opsi pertama kami adalah kebab depan Stasiun Lyss. Jujur, saya bingung tipe ngantri di kedai kebab ini seperti apa. Kami datang, sang pelayan masih sibuk menyiapkan pesanan pelanggan lain. Apakah kami harus tetap kayak orang hilang berdiri di depan counter dan sebagian di luar kedai, atau kami harus duduk di kursi yang disediakan kemudian baru ke counter saat dipanggil, saya tak tahu. Lama sekali baru kami dilayani.

Sebelum pesan lebih lanjut, kami memastikan kebab ini halal atau tidak. Sang pelayan bilang daging yang digunakan didapatkan dengan "dor", sapinya bukan disembelih tapi ditembak. Pada kesempatan selanjutnya ketika mas-mas, terutama Mas Ervani dan Mas Kridanto sudah ngebet ingin protein hewani selain telur, kami melakukan surfing lebih lanjut tentang daging di Swiss. Sayang sekali keinginan Mas Ervani dan Mas Kridanto adalah utopia. Pasalnya, Swiss tidak memperbolehkan penyembelihan hewan. Treatment yang diperbolehkan adalah dengan menembak mati. Katanya sih menembak mati tidak memberikan penderitaan yang berarti bagi hewan. Katanya sih daging halal diimpor dari Perancis. Itu pun kabarnya entah sudah memenuhi persyaratan penyembelihan yang benar-benar halal atau belum.  

Beginilah kondisi naas Mas Ervani yang sudah sangat mendambakan protein hewani selain telur sementara Mas Kridanto dengan senang hati mencari info tentang daging halal.

Pilihan kami selanjutnya jatuh pada McDonald. Posisi McDonald ini berada di persimpangan. Strategis sekali. Pada kesempatan pertama ini, mas-mas ragu sehingga hanya membeli french fries, dihargai CHF 4,1. Sementara saya memutuskan membeli Quinoa Curry yang merupakan burger vegan, dihargai CHF 5,9. FYI, saus teman french fries di sini bayar. Saya lupa harganya berapa, tapi CHF 4,1 tadi sudah termasuk saus. 

McD di persimpangan ~ Alangkah indahnya ~ Oh kasihan ~ Kan ku beli~

Sebenarnya saya tidak suka kari. Kari mengingatkan saya pada orang-orang Bangladesh di KIT dulu. Duh kalau masuk dapur, ga jarang aroma masakan mereka yang jadi aroma. Trus mereka masaknya ga leave it clean gitu. Meninggalkan ceceran-ceceran kuah. Microwave dan kulkas juga jadi aroma kari. Kesan saya terhadap kari kan jadi sesuatu yang jorok gitu. Ditambah burgernya ada bawang bombaynya pula, haduuuuuh ... Tapi pada akhirnya saya berhasil menaklukan Quinoa Curry.

Quinoa Curry

Sebagai bukti bahwa kami pernah makan di luar hotel

Pada hari Minggu, kami kembali makan di McDonald untuk makan siang. Kali itu Mas Nugroho akhirnya membeli Quinoa Curry, sementara kami bertiga membeli Fillet O-Fish Burger seharga CHF 5,5. Saya lebih suka burger ini dibandingkan Quinoa Curry. Sayang porsinya lebih kecil hahaha.

Pemandangan dari lantai 2 McD sebenarnya bagus. Seingat saya, saya juga pernah mengabadikannya tapi sepertinya file nya rusak karena saya tak dapat menemukannya dan memang ada beberapa dokumentasi saya di Swiss yang tidak bisa dibuka :(

Senang rasanya melihat rupa-rupa orang hilir mudik di jalanan sana (sebenernya agak sepi sih jalannya wkwk soalnya di akhir pekan katanya orang sana males keluar). Di persimpangan, meski tak ada lampu merah, mereka tertib. Mendahulukan pejalan kaki, kemudian pesepeda, baru kongkalikong di antara kendaraan bermotor. Saya tebak, kongkalikong ini bekerja dengan prinsip siapa cepat dia dapat. Yang sampai persimpangan duluan yang dipersilakan lewat duluan. Ga tau sih kalau saya keliru.

Ohiya, sebenarnya kami juga sempat makan di sebuah resto burger vegan di Bern. Tapi biar saja nanti saya ceritakan di sesi yang lain karena agenda ini masuk agenda jalan-jalan.

Makanan yang dibeli di swalayan
Demi menjaga keseimbangan jasmani, kami mengusahakan menu yang bervariasi agar tidak melulu makan perbekalan makanan instan meski tidak makan andok di resto. Harap maklum, sulit sekali rasanya mencari resto yang meyakinkan. Hari Jumat selepas kami mendapatkan kunci kamar di Spatz, kami membeli makan malam di swalayan COOP di seberang Spatz. Lama sekali kami berkeliling di sana sekalian scanning item-item yang memungkinkan untuk dijadikan oleh-oleh. Sekian lama memilih, akhirnya kami berempat membeli salad.

Mixed salad setengah harga

Penting untuk diketahui bahwa di Swiss biasanya di penghujung hari, makanan siap saji di swalayan dijual separuh harga. Ini berlaku untuk produk-produk yang hampir kadaluarsa namun masih aman untuk dimakan. Pada kesempatan ini, saya dan Mas Nugroho mendapatkan setengah harga itu sementara Mas Ervani dan Mas Kridanto mendapat harga normal. Harga salad setengah harga ini adalah CHF 3,4.

Selain salad, mas-mas juga membeli telur siap saji. Katanya sih rasanya jauh lebih enak telur rebus Weisses Kreuz. Yah kalau itu sih tiada duanya. Telur siap saji ini mengingatkan saya dengan telur siap saji di swalayan KIT dulu. Tapi telur di KIT unik, warnanya kuning, ter-blend dengan kuning telurnya. Entah cara masaknya gimana.

Alhamdulillah, mas-mas ga bruntusan meski makan telur melulu.

Saya sih menyebutnya telur paskah. Lha diwarna-warna lho.

