Posts

Showing posts from 2018

Berbalik

Ada satu hal yang saya benci tapi malah sering terjadi pada saya: berbalik, bumerang, senjata makan tuan. berdasarkan pengalaman hidup selama ini, sering sekali setelah saya membagi pikiran saya tentang sesuatu, kadang berisi nasihat, kadang kritik, tak lama setelah itu hal tersebut balik terjadi pada saya.

Dulu saya nulis tentang menghargai mamang angkot dan secara halus menyarankan untuk melihat alasan kenapa mamang angkot menarik tarif yang menyebalkan. Esoknya saya dikenai tarif mahal sama mamang angkot.

Beberapa waktu lalu saya nyeletuk tentang keikhlasan dalam bekerja. Tak lama kemudian, malas bekerja menyerang.

Tadi malam saya ngomong soal body shaming di status WA (padahal yang lihat diset sedikit juga), eh saat guyon hari ini secara ga sadar saya terang-terangan melakukan sindiran merujuk ke body shaming.

Yang lain-lain sudah lupa kejadiannya apa tapi saya ingat keberbalikan sudah terjadi berkali-kali. Sungguh ini menyebalkan sekali.

(Akan) Caw part 2 -- Kencan Ketiga dan Perpisahan

Menyambung postingan sebelumnya, saya kabarkan bahwa saya tidak diterima dalam rekrutmen tersebut. Hati saya kecewa. Padahal ibu saya punya feeling ini jalan yang terang. Karena itu, saya melihat beliau makin "menikmati" waktu yang tersisa bersama saya, melihat bagaimana beliau makin rajin mengurus saya, seperti menyiapkan bekal tiap pagi. Ada sisi positifnya sih saya ga diterima, saya jadi punya waktu lebih untuk diluangkan bersama keluarga. Orang tua saya tinggal satu, mau ke mana lagi saya mengabdikan diri kalau bukan di sini.

Pagi itu, Nur menghubungi saya untuk ngajak main. Saya tahu itu basa-basi saja sebenarnya tapi saya buat jadi serius. Setelah siang sepulang kerja mendinginkan hati di taman, malam itu saya dan Nur jadi kencan. Kencan ketiga. Kami memutuskan untuk bersepeda berdua PP GOR-SLG, total sekitar 22 km. It was a nice experience. Bersepeda di sini tak perlu seberjuang bersepeda di Bandung yang naik-turun tapi ga kelihatan. Saya pernah melakukan perjalanan bersepeda Ganesha-Soekarno Hatta, kira-kira jaraknya juga PP 20 km-an, saking capeknya muka saya kayak udang rebus setelahnya.



Kami memutuskan untuk duduk-duduk di taman saja. Banyak obrolan. Di kencan pertama, saya khawatir akan krik krik kalau cuma sama Nur. Eh ternyata kencan kedua dan kencan ketiga yang sama Nur doang ga krik krik tuh. Banyak obrolan menarik tentang kehidupan yang masing-masing pernah kami jalani. Obrolan yang cukup membuka mata saya melihat dunia. Saya sangat berterima kasih sama Nur sudah mau menemani saya menghibur hati kala itu.

Hari Senin karena pancingan dari saya, Astuti, teman dekat saya, mengabari bahwa dia sebenarnya juga mengikuti rekrutmen yang sama seperti saya hanya saja berbeda jalur. Dia dinyatakan diterima. Pagi itu, saya sadar perkataan film 3 Idiots benar adanya. "Kamu memang sedih saat tahu bahwa kamu gagal, tapi mengetahui kamu gagal dan temanmu berhasil itu lebih menyakitkan," kira-kira begitu kalimatnya. Memang dasarnya saya orang gampang iri jadi bukannya happy, saya malah nelangsa.

Kamis lalu, Astuti berangkat karena Sabtu dia harus sudah siap di venue acara. Menyadari Astuti akan pergi, entah kenapa saya sedih. Bukan lagi sedih karena dia lolos sementara saya tidak, lebih karena merasa kehilangan. Saya terlalu lama bersama Astuti. Meski jarang bertemu, kami cukup lama merasakan ditempa di tempat yang sama. Sejak MTs hingga kuliah. Lama kan? Dan kini dia akan memiliki dunia yang berbeda dengan saya. Rasanya mirip kayak akan berpisah dengan Aji dulu. Ada sedikit ketakutan karena setelah ini saya akan sendiri, akan berjuang sendirian. But I shouldn't kan? saya harus belajar berani menghadapi dunia yang fana ini.

Kamis sore saya datang ke stasiun untuk melepas kepergian Astuti. Kami belum menyempatkan bertemu sebelumnya jadi saya ingin bertemu meski sebentar. Rada lebay sih wkwk tapi daripada saya sedih terus karena merasa ditinggalkan kan mending saya ketemu orangnya untuk "melepas rindu" biar lebih mendingan. Saya, Astuti, dan pacarnya hanya berbincang sekitar 30 menit sambil menunggu kereta datang. Efek kafein dari Americano saat berbuka semakin membuat saya ndredeg akan ditinggal teman baik, akan sendiri. Pukul 18.40 kereta Astuti tiba. Dia beneran pergi. Tinggal saya dan pacarnya Astuti menunggu dan melihat hingga kereta berangkat. Good luck, Sistah!



Malam itu saya masih ndredeg hingga berjam-jam karena efek kafein Americano. Saya lampiaskan ndredeg dengan nyanyi dan goyang-goyang di rumah. Mbak saya sampek komen, "ada orang lagi agak ... "

(Akan) Caw part 1 -- Memantapkan Hati

Hampir dua bulan lapak ini kosong. Harusnya ada banyak hal yang dapat dituliskan namun saya terlalu malas hingga tertelan rutinitas huhuhu :( Kali ini, mari saya ceritakan salah satunya.

Sebenarnya sudah cukup lama ibu menyatakan kerelaannya melepaskan saya untuk merantau. Saya masih tetap menunggu dan menunggu apakah kalimat beliau hanya sekedar kata atau memang benar-benar dari dalam hatinya. Waktu berselang, akhirnya saya yakin bahwa kalimat beliau serius. Saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Akhirnya sekitar sebulan yang lalu saya memutuskan mengikuti rekrutmen sebuah perusahaan. Saya deklarasikan kepada rekan-rekan kerja bahwa saya ada rencana untuk caw. 

