Tulisan ini adalah reaksi atas sebuah
twit tentang paus yang mati karena menelan plastik. Entah sudah berapa kali saya melihat berita semacam ini. Selalu sama, makhluk laut menderita karena sampah-sampah manusia yang terbawa ke laut.
Tahukah sodara-sodara, di dunia ini masih banyak sekali orang yang membuang sampah sembarangan, khususnya ke sungai, termasuk saya. Sampah-sampah yang di darat dapat terseret ke perairan dan akhirnya mengalir menuju ke laut. Pernahkah kalian melihat pantai yang menerima sampah setiap kali ombak datang (paling ga lihat foto atau videonya)? Ironisnya, sampah-sampah itu dapat berakhir menganiaya makhluk tak bersalah karena entah tak sengaja masuk ke tubuhnya atau dikira makanan. Belum lagi, polusi tanah dan air yang ditimbulkan.
Setiap melihat berita semacam ini, saya jadi pengen belajar tentang persampahan: baik pengolahan maupun manajemennya. Di desa saya, belum ada manajemen persampahan. Tiap keluarga mengurus sampahnya sendiri-sendiri. Sepertinya di desa ini belum ada orang yang tahu bagaimana pengurusan sampah yang baik. Jadi, tak heran kalau sungai kami menjadi tempat sampah. Mulai dari pembuangan limbah usaha pengolahan ketela pohon hingga sampah padat, yang saya yakin isinya kebanyakan adalah popok bayi dan pembalut. Adanya bendungan di desa sebelah membuat airnya mandheg, menggenang saat musim kemarau. Sampah pun cuma berkumpul di sana. Membuat nyamuk semakin berjaya.
Logikanya, orang buang sampah sembarangan kemungkinan karena dua alasan: belum membudaya; kalaupun sudah sadar dan ingin memulai dari diri sendiri, sistem lingkungan yang ada belum mendukung niat tersebut.
Jujur saja, saya dan keluarga masih sangat sering membuang sampah sembarangan karena kami bingung bagaimana mengurus sampah-sampah “aneh”, seperti pecahan beling, baterai, logam, dan tentu saja popok bayi dan pembalut. Akhirnya gimana? Ampuni kami, Tuhan.
Makanya, saya pernah bermimpi untuk membantu desa saya dalam urusan persampahan ini biar kami ga bingung buang sampahnya, biar lebih manusiawi dan ramah lingkungan. Tapi saya belum punya baik ilmu maupun dananya hihi. Pernah sih ngide ngajakin teman-teman yang ngerti buat ngadain semacam pengabdian masyarakat dalam bidang ini, tapi … who am I? Cuma butiran debu yang bahkan masih belajar lagi gimana cara bersosialisasi. Kalau ada anak kuliahan yang baca ini, tolong ngidelah untuk bikin KKN mengusung tema ini, terutama kalau KKNnya di Pulau Jawa. Pulau Jawa terlalu penuh, jadi masalah sampahnya pasti banyak dan kompleks. Kalau pulau lain, mungkin ada bidang lain yang relatif lebih urgent.
***
Memecahkan masalah belum membudaya sebenarnya dapat dimulai dari diri sendiri. Marilah kita bertobat dan belajar nyampah pada tempatnya, Sodara-sodara. Coba deh lihat foto jalanan atau taman di negara maju, Jepang misalnya. Jalanan dan tamannya sebenarnya biasa saja tapi bersih menambah nilai keindahannya. Padahal di sana sangat jarang ada tempat sampah publik. Lantas bagaimana tamannya tetap indah?
“…it is a fact that people get used to carrying around used wrappers, receipts, and other pieces of trash until they can dispose of them properly --- Faktanya, orang-orang terbiasa membawa bungkus makanan, nota, dan sampah lainnya hingga mereka dapat membuangnya dengan semestinya.” ---jpninfo.com
Saya juga pernah baca di blog kakak tingkat yang sempat mengikuti pertukaran pelajar di Jepang. Usai dia dan teman-teman Jepangnya party, mereka langsung bergegas bersama membereskan sampah mereka sekaligus memilahnya sesuai peraturan persampahan mereka. Hayolooo di lingkungan kita bagaimana?
So guys, let’s start from ourselves. Mari membuang sampah di tempat yang semestinya. Kalau ga ada, mari dibawa pulang. Di rumah, pilah sampahnya dan berikan perlakuan sesuai jenisnya.
Sebagai pengakuan, pengurusan sampah di rumah saya masih sesimpel apa yang bisa dibakar, ya dibakar (ibu saya masih masak di tungku soalnya jadi bisa buat tambahan bahan bakar), kalau organik ya dibuang di kebon. Kalau aneh-aneh, ampuni kami, Tuhan. Kami belum tahu gimana mengurus sampah aneh-aneh itu.
***
Beberapa hari yang lalu, saya (sambil mandi) ngobrol sama ibu yang lagi masak.
“Ih, Bu, kemarin aku lewat jembatan Mondo. Airnya mambeg, lumuten, sampahe uakeh. Gimana ya biar orang-orang ga buang sampah ke sungai?”
“Ya petinggi desa harusnya ngasih tempat sampah gitu. Misal se-RT-nya Pak Sungeb nih, kasih satu super gedhe gitu, trus ada yang dikasih tugas ngangkut ke pengumpulan yang lebih gedhe.”
“Iya, ya. Kalau gitu jadi ga bingung buang sampah ke mana. Belum lagi nanti kalau dipilah sekalian dan dikasih jadwal buang sampah. Misal sampah plastik hari Senin, sampah kertas hari Rabu, sampah basah tiap hari.”
“Makanya kalau nanti jadi lurah bikinlah kayak gitu.”
WOW. Bahkan ibu saya juga memikirkan hal yang sama. Ibu saya 48 tahun, lulusan MTs. Berarti masalah persampahan ga peduli tingkat pendidikan (ya kecuali anak-anak ya, mereka masih harus dididik), ini tentang kepedulian dan kesadaran.
***