Sementara itu, telur siap saji di Korea yang pernah saya temui seperti ini

Pada hari Minggunya, saya menyempatkan diri membeli makan malam sendiri di swalayan sementara mas-mas berniat menghabiskan perbekalan. Saya beli semacam spinach yang dimasak Amanda kemarin. Saya masaknya sih simpel saja. Saat masih dalam bungkusan, saya rendam dalam air panas. Setelah kira-kira sudah lemas, barulah saya makan. Tanpa saos ataupun mayonaise. Tawar. Saya banget.

Sama Quinoa salad juga sih belinya haha

Suguhan
Selama training, kami diberikan suguhan sepanjang berjalannya hari. Suguhannya monoton: croissant dan buah-buahan (buahnya bervariasi sih hehe). Jika kami lapar, langsung comot saja. Kadang kami nggondol juga untuk dinikmati di kamar. Suguhan buah juga ada di meja resepsionis hotel. Kalau di Indonesia biasanya yang disuguhkan di resepsionis permen. Ini buah, Coy! Sehat banget kan.

Melihat hal ini, begini komentar ibu saya, "Camilannya sehat gitu ya. Ga berminyak-minyak, ga berkolestrol. Pantes orang luar sana sehat-sehat. Lha kita? camilannya gorengan, makanannya banyak yang bersantan dan berminyak, pisang aja yang udah bener sehat sebagaimana mestinya malah dijadiin pisang goreng."

Harap fokus pada suguhannya. Ada buah dan croissant yang posisinya agak tersembunyi.
Credit: Seiler

Croissant yang digondol sebagai makan malam bersama Bandrek Hanjuang

Ada ceplukan!

Makanan mandiri kami
Saya tidak tahu detil perbekalan mas-mas seperti apa. Saya sendiri dari Indonesia membawa setoples sosis (yang mungkin isinya tinggal separuh), (entah 2 atau 1) bubur instan, 1 Popmie, 5 sachet bandrek, beberapa sachet oatmeal instan, dan 1 sachet mashed potato instan yang saya lihat diimpor Indonesia dari Jerman eh malah saya bawa ke Eropa lagi wkwk. Semuanya tandas dalam 10 hari kecuali oatmeal instan. Percayalah, perbekalan mas-mas lebih ekstrim.

Cozy banget menikmati sore di balkon sambil berjemur dan makan Popmie

Secara umum, biaya makanan di Lyss cukup affordable. Memang kalau dirupiahkan pasti mahal, tapi kala travelling, melihat dengan kacamata penduduk setempat adalah perlu. Urusan makanan kami tergolong mudah menurut saya. Kami dapat dengan mudah membedakan mana makanan yang dapat kami makan, mana yang tidak. Memang jangan mengharapkan protein hewani berupa daging, tapi berusahalah mensyukuri yang ada. Sayuran dan buah-buahan pun adalah pilihan yang sangat sehat. Telur juga dapat menjadi opsi (kalau tidak mau dibilang satu-satunya) sumber protein hewani. Tetap bisa bertahan kan?

Sekian dulu sesi Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss. Semoga menghibur dan berguna.

Mengapa Berpuasa

Warning! Saya cuma menuangkan yang ada di kepala saya. Sebuah ke-sotoy-an yang nyata.

Beberapa malam yang lalu saya kepikiran sesuatu. Bagaimana jika seseorang, terutama nonmuslim, bertanya pada saya mengapa saya berpuasa, atau mengapa Islam mengharuskan umatnya berpuasa pada bulan Ramadhan?

Well, selama ini saya hanya diajari bahwa puasa adalah hal wajib bagi muslim. Rukun Islam nomor 4. Tidak ada penjelasan lain. Disuruh belajar puasa ya manut-manut saja. Sudah besar, tanggung jawab atas kewajiban itu sudah tertanam tanpa bertanya mengapa Islam mengharuskan puasa. Lantas, apakah saya akan menjawab pertanyaan tadi hanya dengan "karena puasa adalah kewajiban"? Rasanya saya tak mau jika jawaban "kewajiban" ini malah diartikan bahwa umat Islam terpaska melakukannya. Kesannya terkekang gitu. Padahal kan engga.

Kemudian saya terpikir sebuah ayat terkenal tentang puasa,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Q.S. Al-Baqarah: 183)
"Agar kamu bertakwa". Poin itu kemudian menarik hati saya.

Yang saya tangkap dari poin ini adalah ada hal-hal yang terjadi pada diri kita yang 'menyeret' kita menjadi orang yang bertakwa. Seolah tanpa kita berusaha pun, puasa akan menarik kita ke arah sana. Lalu bagaimana bisa?

Awalnya saya tak punya jawaban. Tapi kemudian saya kembali ke pertanyaan pertama, bagaimana saya menjawab jika ditanya, terutama oleh nonmuslim, mengapa saya berpuasa. Sepertinya saya akan menjawab demikian.

Well, I never being told why. Yang saya tahu, puasa ramadhan adalah wajib, jadi saya melakukannya. But, along the way I find some positive effects. Bisa jadi ini adalah sebagian alasan mengapa Tuhan mewajibkan puasa ramadhan.
1. It cleanses our body and give our gut rest.
2. As we experience hunger and thirst, we appreciate our food more.
3. Dalam kasus pengalaman lapar dan haus ini, mungkin awalnya kita hanya memikirkan tentang diri kita. "Duh lapar banget, kapan buka? Duh haus, lemas, pusing, kapan buka?" But in the next step, most probably our mind shifts, not only in ourselves but we start to think about people out there who, sorry to say, economically, financially, are in a lower state than us. Those who find it's difficult to just getting a pinch of food every day.
4. The thought of others soften our hearts which then probably lead us to think about helping others, giving donations for example. Even if we end up not doing it, at least the deed is probably there.