Awalnya memang ada keraguan apakah saya akan benar-benar bisa meninggalkan tempat ini? Ga jarang keraguan muncul karena ketakutan untuk berpisah dengan teman-teman yang baik. Tempat ini memang bukanlah tempat impian tapi manusia-manusianya bikin betah. The atmosfer, the jokes, the way they accept me so that I can be my true self in front of them, I like them so much. Segala bentuk kenyamanan yang saya dapatkan di rumah juga menambah kekhawatiran bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu, menambah keraguan saya. Namun, saya tak boleh menyia-nyiakan izin yang sudah didapat.

Saya menangkap teman-teman awalnya masih nggandoli saya (apa saya aja yang ge er yak?) tapi mereka tetep bantuin saya selama serangkaian tes pertama. Mereka bantu "melindungi" saya selama tes online yang saya kerjakan di kantor. Caro pun saya repotkan untuk merekam video yang diperlukan. Dalam rangkaian tes kedua pun mereka (mau ga mau) saya tinggalkan. Pun begitu perhatian mereka pada saya tak berkurang. Terima kasih, teman-teman. Love you so much!

Lama kelamaan akhirnya saya melihat perlahan saya direlakan oleh teman-teman. Saya melihat ibu pun semakin yakin membiarkan saya bertualang. Mereka semakin membuat saya rela untuk pergi (jika memang dibolehkan Tuhan).

Enam hari yang lalu kabar yang ditunggu datang ...


Kencan Pertama

Hai! Tadi malam saya datang ke Kediri Car Free Night. Tumben sekali saya mau datang ke acara dengan begitu banyak orang. Momen kali ini sangat spesial karena saya habiskan bersama old friends: Saidah dan Nur. Mereka adalah dua teman SD saya yang sampai sekarang masih sering berhubungan. Sebenarnya Nur dan Saidah teman TK, lalu kami satu SD. Saya enam tahun satu kelas dengan Saidah dan kami bertiga baru satu kelas saat kelas enam. Jadi ya, saya beneran tahu Nur itu pas kelas 6, sebelumnya cuma tahu gosip saja wkwk. Lulus SD, saya satu sekolah dengan Nur dan kembali bertemu di kelas yang sama saat kelas 9 sementara Saidah bersekolah di sekolah yang berbeda dengan kami. Selanjutnya, Nur dan Saidah kuliah di kampus yang sama. Promosi sedikit, si Nur ini termasuk primadona sekolah selama saya satu sekolah sama dia. Tadi malam dia kena srempet Saidah, “Dulu aja lu primadona, banyak yang nempel. Lha sekarang? Satu aja ga ada yang nempel.” Ngakak saya dengernya.

Pasalnya, kencan kami dimulai karena Nur berkali-kali ngajak saya kencan lantaran dia sudah tak punya teman wkwk. Beda dengan Saidah yang sering saya temui langsung karena rumah dan silsilah keluarga kami cukup dekat, saya jarang sekali berhubungan dengan Nur. Sebenarnya Nur masih kerabat kami hanya saja silsilahnya cukup jauh, rumahnya cukup jauh pula jadi ya hampir ga pernah ketemu atau sekedar mendengar kabar. Back to the topic, akhirnya saya pun mau kencan asalkan barengan sama Saidah. Inilah kencan pertama saya.

Dari dulu, bagi saya yang namanya dolan poinnya adalah interaksi dengan sesama. Keramaian atau lingkungan sekitar hanyalah penambah suasana. Benar kan. Tadi malam kami cuma jalan dalam keramaian. Hal yang berkesan bagi saya malah mereka yang mau saya ajak jalan sampai Jembatan Korupsi demi ngefoto bulan, lalu duduk-duduk di samping Jembatan Korupsi, klesotan di Taman Sekartaji, makan lontong di pinggir jalan, dan ngobrol bareng. Event Car Free Night-nya tinggal lalu saja.

Beruntung ada Saidah. Dia bisa nyambung ngobrol sama Nur. Mereka kan satu TK, SD, kampus, jadi ada banyak bahan obrolan. Coba kalau saya cuma sama Nur, kayaknya bakal krik krik. Udah kami dulu cuma literally bersama selama dua tahun (kelas 6 dan kelas 9), hal yang sama di antara kami cuma dikit, saya ga terlalu banyak omong pula.

Banyak sindiran lucu tertuju pada saya. Maklum sih. Di antara kami, saya yang paling bulliable. Saya banyak kena srempet, merantau terus sih, dia dulu diem banget, guru tau dia tuh nama doang, dia kepinteren dll dll. Tapi saya senang mendengar obrolan mereka. Saya senang mendengar kisah mereka. Dari obrolan tadi malam, saya tahu ternyata selama ini teman-teman saya doing extra miles di saat saya sudah diberikan kenyamanan ini dan itu. Tamparan keras untuk saya.

Saya senang mereka mengangkat kisah saat kami masih satu sekolah. Menyadarkan saya bahwa banyak hal sudah terlupa oleh saya. Saya kena srempet, “kamu yang diinget yang penting-penting doang ya. Yang ga penting-penting dihapus dari memori. Aku yang ga penting-penting tetep aja inget.” Sejujurnya saya sedih menyadarinya. Saya mudah sekali lupa. Banyak momen yang saya lupa. Kadang saya lupa apa yang beberapa waktu lalu saya lakukan. Sering saya lupa kejadian yang baru berlalu beberapa hari. Itu menyedihkan, sama sekali bukan sesuatu untuk dibanggakan. Saya juga ingin momen-momen berharga terpatri dalam ingatan saya dan membuat saya banyak bersyukur. Oleh karenanya, saya biasanya menulis atau memfoto untuk membantu saya mengingat ketika saya melihatnya. Terima kasih untuk Saidah dan Nur yang membantu saya recall memori-memori masa lalu.

Saya senang mendengar sedikit pandangan mereka tentang hidup. Ada pandangan yang kurang sreg tentang keputusan tinggal di kampung halaman saja karena pada akhirnya kita akan kembali ke keluarga. Yang kita butuhkan di akhir nanti pada akhirnya ya keluarga. Sama persis dengan padangan ibu saya. Pandangan itu sama sekali tidak salah. Benar sekali bahwa pada akhirnya yang kita cari adalah keluarga. Saya sadar, kurang sreg-nya saya cuma karena selama ini saya dididik untuk bermimpi besar, untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada manusia, untuk terlibat dalam perubahan, bukan hanya menjadi obyek perubahan. Dan saya melihat hal-hal tadi bisa saya temukan di luar sana. Impian saya sudah kepalang tanggung tinggi. Oleh karenanya saya masih ingin berpetualang untuk belajar dan melakukan sesuatu. Idealisme dan angan-angan saya masih terlalu besar untuk menyerah dan hanya menerapkan pandangan kembali ke keluarga. Sementara ibu saya menginginkan sebaliknya. Makanya saya masih bingung saya mau ke mana. 

Kencan kami berakhir setelah kami melahap habis tahu lontong pinggir jalan dengan porsi kuli. Traktiran si Nur. Kami baru beranjak pukul 22.30 dan pulang bersama. Saya mbonceng Saidah, Nur berkendara menjejeri kami. Kami masih ngobrol sepanjang jalan. Saya tak menyangka kencan kami ternyata akan memberikan obrolan seseru tadi. Menyadarkan saya bahwa teman-teman saya sudah sedewasa dan sekeren ini. Mengingatkan saya pada banyak hal dalam hidup yang harusnya saya syukuri. Saya berharap ada kencan selanjutnya.

A Chit-Chat

Beberapa hari yang lalu, salah satu anggota tim saya, Caro, ga masuk kerja karena sakit. Tinggallah saya dan Wicaksono mengerjakan tugas kami bersama. Karena pekerjaan sedang longgar, duduklah kami bersama dan ngobrol ke mana-mana. Banyak cerita.

Seperti biasa, saya malah banyak mendengar. Kan saya jarang mau cerita panjang lebar soal kehidupan pribadi saya.

Wicaksono bercerita tentang kisah hidupnya. I sincerely give my respect to him. Mendengar kisahnya, saya ingin merangkul dan nge-pukpuk dia tapi sayang sekali saya tak dapat melakukannya. The way he thinks, solves problems, manages time, and makes decisions show that he is much more matured than me even though he is 3 years younger. Kisahnya menyadarkan saya bahwa selama ini saya kurang bersyukur, bahwa selama ini saya tidak mengisi kesempatan yang saya dapat dengan maksimal. Saya malah berpikir, mungkinkah kesempatan yang saya dapat selama ini lebih pantas untuk diberikan kepada seorang Wicaksono? Segera diri saya yang lain menjawab, "Belum tentu. Ingat! Semua sudah direncanakan oleh Allah. Yang penting sekarang isilah hidupmu, live your life to the fullest."

Membicarakan perjuangan masa lalu, tak enak rasanya jika tak membincangkan rencana masa depan. Saya senang Wicaksono punya rencana yang jelas untuk hidupnya. Dia masih muda, masih banyak kesempatan untuk merancang kehidupannya. Dengan rencana yang jelas sejak dini, kemungkinan besar dia tak perlu berhenti di persimpangan karena bingung mau ke mana. Keep it up, Bro! Chase your dreams!

Beda dengan Wicaksono yang punya rencana yang jelas, saya bingung menjawab pertanyaan tentang rencana masa depan. Saya mau ke mana?

Nyampah

Tulisan ini adalah reaksi atas sebuah twit tentang paus yang mati karena menelan plastik. Entah sudah berapa kali saya melihat berita semacam ini. Selalu sama, makhluk laut menderita karena sampah-sampah manusia yang terbawa ke laut.


Tahukah sodara-sodara, di dunia ini masih banyak sekali orang yang membuang sampah sembarangan, khususnya ke sungai, termasuk saya. Sampah-sampah yang di darat dapat terseret ke perairan dan akhirnya mengalir menuju ke laut. Pernahkah kalian melihat pantai yang menerima sampah setiap kali ombak datang (paling ga lihat foto atau videonya)? Ironisnya, sampah-sampah itu dapat berakhir menganiaya makhluk tak bersalah karena entah tak sengaja masuk ke tubuhnya atau dikira makanan. Belum lagi, polusi tanah dan air yang ditimbulkan.

Setiap melihat berita semacam ini, saya jadi pengen belajar tentang persampahan: baik pengolahan maupun manajemennya. Di desa saya, belum ada manajemen persampahan. Tiap keluarga mengurus sampahnya sendiri-sendiri. Sepertinya di desa ini belum ada orang yang tahu bagaimana pengurusan sampah yang baik. Jadi, tak heran kalau sungai kami menjadi tempat sampah. Mulai dari pembuangan limbah usaha pengolahan ketela pohon hingga sampah padat, yang saya yakin isinya kebanyakan adalah popok bayi dan pembalut. Adanya bendungan di desa sebelah membuat airnya mandheg, menggenang saat musim kemarau. Sampah pun cuma berkumpul di sana. Membuat nyamuk semakin berjaya.

Logikanya, orang buang sampah sembarangan kemungkinan karena dua alasan: belum membudaya; kalaupun sudah sadar dan ingin memulai dari diri sendiri, sistem lingkungan yang ada belum mendukung niat tersebut.

Jujur saja, saya dan keluarga masih sangat sering membuang sampah sembarangan karena kami bingung bagaimana mengurus sampah-sampah “aneh”, seperti pecahan beling, baterai, logam, dan tentu saja popok bayi dan pembalut. Akhirnya gimana? Ampuni kami, Tuhan.

Makanya, saya pernah bermimpi untuk membantu desa saya dalam urusan persampahan ini biar kami ga bingung buang sampahnya, biar lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Tapi saya belum punya baik ilmu maupun dananya hihi. Pernah sih ngide ngajakin teman-teman yang ngerti buat ngadain semacam pengabdian masyarakat dalam bidang ini, tapi … who am I? Cuma butiran debu yang bahkan masih belajar lagi gimana cara bersosialisasi. Kalau ada anak kuliahan yang baca ini, tolong ngidelah untuk bikin KKN mengusung tema ini, terutama kalau KKNnya di Pulau Jawa. Pulau Jawa terlalu penuh, jadi masalah sampahnya pasti banyak dan kompleks. Kalau pulau lain, mungkin ada bidang lain yang relatif lebih urgent.