Sesudah itu saya buntu. Apalagi hal positif yang terjadi karena berpuasa? Ujung dari pemikiran tadi, bertemu dengan "agar kamu bertakwa", membuat saya berpikir mungkin hal-hal yang terpikir tadi adalah salah satu bentuk takwa. Saya sendiri tidak tahu apa arti takwa sebenarnya :#

BTW setelah surfing, saya nemu ciri-ciri orang yang bertakwa:
1. Berinfaq
2. Menahan amarah
3. Memaafkan orang lain dan menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan
4. Bertaubat

Daaan keempat hal itu memang besar kemungkinan dilakukan orang yang berpuasa sih. Yang pertama mungkin pemikiran sebelumnya cukup menjawab. Tiga lainnya terjadi karena ajaran puasa bukan hanya puasa fisik tapi juga puasa mental. Poin 2 dan 3 memang dianjurkan bagi orang yang berpuasa, menahan diri, mentally. Poin 4 mungkin terjadi karena hati yang melembut membuat kita gampang ingat Allah kemudian bertaubat.

Saya juga nemu videonya Pak Nouman Ali Khan nih. Ngomongin topik yang sama. Poin tambahnya sih puasa ramadhan jadi ajang latihan hati untuk menjalani kehidupan nyata 11 bulan berikutnya. 

Sekian dulu ocehan saya. Maaf sotoy.

Hujan

Pukul 7.10 WIB.

Nur: Mbak, kamu sampai mana? Ditanyain Pak Jembar nih.
Nala: Saya masih di kosan kakak saya, Mbak Nur.
Nur: Walaah kami sudah di sini sejak jam 7.

Wah gawat! Saya membuat seorang atasan menunggu. Padahal saya berencana berangkat ke lokasi pukul 7.30. Hanya makan waktu sekitar 15 menit untuk perjalanan dari kosan Mbak Tri ke Teknik Industri Universitas Brawijaya (UB). Acaranya kan pukul 09.00. Bahkan berangkat pukul 7.30 pun masih menyisakan banyak waktu persiapan.

Lagipula, aturan dari mana bahwa cecunguk harus buru-buru hanya karena atasan datang awalnya kebangetan? Aturan dari mana yang seolah mengharuskan cecunguk datang lebih dulu dibanding atasan? Dari mana lagi kalau bukan mental senioritas?

Secara profesional, bukankah cecunguk dan atasan tiada beda? Tidak ada aturan yang menyatakan atasan adalah raja dan cecunguk adalah babu yang harus terbirit-birit berlari demi memuaskan atasan atas hal-hal yang secara profesional tidak penting-penting amat, masih bisa ditoleransi.

Saat ini saya berada di Malang. Tepatnya di kosan Mbak Tri, di area sekitar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Sepulang dari Bandung dua hari yang lalu, saya menghabiskan waktu satu hari di rumah untuk kemudian beranjak ke Malang untuk acara hari ini. Kebetulan sekali Mbak Tri sedang mengikuti kegiatan Pendidikan Profesi Guru di UMM.

Kemarin sore, berangkatlah kami berdua menaiki bus reyot menuju Malang. Benar-benar reyot. Bus kecil, tanpa AC, berdesakan penumpang, dan jalannya merambat. Tak ayal, ada penumpang yang berdiri mabuk kendaraan. Muntah di dalam bus. Beruntung fisik saya tahan banting. Biasanya mabuk kendaraan semacam itu bisa menular. Satu orang muntah, bisa memicu pusing dan mual penumpang lain.

Buru-buru saya ucapkan selamat tinggal pada kosan Mbak Tri. Dia sudah berangkat sejak pukul 06.00 tadi. Jadwalnya padat. Penuh kuliah dan penuh tugas. Saya hanya bisa pamitan langsung dengan kamarnya.

Jalanan ramai meski Mamang Ojek memilih rute melewati gang-gang. Kota besar memang begini. Bukan jalan raya pun tetap ramai. Anak-anak berangkat sekolah, mahasiswa berangkat kuliah, orang-orang berangkat kerja, anak kosan mencari makan, dan ibu-ibu menuju pasar tumpah ruah memeriahkan pagi.

Pukul 7.29 saya tiba di depan gedung Teknologi Industri UB. Nyatanya, Pak Jembar sedang di sebuah ruangan bersama dosen-dosen sementara saya bersama Mbak Nur duduk di luar bingung sendiri mau ngapain. Akhirnya kami memutuskan menuju ruangan acara. Memastikan materi sudah diterima dan disiapkan panitia dengan baik.

Pukul 09.00 acara tak kunjung dimulai. Kurang ajar sekali mental mahasiswa Indonesia. Dari dulu zaman saya masih memanggul label mahasiswa hingga sekarang kala millenials di-agung-agung-kan, mental molornya masih saja belum berubah. Mental ini terbawa hingga dewasa. Membuat mental ini bercokol di dunia industri, pendidikan, pemerintahan, dsb. Menyemai perubahan massal memang sulit jika masing-masing individu masih egois dan tidak berinisiatif untuk memulai dari diri sendiri.

Acara hari ini simpel saja. Pak Jembar diundang untuk memberikan kuliah di sini. Saya yang ditugaskan membuat materinya. Dan di sinilah saya sebagai orang yang bertanggung jawab atas materi yang tertulis. Jika perlu perubahan mendadak, saya yang harus turun tangan. Karena tak ada perubahan, hari ini tugas saya sesimpel menjadi juru pindah slide.

Usai menyampaikan kuliah, Pak Jembar undur diri. Namun itu tidak berlaku bagi saya dan Mbak Nur. Kami melanjutkan diskusi dengan pihak kampus tentang kunjungan industri ke perusahaan kami sambil mencari jadwal kereta terdekat dan menunggu waktu keberangkatan. Melalu pembelian go-show, kami mendapatkan kereta keberangkatan pukul 13.30 dari Malang, Kereta Gajayana. Dengan pembelian seperti ini, jangan terlalu berharap dapat memilih tempat duduk sesuai keinginian. Saya biasanya akan memilih tempat duduk di samping jendela. Kali ini, musnah sudah keinginan saya. Hanya tersisa tempat duduk di samping aisle.


Kami perlu menunggu sekitar 15 menit sejak tiba di Stasiun Malang hingga kereta berangkat. Meski bukan akhir pekan maupun masa liburan, stasiun ini tetap ramai orang berpindah tempat.