***

Memecahkan masalah belum membudaya sebenarnya dapat dimulai dari diri sendiri. Marilah kita bertobat dan belajar nyampah pada tempatnya, Sodara-sodara. Coba deh lihat foto jalanan atau taman di negara maju, Jepang misalnya. Jalanan dan tamannya sebenarnya biasa saja tapi bersih menambah nilai keindahannya. Padahal di sana sangat jarang ada tempat sampah publik. Lantas bagaimana tamannya tetap indah?

“…it is a fact that people get used to carrying around used wrappers, receipts, and other pieces of trash until they can dispose of them properly --- Faktanya, orang-orang terbiasa membawa bungkus makanan, nota, dan sampah lainnya hingga mereka dapat membuangnya dengan semestinya.” ---jpninfo.com

Saya juga pernah baca di blog kakak tingkat yang sempat mengikuti pertukaran pelajar di Jepang. Usai dia dan teman-teman Jepangnya party, mereka langsung bergegas bersama membereskan sampah mereka sekaligus memilahnya sesuai peraturan persampahan mereka. Hayolooo di lingkungan kita bagaimana? 

So guys, let’s start from ourselves. Mari membuang sampah di tempat yang semestinya. Kalau ga ada, mari dibawa pulang. Di rumah, pilah sampahnya dan berikan perlakuan sesuai jenisnya.

Sebagai pengakuan, pengurusan sampah di rumah saya masih sesimpel apa yang bisa dibakar, ya dibakar (ibu saya masih masak di tungku soalnya jadi bisa buat tambahan bahan bakar), kalau organik ya dibuang di kebon. Kalau aneh-aneh, ampuni kami, Tuhan. Kami belum tahu gimana mengurus sampah aneh-aneh itu.

***

Beberapa hari yang lalu, saya (sambil mandi) ngobrol sama ibu yang lagi masak.

“Ih, Bu, kemarin aku lewat jembatan Mondo. Airnya mambeg, lumuten, sampahe uakeh. Gimana ya biar orang-orang ga buang sampah ke sungai?”

“Ya petinggi desa harusnya ngasih tempat sampah gitu. Misal se-RT-nya Pak Sungeb nih, kasih satu super gedhe gitu, trus ada yang dikasih tugas ngangkut ke pengumpulan yang lebih gedhe.”

“Iya, ya. Kalau gitu jadi ga bingung buang sampah ke mana. Belum lagi nanti kalau dipilah sekalian dan dikasih jadwal buang sampah. Misal sampah plastik hari Senin, sampah kertas hari Rabu, sampah basah tiap hari.”

“Makanya kalau nanti jadi lurah bikinlah kayak gitu.”

WOW. Bahkan ibu saya juga memikirkan hal yang sama. Ibu saya 48 tahun, lulusan MTs. Berarti masalah persampahan ga peduli tingkat pendidikan (ya kecuali anak-anak ya, mereka masih harus dididik), ini tentang kepedulian dan kesadaran.

***

A Letter

Dad, if you're here, what'd you do?
What'd you ask me to do?
What do you think I should do?
Where do you think I should go?

Kebahagiaan yang Hangat

Beberapa bulan ini rasanya seperti pengalaman baru, banyak juga kehangatan baru yang saya temukan. Karena saya bingung merangkai semuanya gimana, saya bikin list aja deh.


  • Buka puasa dan sahur bareng ibu, adik, dan mbak. Meskipun itu sudah berkali-kali pernah saya lakukan, entah kenapa kali ini rasanya beda. Seneng gitu rasanya. Mungkin salah satunya karena tahun lalu sama sekali ga ngrasain puasa di rumah.
  • Mendampingi adik mengurus urusan sekolahnya. Ini benar-benar pengalaman baru untuk terlibat di urusan sekolah adik. Saya memenuhi undangan wali murid buat sosialisasi dan rapat. Saya juga datang ke acara perpisahan sekolahnya.  Saya juga antar dia berurusan dengan calon sekolah baru. Rasanya seneng banget. Ada juga rasa bangga di sana.
  • Kecemplung dalam tim yang bikin seneng dalam lingkaran mereka. Melihat mereka tuh semacam melihat kehangatan tak kasat mata gitu lhooo. Saya suka kekompakan dan perhatian mereka. 
  • Sudah jauh dari kampus, mengetahui kabar kampus dari twit teman seangkatan rasanya nyenengin. Bikin kangen. Anehnya memori buruknya sama sekali ga nongol.
  • Kalau pulang kerja trus keponakan mau diajak main tuh rasanya seneeeeng banget. 

Marhaban Ya Ramadhan

Marhaban Ya Ramadhan

malam ini sudah resmi masuk bulan Ramadhan. Setahun yang lalu, saya melalui bulan Ramadhan di tanah rantau terjauh yang pernah saya kunjungi hingga saat ini. Kali ini, sepertinya saya akan menghabiskan bulan Ramadhan sepenuhnya di rumah. Dua buah suasana yang sangat berbeda.

Sama sekali tak pernah menyangka Tuhan akan memberikan jalan hidup seperti ini untuk saya. Siapa juga yang bisa menebak misteri ilahi?

Semoga bulan Ramadhan ini benar-benar memberikan berkah bagi saya, keluarga, lingkungan saya, dan siapapun yang baca ini. Semoga ampunan dikucurkan bagi kita semua, terutama saya yang kerjaannya ga aman dari dosa.

Saya mau cerita. Sudah sekitar satu bulan saya bekerja di suatu tempat. Di sana bukanlah tipe zona nyaman saya. Mengesampingkan hal-hal negatifnya, saya menemukan beberapa hal positif di sana. Pertama, saya merasa secara tak sadar saya kembali melatih kemampuan komunikasi saya. Mungkin hanya orang yang dekat dengan saya sejak masuk hingga lulus kuliah yang merasakan perubahan sosial saya sehingga saya perlu berlatih lagi dalam bersosial. Eh apa perubahan yang saya maksud ini cuma perasaan saya ya? Kedua, dua orang rekan kerja saya lebih muda tiga tahun dibanding saya. Namun, saya melihat mereka lebih dewasa dan bertanggung jawab dibandingkan saya. Saya perlu belajar dari mereka. Ketiga, akhirnya saya nemu teman yang juga suka buku. Namanya Wicaksono, salah satu rekan kerja yang saya sebut sebelumnya. Semangat saya meluap-luap tiap kali saya memperbicangkan buku dengan Wicaksono. Senang sekali. Sejauh yang saya ketahui, Wicaksono menyukai buku-buku karya Fiersa Besari. Belakangan dia juga tertarik baca Bumi Manusia karya Pak Pram tapi karena kami berdua belum punya ya belum jadi baca.

Sejak akhir Januari sebenarnya saya sudah menjalani profesi sebagai tutor les di sebuah LBB. Pengalaman kali ini rasanya berbeda dengan pengalaman nutor sebelumnya saat kuliah. Kali ini, ikatan yang terjalin lebih terasa. Saya jadi ragu apakah benar-benar akan melepas pekerjaan ini (di tempat ini) setelah semester ini berakhir atau tidak mengingat saya sudah bekerja dan sudah di-tag untuk ngelesi anaknya seorang rekan kerja. Memang sih ini sama-sama nutor, tapi saya sudah terlanjur terbiasa dan cinta sama teman-teman lama 😆

Bukan uang yang saya cari di sana melainkan kepuasan hati. Pada banyak kesempatan, saya merasa berbunga-bunga selama ataupun setelah nutor teman-teman. Terkadang lelah dan malas memang menyerang tapi dapat dikalahkan oleh semerbak wangi bunga dalam hati saya. Sepertinya pekerjaan ini adalah salah satu hal selain buku yang membuat saya merasa masih menjadi manusia normal, bukan robot ataupun mayat hidup dalam definisi kiasan saya. Dia membuncahkan semangat saya. Dia membuat saya merasa hidup saya berarti yang pada akhirnya menyadarkan saya bahwa saya pernah punya mimpi. Lantas sekarang tak punya?

Btw sudah lama tak menulis rasanya tulisan jadi kaku ya. Halo! Apa kabar impian jadi penulis, kuliah S2 di luar negeri (belum jelas ke mana), pergi ke Jepang, keliling Eropa, memperbaiki sistem pengelolaan sampah di lingkungan sekitar, dsb dsb? Apa kabar?

Saya tadi kepikiran, bulan Ramadhan ini mending saya ikutan ngaji lagi kali ya? Bukan ngaji Al-Quran. Maksudnya ngaji ilmu biasa macem akidah, tasawuf, atau lainnya bergantung di kampung ngadainnya apa. Saya juga kepikiran buat lari dari musholla sampai rumah seusai tarawih. Sounds interesting.

Dua Puluh

Dua hari yang lalu, salah satu teman kerja saya berulang tahun yang ke-20. Kami sekantor berencana memberikan kejutan kecil-kecilan untuknya. Pada akhirnya hal itu gagal wkwk. Saya bahagia lihat dia senyum-senyum sepanjang hari. Mungkin dia bahagia ucapan selamat dan doa terkucur padanya sepanjang hari itu. Mengingatkan saya bahwa hal simpel yang kita lakukan bisa jadi sangat berarti bagi orang lain.

Ada yang pernah bilang pada saya bahwa dua puluh adalah sebuah titik balik. Bagi saya, hal itu sangatlah benar. Entah kenapa Tuhan memberikan banyak hal baru dalam hidup saya di usia 20. Saya merasa bahwa usia 20 adalah sebuah peralihan bagaimana saya melihat hidup. Proses pendewasaan intensif muncul sejak saat itu. Saat saya berusia 20 tahun, teman yang mengatakan bahwa kelakuan saya sebelumnya masih seperti anak SD pun mengakui bahwa saya sudah naik level ke anak SMP. Saat ini, saya sendiri merasa bahwa saya sudah naik kelas, bukan SMP lagi *pede banget yak* wkwk.

Saya masih penasaran, bagaimana proses berpikir secara berbeda ini dapat terjadi. Bagian mana dari manusia yang membentuk naluri untuk melakukannya?

Life Update

Holaa! Sudah sekitar dua bulan lapak ini suwung. Ada apa gerangan? Nothing much happened. Hidup saya belakangan ini flat jadi bingung apa yang jadi bahan tulisan. Saya curiga, kedataran ini bikin saya jadi malas nulis.

Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, sebagai pemanasan, saya ingin menuliskan apa-apa yang saya rasa dan pikirkan belakangan ini. Apa yaaa? Apa ya? Duh hidup saya flat amat.

Treasure

Ketika satu orang tua tiada, hilang satu berkah dalam hidup kita. Hilang doa yang selalu dicurahkan untuk kita. Hilang salah satu tempat kita mengabdi. Hilang pula salah satu sumber nasihat-nasihat untuk kita.

Bersyukurlah jika masih diberi kesempatan untuk mengabdi kepada orang tua. InsyaAllah banyak rahmat Tuhan di sana. Apalagi jika keluarga adalah keluarga yang menyenangkan, menentramkan, dan penuh cinta. Treasure it! Treasure your parents, treasure your family.

Menjadi Orang Tua

Pengalaman hidup merantau di kota, apalagi dalam ekosistem yang menantang secara tak sadar membuka mata, ruang pikir, dan mengajarkan saya melihat hidup dari perspektif yang berbeda. Sekitar dua bulan yang lalu saya boyongan ke kampung halaman. Memenuhi permintaan orang tua yang sudah sejak lama mengharapkan saya pulang. Pada akhirnya saya tahu, keinginan tersebut ternyata bukan sekadar karena "daripada membuang uang percuma". Ada skenario besar Tuhan di balik itu.

Menghadapi dunia pasca-kampus yang saya lalui di rumah, saya melihat beberapa pola pikir masyarakat tentang menjadi orang tua yang menurut saya salah. Tentu saja ini hanya pengamatan belaka. Tidak ada data komprehensif yang dapat dipertanggungjawabkan.