Tempat duduk saya ada di Gerbong 4, 10-B. Mbak Nur mendapat tempat duduk yang terpisah jauh di belakang namun masih satu gerbong. Saya berharap tempat duduk samping saya masih kosong jadi saya bisa menikmati pemandangan di luar dengan lebih leluasa meski sebentar. Saya menghampiri tempat duduk dari sisi belakang. Terlihat sesosok manusia berjaket hitam, rambut cepak. Yah sudah ada orang. Mungkin saya akan menghabiskan waktu membaca buku saja.

"Halo, Mas. Permisi."
"Silakan, Mbak."

Sebuah momen canggung yang selalu muncul kala berjumpa penumpang baru terjadi. Meski sudah berniat untuk membaca buku, hati saya tetap mengajak untuk memecah kecanggungan. Kalimat saya sudah di ujung tekak.

"Mau ke mana, Mbak?" Yah saya keduluan.
"Madiun, Mas. Mas?" Saya balik bertanya. Template sekali.
"Wah sama. Madiun juga. Di sini kerja?"
"Saya kerjanya di Madiun. Ini tadi kebetulan ada kerjaan yang mengharuskan ke sini. Ke Madiun mau pulang, Mas? Kerja di sini?" Hanya sedikit improvisasi dari template. Haduh.
"Ini tadi habis jenguk adik. Baru pertama kuliah jadi dijengukin dulu. Mumpung ada waktu. Ini mau pulang."

Seutas senyum menyertai di sela percakapan. Intonasinya ramah. Santun. Sepertinya teman perjalanan saya kali ini adalah orang yang easygoing.

Pengumuman keberangkatan sudah dikumandangkan. Masinis melakukan traksi. Perlahan kereta bergerak maju. Tak lama setelah meninggalkan stasiun, terlihat rumah-rumah yang dicat berwarna-warni.

"Oh jadi ini ya kampung warna-warni yang populer itu," Saya kembali membuka obrolan. Bersama kami melihat kampung warna warni layaknya pelangi itu, "Iya. Baru kali ini saya lihat."
"Sama. Saya juga. Sebenernya kalau dilihat-lihat biasa saja ya?"
"Iya. Bisa nge-hits karena media sosial. Tapi lebih mending kan daripada tidak dibuat berwarna-warni? Coba kalau dibiarkan, pasti lebih terlihat kumuhnya."
"Wah bener juga."

Saya urung membaca buku. Kereta melewati kawasan bukit dan persawahan. Indah sekali dipandang. Sayang sekali saya tidak leluasa melihat. Namun nikmat itu tergantikan dengan obrolan seru dengan teman seperjalanan yang belum saya ketahui namanya ini. Kami bercerita tentang pengalaman hidup masing-masing. Sedikit demi sedikit saya menggali tentang lawan bicara saya. Di mana dia bekerja, apa pekerjaannya, apa ilmu yang didalaminya.

"Mas kerja di mana sih?" Saya coba gali informasi lagi.
"Di Kalimantan." Ternyata teman seperjalanan saya ini cukup tertutup tentang profesinya.
"Jarang ketemu keluarga berarti? Atau keluarga memang sudah di Kalimantan?" Saya coba pancing. Heheh
"Waduh saya belum nikah, Mbak. Keluarga dari mana." jawabnya santai sambil cengengesan. "Saya dapat libur 14 hari setiap 56 hari. Jadi saya pulang 2 bulan sekali. Ini saya lagi libur 2 minggu itu." Saya mulai bisa menebak bidang pekerjaan lawan bicara saya ini. "Kalau Mbak, keluarga di Madiun?"
"Asal saya Kediri. Tiap minggu saya usahakan pulang."
"Nanti kita lewat dong. Ga pulang sekalian?"
"Yah besok udah kerja, Mas. Capek di jalan lah kalau mampir-mampir."

Awak kereta lewat menjajakan makanan dan minuman. Perhatian kami teralihkan. Sebentar saja. Kami berdua tidak tertarik untuk makan atau minum. Obrolan kami rasanya seru.

"Saya dulu anak SMK, Mbak. Tahu sendiri kan biasanya anak SMK kebanyakan tidak berorientasi untuk kuliah? Tapi saya pengen kuliah. Saya dulu belajar habis-habisan buat ngikutin pelajaran SMA. Dulu SBMPTN saya ambil UNESA sama UNS. Alhamdulillah keterima di UNS, Teknik Sipil," Dia mulai membuka cerita hidupnya. Matanya terlihat bersemangat sekali bercerita.

"Kalau memang dari awal ingin kuliah, kenapa dulu ga masuk SMA aja, Mas?"

Sambil membenarkan posisi duduk, dia kembali bercerita, "Rumah saya di desa, Mbak. Di kabupaten. SMP saya dulu juga dari kabupaten tapi saya ingin sekolah di kota. Dulu NEM saya lumayan bagus lho. Tapi kalau dari kabupaten mau sekolah di kota kan ada kuota tersendiri. Nah NEM saya tu ga masuk di kuota ini. Padahal kalau itu NEM-nya anak kota, saya bisa masuk tuh. Pendaftaran SMA kan barengan jadi saya tidak punya pilihan lain. Daripada saya ga sekolah, jadi mending masuk SMK."

"SMK pun saya ambil jurusan agak beda. Biasanya kebanyakan SMK kan otomotif gitu. Saya ambil Teknik Bangunan. SMK kan ada praktik lapangannya 1-2 bulan, saat praktik lapangan ya saya jadi kuli. Bahasa kerennya aja Teknik Bangunan, realitanya jadi kuli bangunan."