Yang pertama adalah tentang sekolah. Berdasarkan pengamatan amatir saya, semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh seseorang, niat orang tua bahkan anak yang mengalami sendiri semakin bergeser. Sekolah yang awalnya diniatkan untuk menuntut ilmu, agar sang anak mendapatkan pendidikan yang layak, bergeser menjadi untuk mendapatkan pekerjaan. Tanda pergeseran ini akan semakin tampak ketika anak sudah lulus sekolah dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Berbagai jenis ocehan dari berbagai pihak bermunculan dalam situasi ini. Entah hanya menyebutkan anak keluarga ini kerja di sini sekolahnya ini, atau terang-terangan menyatakan sindirannya. Padahal sekolah sudah sepatutnya diniatkan untuk menuntut ilmu agar anak mendapat pengetahuan tentang alam, dunia, dan agama.

Kedua tentang bekerja. Bekerja bukan hanya melulu tentang uang. Pandangan “kerja di sini dengan gaji sekian meski sedikit akan sama saja dengan kerja di sana dengan gaji besar” bisa jadi benar jika tolok ukurnya hanya hasil fisik. Tetapi hal ini akan berbeda ketika kita memasukkan aspek-aspek yang lain.

Bekerja melibatkan kepuasan hati. Adalah perlu untuk mempertimbangkan pekerjaan yang tidak mengandung mudharat, memberikan tantangan dan pengetahuan baru, dan memberikan kepuasan hati karena diberdayakan sesuai dengan kemampuan diri. Seperti yang dikatakan Bapak Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhannya, ada aktualisasi diri – kebutuhan manusia untuk mengerjakan sesuatu yang menantang keahliannya di sana. Di manapun tempat bekerjanya, apapun profesinya, dengan pemenuhan aktualisasi diri dapat membantu seseorang semakin bersemangat dan ikhlas dalam bekerja sehingga bekerja bukanlah tuntutan kebutuhan finansial semata. Tempat kerja seharusnya tidak dilihat sebagai ladang uang semata tetapi juga sebagai ladang amal dan ilmu. Dengan begini, saya yakin menjalankan tugas di tempat kerja menjadi lebih menyenangkan karena kita sudah jeli di awal dan menjalankannya bukan sebagai tuntutan.

Terakhir tentang mengasuh anak. Kahlil Gibran bertahun-tahun lalu sudah mengingatkan, Al Quran secara implisit juga menyebutkan bahwa anak adalah semata amanah dari Tuhan. Amanah yang bukan sembarang amanah. Amanah untuk mendidik anak menjadi orang yang beriman, baik, salih, dan berpengetahuan. Tidak pernah saya mendengar orang tua diminta untuk meminta balas jasa. Pola pikir pamrih ini malah memunculkan kasus “sekolah untuk bekerja dan membalas kebaikan orang tua”. Mungkin memang boleh mengharap balas jasa. Perjuangan orang tua memang sangat luar biasa. Tapi mengingat konteks awal anak hanyalah titipan dan amanah, apakah hal ini pantas (atau mungkin perlu)?

Tugas orang tua adalah membimbing dan mendidik anak. Jalan hidupnya seperti apa nantinya, hanya Allah yang tahu. Kita perlu membuka pikiran kita, bahwa anak bukanlah milik kita, bahwa anak adalah dirinya sendiri. Anak memang memerlukan orang tua sebagai pembimbing pertamanya, tapi anak punya jalan sendiri yang belum tentu sesuai dengan jalan yang kita mau untuknya. Pada akhirnya, jika didikan orang tua sudah baik, bukankah besar kemungkinan nanti anak akan tergerak sendiri hatinya untuk beneh?

Jakarta Trip 3 - Part 3

Wow akhirnya saya kembali membuka blog setelah sekian lama. Serial cerita perjalanan di Jakarta ternyata belum mencapai ujungnya. Singkat saja. Hari ketiga perjalanan saya dan Aji di Jakarta, kami datang ke Tempo Media Week demi bertemu idola kami, Bapak Handry Satriago. Hari itu temanya Big Data, Big Disruptions! dan Pak Handry membicarakan tentang kita sedang di mana dan akan ke mana. Masih saja mengandung obrolan tentang kepemimpinan dan tak lupa lelucon-lelucon ringan yang membuat suasana lebih enteng.

Pertama kali saya tahu Pak Handry adalah dari video "pidato" beliau di TEDxBDG. Sejak saat itu, saya ngefans sama beliau: sama semangat, juga pemikiran-pemikiran beliau.

Beruntung saya ke sana tak sendiri. Dengan dorongan semangat dari Aji, kami pun memberanikan diri untuk mendekat ke Pak Handry seusai acara. Mau minta foto.


Andai kalian tahu betapa deg-degannya kami. Gemetar dan dag-dig-dug dalam dada. Aji yang pegang kamera beberapa kali gagal mencet tombol capture saking groginya. Yaampun ternyata ketemu idola semendebarkan itu.

Sayang sekali, kami datang saat agak akhir. Dan kami "diserobot" panitia. Wal hasil, di fotonya Pak Handry gak lihat kamera deh karena tiba-tiba diajak ngomong orang lain sehingga kami harus segera mundur. Padahal saya pengeeeeeeeen banget bilang ke beliau, "Pak, saya ngefans sama Bapak. Saya juga baca buku Bapak. Bukunya bagus. Saya sampek udah baca beberapa kali."

Keluar dari ruangan, ternyata kami sudah ditunggu makanan lezat dari panitia. Di sisi lain, kami sudah pesan untuk dibelikan Ifa ayam geprek untuk makan malam. Akhirnya, kami makan malam dua kali malam itu 😅

Jakarta Trip 3 - Part 2

Hari kedua perjalanan saya dan Aji di Jakarta dimulai dengan sarapan penuh gula – roti bakar meses. Agenda utama hari itu adalah tes di sebuah perusahaan asal Korsel. Ifa sudah memberikan amunisi makanan untuk kami, dan tak lupa untuk teman-temannya (yang saya juga kenal) yang bekerja di sana.

Kurang ajar sekali, perut saya mendadak mules sebelum berangkat. Akhirnya saya berangkat lebih telat. Ini membuat hati saya ketar-ketir sepanjang jalan. Khawatir telat. Sayangnya, kekhawatiran saya ternyata sia-sia. I was the one and only participant yang datang hari itu – ibu HRD mengeluhkan mengapa yang lain tak datang. Itu pun saya masih nunggu sekitar satu jam hingga beneran tes padahal itu ceritanya saya sudah telat lho. Sebenarnya Aji juga peserta namun instingnya berhasil mencegah dia untuk mengurungkan niatnya. Tak rugi dia mengurungkan niatnya, di akhir perjalanan Jakarta ini, dia dinyatakan diterima bekerja di sebuah BUMN. Beruntungnya...

Saya tidak membawa tangan kosong dari kunjungan saya ke gedung begituan untuk pertama kalinya. Seusai urusan di sana, saya jadi mengerti gimana cara menggunakan salah satu model pengaturan lift di gedung besar. Karena saya baru mengerti cara menggunakan lift di sana saat pulang, pas berangkat tadi ya saya cuma ikut-ikutan Aji yang sepertinya sudah mengerti. Caranya tinggal memencet tombol bernomor lantai yang dituju, lalu sistem akan menampilkan lift mana yang akan melayani. Kita pun tinggal berdiri di depan lift dan menunggu. Sungguh pengetahuan baru yang sangat berguna. Saya sungguh udik ya. Hahahaa.

Rencana awal kami seusai dari gedung tempat tes itu adalah ke Kota Tua. Kami yang berusaha meminimalkan pengeluaran akhirnya memutuskan untuk naik ojek onlen menuju stasiun kereta terdekat lanjut naik KRL menuju Stasiun Jakarta Kota. Sambil makan dan ngecas hp di stasiun, kami kembali mendiskusikan itinerary. Dikarenakan cuaca yang sangat panas, kami membatalkan rencana ke Kota Tua siang itu. Kami memutuskan naik KRL saja dari stasiun ujung ini ke stasiun ujung lainnya yang paling jauh untuk selanjutnya kembali lagi. Kurang kerjaan banget kan. Kami setuju memilih kereta tujuan Bogor. Begitulah wisata murah meriah kami. Kami sudah senang dapat melihat tempat baru meski hanya dari dalam kereta.


Lalu apa yang kami lakukan sesampainya kami di Stasiun Bogor? Sholat Asar. Itu saja. Keluar stasiun pun tidak. Semoga pahala yang didapat juga banyak karena untuk sholat saja harus jauh-jauh ke Bogor. Wkwkwk

Beruntung kami sudah kembali ke Jakarta ketika jam pulang kerja sehingga kami ga merasakan sesel-seselan seperti yang terjadi pada kereta dengan arah berlawanan. Kami ketemu bule lagi di gerbong. Ga ngomong lagi. Kami cuma main tebak-tebakan ibu bule ini orang mana.

Sebenarnya tujuan akhir kami adalah Stasiun Cikini. Namun, karena Aji tadi beli tiket untuk tujuan akhir Stasiun Jakarta Kota (tujuan awal kami kan tadi Kota Tua – Stasiun Jakarta Kota -- tapi berubah sebelum kami keluar stasiun), maka kami ke Jakarta Kota dulu untuk check out baru kembali lagi ke Cikini agar Aji tak kena denda.

Kekonyolan kami terjadi dalam perjalanan ini. Ketika maghrib sudah berkumandang, muncul sebuah pengumuman bahwa kereta akan antri masuk Stasiun Jakarta Kota. Kalau tak salah pengumuman itu muncul di dua stasiun sebelumnya. Berbagai pengumuman selanjutnya tak kami dengar karena tiba-tiba speakernya lirih sekali. Hingga suatu ketika pintu kereta semuanya terbuka namun kami tak melihat stasiun. Keluar dari pintu masih rel. Di sebelah pun juga ada kereta yang diperlakukan sama. Kami pun berasumsi kami masih di tengah jalan, kereta masih antri untuk masuk stasiun. Sebenarnya kami heran mengapa gerbong tiba-tiba jadi sepi tapi karena masih ada beberapa orang yang tak turun, kami santai saja. Lama-lama gerbong ramai kembali.

Tak kami sangka-sangka, kereta berjalan menuju arah kedatangan kami tadi. Kami bingung. Akhirnya kami sadar, tadi saat pintu dibuka sebenarnya kami sudah di stasiun tujuan namun karena gerbong kami adalah ekor maka kami tidak melihat stasiunnya. Kekonyolan. Segera kami turun di stasiun terdekat untuk kembali ke Jakarta Kota. Kami menertawai diri sendiri sepanjang perjalanan. Di Jakarta Kota, kami segera berpencar. Aji check out dan beli tiket lagi dengan tujuan Cikini, saya sholat maghrib. Sayang sekali, air di sana asin.

Perjalanan kembali ke Cikini tak luput dari menertawakan diri sendiri atas kekonyolan yang terjadi. Kami juga mempraktikkan apa yang ada di kepala saya. Jika seseorang membuat penampakan seperti gambar di bawah di dalam kereta, apa yang dipikirkan orang di luar kereta yang melihatnya?


Saya mempraktikkannya tapi ketika menyadari ada orang di stasiun yang melihat, saya otomatis langsung malu, menghentikan penampakan, dan tertawa tanpa memperhatikan bagaimana respon penonton. Sangat disayangkan.

Begitulah kekonyolan hari kedua. Kami sudah dinanti-nanti Ifa di kosannya hari itu. Saya mau cerita kami makan malam apa hari itu tapi saya kok lupa. Ini ada cendera mata dari perjalanan konyol hari kedua. 

Monas cantik malam itu. Sayang saja kamera dan yang njepret ga mumpuni menghasilkan gambar yang cantik.

Jakarta Trip 3 - Part 1

Sebulan lebih saya hiatus menulis. Ternyata hiatusnya saya menyumbang kebosanan kepada salah seorang teman yang kehabisan bahan bacaan lantaran blog-blog-teman langganannya tak kunjung update. Hahah. Tak kusangka postingan saya dinanti.