"Karena saya asalnya dari SMK, kami terbiasa praktik menggambar teknik 2D dan 3D menggunakan software. Jadi saat kuliah, ketika teman-teman yang lain masih jalan patah-patah, saya, 'ini sih gampang!' Hahaha," Cerocosnya dengan antusias sambil menggerakkan tangan seperti mengoperasikan komputer. Obrolan ini semakin asyik. Tawa bangga menghiasi wajah teman seperjalanan saya ini. Semakin ... cakep. Eh.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Kami bercerita tentang pengalaman kuliah: tentang unit kegiatan yang kami ikuti di kampus, kriteria memilih kosan, frekuensi pulang, hingga usaha untuk memenuhi kebutuhan finansial karena ternyata kami sama-sama penerima beasiswa pemerintah dan sering sungkan meminta pada orang tua ketika uang bulanan kami kurang.

"Saya sebenernya di kampus ikut organisasi Islam yang aktif di masjid gitu loh, Mbak. Tapi tiap saya ikut kumpul tu saya merasa beda sendiri terutama dalam hal berpakaian. Kan saya jadi sungkan ya. Makanya saya lebih aktif di Pecinta Alam. Mbak suka naik gunung?" Style teman perjalanan saya ini memang cocok diasosiasikan dengan anak gunung. Tas dengan brand yang terkenal dengan peralatan pendakiannya, celana yang sepertinya memang celana untuk naik gunung, sandal gunung, jam tangan digital, dan jaket yang meski bukan jaket gunung tapi memiliki brand yang sama dengan tasnya.

"Hahaa pengen doang, Mas. Belum keturutan. Kalau di kampus saya semua yang beragama Islam masuk ke namanya Gamais, Keluarga Mahasiswa Islam. Tapi yang aktif ya penggiat masjid gitu. Saya tiap ikut acaranya sungkan juga sih. Lha saya style-nya pakai jeans, kaos, kelakuannya pencilakan, trus kumpul sama yang pakai gamis, yang kalem-kalem jadi aneh gitu kan rasanya. Sungkan. Hehee saya malah aktifnya di karawitan."

"Masa-masa kuliah menyenangkan ya," Lanjut saya. "Tapi banyak susahnya juga haha. Saya lebih banyak homesick di tahun-tahun terakhir karena menurut saya itu masa-masa sulit bangeet."

"Loh saya malah awal-awal seringnya pulang. Semakin ke belakang. Saya semakin tahan untuk tidak pulang. Sayang uangnya. Saya kan beswan x. Kadang kurang gitu untuk kebutuhan kuliah dan sehari-hari. Mau minta orang tua sungkan juga kan. Kalau pulang pasti jadi keluar uang lebih. Saya lebih banyak menyibukkan diri cari sambilan."

"Sambilan apa? Kalau saya dulu nyambinya ngajar gitu. Ga mampu kayaknya nyambi yang akademik gitu. Paling banter ya asisten praktikum."

"Proyek-proyek gitu sih. Saya sering gangguin senior-senior hahaha. 'Bang, ada kerjaan ga? nggambar apa gitu kek, Bang.' Ga ada di satu ya ke yang lain. Sampai akhirnya kalau ada kerjaan tanpa saya minta juga beberapa dikasih ke saya."

"Saya dapat kerja pertama kali juga dari ikut proyek begini sih," lanjutnya. "Setelah lulus, saya ikut proyek dosen. Proyek pertama setelah lulus tuh sebuah rumah sakit di Solo."

"Koordinasi antara arsitek dan engineer sipil dalam proyek tuh kayak gimana sih, Mas? Saya ngebayangin kok kompleks gitu ya. Banyak love-and-hate-nya haha."

"Waduh, Mbak. Kadang pusing saya. Udah nggambar trus ga jadi. Revisi lagi, lagi, dan lagi." Jawabnya dengan gaya sebal yang lucu sekali. Haha. "Arsitek kan lebih ke estetikanya. Ada sih pertimbangan kekuatan dsb. Tapi kadang dari mata orang sipil, itu tidak memungkinkan. Maunya arsitek apa, di lapangan realitanya gimana. Yaudah deh cekcok kalau udah kayak gitu."

"Haha kok kayaknya malah seru ya saya ngebayanginnya. Beruntung loh kamu dibuat sekolah di SMK, Mas. Jadi kuli hahaha. Kalau ga gitu, mungkin kamu ga akan kepikiran jadi civil engineer." Antusiasme saya perlahan naik.

"Saya selalu terpukau dengan karya-karya orang Teknik Sipil loh, Mas. Keren gitu. Gedung-gedung pencakar langit setinggi itu bisa ga roboh, lorong bawah tanah bisa ga roboh, jembatan juga bisa kuat dan ga roboh. Saya ga bisa bayangin deh kalau bikin jembatan tu ngecornya gimana coba? Kan air semua tuh," Saya coba tanyakan hal yang selama ini saya sangat ingin tahu.

Dia tampak menata pikiran dan menghela nafas, "Sebenarnya fokus saya lebih ke sipil bangunan tapi saya coba jawab berdasarkan yang saya ketahui ya. Kita bisa memasang pembatas mengelilingi area pondasi terlebih dahulu," Dia mulai menjelaskan sekaligus memperagakan dengan tangan. "Luasnya cukup untuk pekerja beraktivitas dan beristirahat. Kemudian kita sedot air di dalam pembatas itu. Selesai." Menakjubkan. Kenapa saya tidak pernah terpikir jawaban seperti itu atas pertanyaan yang sudah lama terpendam?

"Kalau Mbak yang dikerjain apa?" Ganti dia menggali tentang saya.

Perlu waktu sejenak untuk saya merumuskan kalimat untuk mendeskripsikan pekerjaan saya, "Di kereta yang modern, biasanya kontrol-kontrol kereta kayak buat pintu, AC, dll dilakukan oleh sebuah sistem. Nah, kerjaan saya membuat sistem ini. Secara software-nya saja sih. Hardwarenya tetap beli karena kita belum mampu bikin. Ini diharapkan bisa mengurangi cost karena selama ini belinya barang siap pakai. Harganya mahal dan kita jadi bergantung kepada penyedia produk jika terjadi kerusakan."

"Perlahan kita kuasai teknologinya ya. Lalu selanjutnya apa?"

"Ke depannya, sistem ini bakal terintegrasi dengan IoT, Mas. Internet of Things. Tahu ga?" Saya menduga, harusnya lawan saya tahu istilah ngetop dekade ini.