Kali ini saya ingin bercerita tentang petualangan saya di Jakarta sebelum kembali ke kampung. Ini adalah ketiga kalinya saya mengunjungi Jakarta. Perjalanan saya didampingi oleh teman saya, Aji. Niat awal kami ke sana adalah mengikuti tes rekrutmen suatu perusahaan asal Korea Selatan tapi kalau dilihat itinerarynya, jalan-jalan memakan waktu paling banyak. Menariknya, perjalanan kami hampir selalu mengandung kebodohan di setiap harinya. Begini cerita kami …

Hari pertama
Kami berangkat pagi-pagi menuju Jakarta. Tiada rencana lain selain menelusuri Monumen Nasional hari itu. Setelah ngecas hp, makan bekal, dan sholat, kami pun keluar stasiun dan menelusuri jalanan mencari pintu masuk Monas. Kami melewati beberapa gedung putih yang sempat kami reka-reka sebagai Istana Presiden. Saya tak tahu wujud Istana Presiden sebenarnya seperti apa jadi saya percaya-percaya saja dengan Aji.

Menemukan jalan masuk menuju area Monas, saya excited sekali. Itu adalah kali pertama saya mengunjungi monumen yang sudah seperti Eiffelnya Prancis versi Indonesia. Tak ada yang istimewa. Hanya berfoto-foto ria. Monas ternyata ya begitu saja. Bagus. Kalau ingin tahu, datang saja ke sana. Haha

Sebenarnya perjalanan hari itu punya tantangan lebih karena kami pating bentheyot. Kami masih mencangklong tas ransel dan menjinjing tottebag. Semuanya penuh berisi pakaian, perbekalan, dan keperluan lainnya. Oleh karenanya, berjalan dan berdiri yang biasanya terasa biasa jadi terasa berat seiring menumpuknya lelah. Muka kami juga seperti udang rebus karena kepanasan efek kelelahan (bukan efek cuaca. Mendung kok. Hujan malah).

Hal yang menarik adalah bertemunya kami dengan seorang bule. Kami jadi merasa ‘dekat’ dengannya meskipun kami tidak saling ngobrol. Rasa sok dekat eh senasib --apapun lah--- ini ditrigger oleh si bule yang meniru kami leyeh-leyeh di tangga Monas. Sayang sekali ketika si bule yang saya duga orang Jerman itu pergi dan sempat terpeleset, saya cuma bilang “Be careful, Sir!” padahal saat itu adalah kesempatan emas kami untuk ngobrol dengannya. Setelah itu, kami menyesal kenapa tadi kami tak sok akrab saja soalnya si bule sendirian, kami khawatir dia bingung. Kami kan mungkin bisa bantu sikit-sikit. Alasan saja, padahal sini yang pengen dapat kesempatan ngobrol.


Kebodohan terjadi pascakunjungan Monas. Tujuan kami selanjutnya adalah kosan Ifa. Karena kami adalah orang-orang kere, kami memutuskan untuk naik Transjakarta saja karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan sewa ojek onlen. Kami pun mencari halte terdekat yang memungkinkan untuk trayek ke kosan Ifa. Kami khilaf. Kami buta arah. Kalau saya sih tak mengerti peta waktu itu, mungkin efek capek. Mungkin kami seharusnya ke kanan setelah keluar dari monas tapi kami malah ke kiri atau sebenarnya kami telah melewati halte yang dimaksud tapi tak sadar. Pokoknya kami yang awalnya keluar Stasiun Gambir lewat pintu utara, tau-tau sudah ada di pintu selatan Stasiun Gambir. Kami akhirnya menyadari bahwa kami sudah mengelilingi monas dengan berjalan kaki membawa-bawa tas yang, dalam imajinasi saya, seperti palu yang menghunjamkan kami ke tanah. Capek? Banget, Coy.

Kami pun memutuskan pesan mobil onlen. Miskomunikasi dan efek lelah membuat pak supir marah dan meng-cancel pesanan. Kami sudah lelah. Kami bingung. Kami cuma berdiri di pinggir jalan tak tahu harus bagaimana karena semuanya terlihat kacau. Mau pesan ojek onlen, takut terpisah trus ada yang nyasar. Mau pesan mobil onlen, sudah macet, pasti lama. Mau naik TransJakarta, haltenya masih jauh.

Menurut analisis Aji, kebanyakan mobil onlen itu di parkir di dekat pintu utara dan ga mau ke pintu selatan. Dalam pikiran saya, Stasiun Gambir itu seperti Stasiun Bandung yang dua pintunya bersebarangan jadi kalau mobil dari utara mau jemput kami yang di selatan, harus keluar dan berputar mengitari monas. Maka, saya setuju kami menuju pintu utara dan mengusulkan menuju ke sana dengan menyebrang stasiun. Aji yang sudah tak bisa berpikir pun setuju.

Saat akan masuk stasiun,
“Kamu tau ga jalan buat nyebrang stasiun?”
“Engga.”
“Laaah kirain kamu tahu makanya kamu ngide gitu,” Aji murka.

Mungkin keruwetan tadi terjadi karena kedurhakaan kami mengabaikan panggilan Allah untuk sembahyang. Aji yang sudah bete akhirnya memutuskan kami sholat dulu saja di musholla stasiun. Ajaibnya, setelah sholat saya langsung teringat bahwa realitanya, pintu utara dan selatannya stasiun gambir itu sejalan jadi kalau mau ke utara ya jalan menyusuri jalanan tadi, bukannya menyebrangi stasiun. Alhamdulillah hidayah datang wkwkwk.


Kami akhirnya memesan mobil onlen di pintu selatan setelah menyadari sebenarnya mobil yang ada di dekat pintu utara tinggal keluar lewat pintu selatan. Kami dipertemukan dengan sopir yang baik dan keren. Beliau memohon izin untuk sholat isya dulu sebelum memulai perjalanan. Wooow berkah mengingat Allah kali ya dapat driver baik dan taat sholat. Hehehee.

Begitulah kebodohan kami di hari pertama. Membuat panik Ifa sampai dia menelpon saya berkali-kali menanyakan kami dimana sementara kabar yang kami sampaikan selalu kami masih di Stasiun Gambir -___- Kami disambut ayam penyet super enak di kosan Ifa.

Ceritanya sampai di sini dulu. Hari kedua masih ada kebodohan yang lebih kocak.