"Engga." Yaaah kok ga tahu sih.

"Dengan internet, kita kirimkan data-data keretanya ke server kita. Jadi meski di office, kita bisa tahu kereta kita sedang ada di mana, sedang ada gangguan apa."

"Wah keren. Kalau di dunia sipil apa ya yang kayak gitu? Kayaknya inovasinya lebih ke peralatan, material dan metode atau cara membangunnya."

"Eh ada loh, Mas. Saya pernah baca paper gitu, sebuah perusahaan jepang memasang sensor-sensor di lift yang mereka produksi. Sistem lift mereka diberikan kemampuan untuk mengirim data sensor-sensor tadi ke server perusahaan. Jadi perusahaan tau tingkah laku si lift meski sedang dioperasikan di mancanegara. Nah, pinternya mereka, dengan melihat tingkah laku ini mereka membuat sistem untuk memprediksi kerusakan lift sehingga mereka bisa menyiapkan tenaga dan sparepart untuk melakukan maintenance sebelum terjadi kerusakan."

"Selain itu, sekarang nge-tren juga kok Smart Home gitu. Tapi emang lebih ke elektroniknya sih, bukan persipilannya. Heheee," Tambah saya sambil nyengir.

Kereta kami melintasi persawahan. Hijau sejauh mata memandang hingga bertemu dengan biru. Di sana berbaris banyak SUTET yang menghubungkan saluran distribusi listrik. Saya suka pemandangan seperti ini. Persawahannya membuat saya kagum pada Sang Pencipta sementara SUTET-nya membuat saya kagum dengan engineering-nya orang listrik arus kuat yang jika  saya tarik lagi malah membuat saya kagum pada Dia yang memberikan petunjuk sehingga engineer listrik arus kuat dapat merekayasa distribusi listrik dengan SUTET ini.

Tanpa bisa saya tahan, saya tersenyum melihat pemandangan di luar jendela. Teman seperjalanan saya turut melihat apa yang ada di luar sana. Membuat seolah kami melihat pemandangan bersama. Hahaha.

Obrolan kami berlanjut. Berbagai obrolan berlalu. Tebakan saya akan pekerjaan teman bicara saya ini terkonfirmasi. Wah saya sedang berbincang dengan engineer keren! Saya kagum dengan bagaimana cara dia menjelaskan hal-hal di bidangnya. Caranya menjelaskan gamblang dan mudah dipahami. Ditambah dengan suasana humor yang dibangun, rasanya seru sekali obrolan kami.

Saya melihat sekeliling. Semua orang di gerbong itu terlelap. "Eh sadar ga sih. Semua orang di gerbong ini tidur. Kita doang yang berisik dari tadi."
Dia mengelilingkan pandangan. "Wah bener juga. Yaampun."

Seseru itu obrolan kami hingga tak menyadari bahwa hanya kami sumber suara manusia di gerbong itu.

"Kita dari tadi ngobrol tapi belum kenalan loh." Dia mengulurkan tangan. "Hujan."
"Nala." Saya sambut tangan itu. Tersungging senyum di wajahnya. Oh Tuhan, dia manis sekali. Eh.

Perjalanan kami mungkin sudah lebih dari separuh perjalanan. Obrolan kami berlanjut. Sama sekali tak memberi jeda pada saya untuk menumbuhkan keinginan membaca ataupun tidur. Momen ini terlalu jauh dari kata membosankan. Keterbukaan pikirannya membuat bermacam topik mengalir begitu saja.

Dering handphone-nya berbunyi. Seseorang memanggil. Terlihat "Ibu" tertera di sana. Mau tak mau saya mendengar komunikasi mereka meski hanya di satu sisi. Membuat saya tertegun. "Sopan sekali ini bocah sama ibunya," batin saya.

Manusia ini, dengan humor, kemampuan komunikasi, pengetahuan, sopan santun, dan keterbukaan pikirannya sangat menarik untuk dijadikan teman. Lain waktu kami bisa diskusi tentang banyak hal kembali. Menjadi teman jangka panjang hingga mati juga boleh. Eh.

Sebentar lagi kami tiba di Stasiun Madiun. Waktu saya berjumpa tidak lama lagi. Hati saya mulai mengeluh, "Yah sebentar lagi berpisah."

"Mbak Nala, boleh saya minta kontaknya?" Dia kembali memulai percakapan.
Saya mengerutkan dahi dan menyipitkan mata. Ragu-ragu. Belum sempat saya menjawab, buru-buru dia menjelaskan. "Saya kan ke depan pengen kerja dekat rumah. Kan ga mungkin saya kerja di Kalimantan terus. Pengen dekat keluarga juga. Jadi, kali aja di tempat kerja Mbak Nala ada lowongan, kan bisa kabari saya. Hehe."
"Was that a camouflage?" curiga saya. Tapi apapun itu, toh saya memang ingin berteman.
Dengan ragu-ragu tapi mau, "Well, OK."  Saya terima handphone-nya kemudian mengetikkan kontak saya.

Usainya, dia mengirim pesan agar saya bisa menyimpan kontaknya. "Assalamu'alaikum." Begitu pesannya. Saya jawab lisan, "Wa'alaikum salam."

Saya nervous. Saya bingung mau ngapain. Hati saya tegang. Sebentar lagi kami berpisah. Rasanya mirip sekali dengan saat perpisahan dengan teman-teman baik.

Akhirnya kereta tiba di Stasiun Madiun saat maghrib menjelang. Kami bersama mencari pintu keluar kereta. Seharusnya kami mengambil pintu sebelah kiri. Saya tahu itu. Sudah berkali-kali saya naik-turun di stasiun ini. Namun, entah kenapa kok saya manut saja mengikuti dia keluar di pintu sebelah kanan.

Saat dia sudah turun di sisi kanan, dia berbalik. Saya yang masih di atas kereta, kali ini bisa melihat wajahnya penuh dari depan. Tadi saat di kereta lebih banyak saya tidak melihat wajahnya karena posisi kami menyamping. Yaampun, Tuhan, kenapa makhluk ini menarik sekali. 

Sesudah turun, saya kembali sadar bahwa tak seharusnya kami lewat sini. Pintu keluar ada di seberang. Yaampun, Nala, bego banget sih sampe ga bilangin dia ini jalan yang salah. Kenapa ngikut-ngikut aja dah? Pikiranmu ke mana tadi?

Akhirnya kami kembali naik kereta dan turun melalui pintu sisi kiri. Saya masih tegang. Rasa ndredeg atas perpisahan ini belum kunjung hilang. Membuat saya kaku kayak kanebo kering. Saya malah berjalan cepat tanpa mengucapkan salam perpisahan dengan baik.

"Bye." Itu saja yang saya ucapkan. Kemudian saya langsung berjalan cepat, pergi menghindar. Hati saya masih tegang. Haduh, Nala, kenapa kamu sering seperti ini? Tak bisa mengontrol perasaan dan menghindar begitu saja.

Itu sama sekali bukan perpisahan yang saya harapkan. Keluar dari stasiun, saya menyesal. Buru-buru saya kirim pesan kepada Hujan.

Nala: Sampai jumpa kapan-kapan. Thanks obrolannya seru.
Hujan: Iya. Sama-sama. Terima kasih sudah mau ngobrol sama Hujan.

Saya masih berharap dapat berjumpa di lain kesempatan. Jumpa lewat pesan pun tak apa. Saya ingin berteman dengannya. Dia dengan kepribadiannya terlalu sayang untuk dilewatkan menjadi teman.

-----

Pertanyaan terakhir. Apakah kisah ini nyata?

Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Penginapan

Judul ini saya buat sedemikian rupa sesuai request rekan perjalanan saya: Mas Nugroho; Mas Ervani; dan Mas Kridanto, yang dulu --sambil mencie-cie-- ngerjain saya, meminta postingan blog berjudul Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss. Here it is, Mas-mas. Takturuti.

Cerita sebelumnya ada 4 bagian: curhatan part 1, penerbangan pertama, penerbangan kedua, dan perjalanan terakhir. Super sekali. Perjalanan sekali jalan saja bisa jadi 4 part begini.

Setelah total sekitar 2 hari perjalanan, tertempuh sudah jarak antara Madiun dan Lyss. Hotel yang kami huni pertama kali adalah Weisses Kreuz (baca: Waises Kroits). Sesuai namanya, Weisses (putih), hotel ini benar-benar berwarna putih

Lantai 1 gedung ini adalah restoran. Kami biasanya sarapan di sana. Lantai atasnya adalah kamar-kamar hotel.

Bagian hotel dimana resepsionis berada.

Hotel ini nyaman sekali. Selain hotel, tempat ini juga adalah sebuah restoran, pun menyediakan aula untuk acara-acara tertentu. Kebetulan saat booking, tinggal tersisa kamar dobel. Jadilah saya meski seorang diri menempati kamar dengan 2 tempat tidur. Saat kami check in, respsionisnya heran.

"Kalian pesan 3 kamar dobel untuk 4 orang?"
"Iya. Tinggal double room saat kami booking. Tidak mungkin saya satu kamar dengan mereka," demikian jawab saya.

Pada kesempatan ini, saya menempati kamar 101 di lantai 1; Mas Ervani dan Mas Kridanto sekamar di lantai 2; sementara Mas Nugroho menempati  kamar lain yang juga di lantai 2. Malam pertama, kami makan malam di ruangan masing-masing setelah diskusi panjang tentang air minum dan colokan listrik. Melepas lelah, mempersiapkan diri untuk perang beberapa hari ke depan. Malam itu saya makan sosis.

Double bed dengan masing-masing terdapat cokelat selamat datang

Balkon kamar saya

View sisi kanan balkon. Menuju jalan samping hotel

FYI, berdasarkan informasi dari Pak Feri yang tidak sengaja kami temui di Stasiun Zürich Flughafen (diceritakan di cerita penerbangan kedua), air kran di Swiss aman untuk langsung diminum. Asalkan yang dingin, jangan yang panas karena pemanasannya dengan minyak. Sementara Seiler, kolega yang mengurus kami, keesokan harinya mengatakan bahwa air di sana aman untuk langsung diminum baik yang dingin maupun panas.

Selama di sana, saya memutuskan minum air kran. Dulu di Singapura juga begitu kan. Perkara air ini sangat menghemat uang karena saya lihat sebotol air putih 600 ml dijual seharga 4 Franc, setara dengan sekitar 56ribu Rupiah kala itu.

Saya biasanya ambil air minum di wastafel itu. Kadang rasanya di hati agak gimana gitu sih. Air minum diambil deket WC gitu wkwk.

Di hari pertama, sebuah penyesalan karena membatalkan membawa universal travel adaptor terjadi. Berdasarkan hasil surfing, di Swiss juga menggunakan colokan 2 lubang seperti di Indonesia. Nyatanya, terminal listrik di Swiss menggunakan 3 lubang kecil. Sebenarnya 2 lubang saja yang digunakan juga bisa. Namun, hanya steker berukuran kecil saja yang bisa masuk ke terminal listrik di sana. Saya perlu adapter untuk dapat nge-charge baterai laptop yang stekernya terlalu besar untuk terminal itu.

Satu set terminal di Swiss bisa mengakomodasi 3 device sekaligus (kalau pegangan stekernya ga gedhe2 amat wkwk)

Masalah adapter ini terselesaikan dengan tidak sengaja. Seiler membantu kami melobi pihak hotel untuk memberikan water heater di kamar kami. Alasan kami sih untuk ngopi, padahal kayaknya alasan besar mas-mas adalah untuk bikin Indomie. Kebetulan sekali bersama sang heater, terdapat adapter yang cocok untuk charger laptop yang saya bawa. Syukur alhamdulillah.

Super sekali hotel ini. Hingga request water heater juga dituruti.

Saat kami di sana, bumi Eropa sedang menyongsong musim dingin. Malam lebih panjang daripada siang. Kala itu, Subuh masuk pada sekitar pukul 6.15 - 6.30 pagi. Semakin hari semakin "siang". Sedangkan Maghrib sudah menjelang sekitar pukul 16.45.

Jadwal subuh yang agak siang ditambah acara training yang dimulai pukul 8.30 membuat kami harus bersiap cepat. Selepas sholat subuh, kami langsung sarapan, bersiap sebentar, dan langsung berangkat. Saya menyiasati jadwal dengan mandi sebelum tidur sehingga paginya hanya perlu cuci muka dan sikat gigi (tipikal orang bule banget dah wkwk). Lagian ini musim dingin yang malah disarankan untuk tidak mandi terlalu sering (adalah Krisdianti, teman sebangku saya kala SMA yang pernah melewati musim dingin di Turki, yang nuturi saya tentang ini).

Dengan perjalanan jauh nan lama dan perbedaan waktu 6 jam lebih telat dibandingkan WIB, kami terserang jet lag. Hari pertama saya tidur pukul 8 atau 9 malam dan terbangun pukul 3 pagi. Sementara Mas Nugroho setelah isya pun langsung tidur, terbangun pukul 12 malam, dan tidak bisa tidur lagi. Dia yang paling parah jet lag nya di antara kami berempat. Hari pertama training, pukul 18.00 mata Mas Nugroho sudah merah karena di Indonesia sudah pukul 00.00, biasanya dia sudah di Pulau Kapuk.

Hotel ini memberikan fasilitas sarapan. Prasmanan, pilihannya banyak, tapi menunya  setiap hari sama. Suasana ruang makan di sana menyenangkan. Kalem, tenang gitu. Pelayan-pelayannya juga baik. Mau saja menuruti kami yang kulturnya berbeda.

Sebuah sisi tempat menata menu sarapan

Di  meja makan terdapat selembar kertas berisi salam dalam banyak bahasa. Memberikan kesan ramah sekali. Tapi sayang, tulisan shabahul khair nya rusak dan di sana ga ada Bahasa Indonesia :(

Pelayanan lain yang diberikan adalah room service. Setiap pulang kerja, kamar saya kembali rapi dan bersih. Saya ga kebayang gimana komentar petugas kebersihannya pas lihat kamar mandi mas-mas jadi tempat njereng cucian. Hahaha

Tarif jasa laundy di Weisses Kreuz kala itu. Tapi saya ga pakai. Hihi.

Hari pertama, kami berangkat pukul 8.15 dengan dijemput kolega kami bernama Schwab. Kami menjalani hari-hari penuh ilmu baru. Hingga hari Jumat, 13 Desember 2019, kami harus berpindah. Di antara hari-hari kami di Swiss, hari Jumat itu hotel Weisses Kreus penuh. Memaksa kami untuk berpindah sementara.

Berpindah
Jumat pagi hari, kami check out dan menitipkan barang di Weisses Kreuz sebelum bekerja. Malamnya, kami -- saya dan Mas Nugroho -- mengambil barang kemudian menyusul Mas Ervani dan Mas Kridanto check in di Hotel Spatz (baca: Spats). Barang Mas Ervani dan Mas Kridanto ditinggal di Weisses Kreuz karena besoknya sudah kembali ke Weisses Kreuz lagi. Saya sih ga bisa tanpa barang-barang esensial yang saat itu ada di koper.

Hotel Spatz letaknya sangat dekat dengan Stasiun Lyss. Mungkin hanya 2 menit jalan kaki dari stasiun. Seperti Weisses Kreuz, Spatz juga sebuah hotel restoran. Namun, di sini sepertinya hotelnya tidak terlalu menonjol. Kalah pamor dengan restorannya. Pintu masuknya terletak di belakang restoran alih-alih di depan sehingga agak sulit menemukannya.




Hotel ini tidak ditemukan di laman booking seperti Traveloka. Kami mengetahui hotel ini juga karena info dari Seiler. Pun perusahaan Seiler yang melakukan booking untuk kami.

Bangunannya cukup sempit. Memang tarifnya beda jauh sih dengan Weisses Kreuz. Tapi perbandingan saya kurang tepat karena di Spatz saya menghuni kamar single sementara di Weisses Kreuz double room. Jadi harusnya wajar kalau lebih mahal hehehe.

Gara-gara harga hotel ini yang murah banget ... sebelum tidur, kami berempat bingung mencari-cari bahan defense jika nanti kami diprotes perusahaan kenapa menggunakan hotel yang lain. ups hehe. Alhamdulillah aman sih.

Kongkow di kamar Mas Nugroho. Dia dapat double room harga single.

Suasana kamar di Hotel Spatz. Minimalis. Bikin parno sih itu jendelanya. Takut kalau kelihatan dari gedung sebelah. BTW pintu di sana saya pikir adalah jalan menuju balkon. Ternyata ....

Itu pintu ke kamar mandi. Jendela kaca di kamar mandi itu meski buram bikin parno banget.

Hotel Spatz juga menyediakan sarapan. Salah satu hal yang patut kami syukuri selama di Swiss: tak perlu khawatir pagi-pagi kelaparan. Jika di Weisses Kreuz kami bebas mengambil apapun yang kami mau, di Spatz makanan disediakan di meja kami. Minum pun kami harus request ke pelayan yang sedang bertugas. Pagi di Spatz, saya minum teh mint. Enak sekali. Akhirnya teh mint saya jadikan oleh-oleh hihihi.

Sarapan di Spatz menunya terbatas pada yang disuguhkan di meja.

Satu malam menginap di Spatz, esoknya kami check out, titip barang, main sebentar, lalu kembali check in ke Weisses Kreuz. Saya jadi tidak bisa mengulas tentang room service di Spatz deh.

Sepertinya pembahasan penginapan sudah habis. Ingin membahas menu-menu sarapan sih tapi sepertinya akan masuk di kategori makanan yang akan dibahas selanjutnya.

Segini dulu saja. Besok saya jadwal libur tapi harus tetap masuk kantor nih (curcol). Semoga postingannya menghibur dan bermanfaat.