(Akan) Caw part 2 -- Kencan Ketiga dan Perpisahan

Menyambung postingan sebelumnya, saya kabarkan bahwa saya tidak diterima dalam rekrutmen tersebut. Hati saya kecewa. Padahal ibu saya punya feeling ini jalan yang terang. Karena itu, saya melihat beliau makin "menikmati" waktu yang tersisa bersama saya, melihat bagaimana beliau makin rajin mengurus saya, seperti menyiapkan bekal tiap pagi. Ada sisi positifnya sih saya ga diterima, saya jadi punya waktu lebih untuk diluangkan bersama keluarga. Orang tua saya tinggal satu, mau ke mana lagi saya mengabdikan diri kalau bukan di sini.

Pagi itu, Nur menghubungi saya untuk ngajak main. Saya tahu itu basa-basi saja sebenarnya tapi saya buat jadi serius. Setelah siang sepulang kerja mendinginkan hati di taman, malam itu saya dan Nur jadi kencan. Kencan ketiga. Kami memutuskan untuk bersepeda berdua PP GOR-SLG, total sekitar 22 km. It was a nice experience. Bersepeda di sini tak perlu seberjuang bersepeda di Bandung yang naik-turun tapi ga kelihatan. Saya pernah melakukan perjalanan bersepeda Ganesha-Soekarno Hatta, kira-kira jaraknya juga PP 20 km-an, saking capeknya muka saya kayak udang rebus setelahnya.



Kami memutuskan untuk duduk-duduk di taman saja. Banyak obrolan. Di kencan pertama, saya khawatir akan krik krik kalau cuma sama Nur. Eh ternyata kencan kedua dan kencan ketiga yang sama Nur doang ga krik krik tuh. Banyak obrolan menarik tentang kehidupan yang masing-masing pernah kami jalani. Obrolan yang cukup membuka mata saya melihat dunia. Saya sangat berterima kasih sama Nur sudah mau menemani saya menghibur hati kala itu.

Hari Senin karena pancingan dari saya, Astuti, teman dekat saya, mengabari bahwa dia sebenarnya juga mengikuti rekrutmen yang sama seperti saya hanya saja berbeda jalur. Dia dinyatakan diterima. Pagi itu, saya sadar perkataan film 3 Idiots benar adanya. "Kamu memang sedih saat tahu bahwa kamu gagal, tapi mengetahui kamu gagal dan temanmu berhasil itu lebih menyakitkan," kira-kira begitu kalimatnya. Memang dasarnya saya orang gampang iri jadi bukannya happy, saya malah nelangsa.

Kamis lalu, Astuti berangkat karena Sabtu dia harus sudah siap di venue acara. Menyadari Astuti akan pergi, entah kenapa saya sedih. Bukan lagi sedih karena dia lolos sementara saya tidak, lebih karena merasa kehilangan. Saya terlalu lama bersama Astuti. Meski jarang bertemu, kami cukup lama merasakan ditempa di tempat yang sama. Sejak MTs hingga kuliah. Lama kan? Dan kini dia akan memiliki dunia yang berbeda dengan saya. Rasanya mirip kayak akan berpisah dengan Aji dulu. Ada sedikit ketakutan karena setelah ini saya akan sendiri, akan berjuang sendirian. But I shouldn't kan? saya harus belajar berani menghadapi dunia yang fana ini.

Kamis sore saya datang ke stasiun untuk melepas kepergian Astuti. Kami belum menyempatkan bertemu sebelumnya jadi saya ingin bertemu meski sebentar. Rada lebay sih wkwk tapi daripada saya sedih terus karena merasa ditinggalkan kan mending saya ketemu orangnya untuk "melepas rindu" biar lebih mendingan. Saya, Astuti, dan pacarnya hanya berbincang sekitar 30 menit sambil menunggu kereta datang. Efek kafein dari Americano saat berbuka semakin membuat saya ndredeg akan ditinggal teman baik, akan sendiri. Pukul 18.40 kereta Astuti tiba. Dia beneran pergi. Tinggal saya dan pacarnya Astuti menunggu dan melihat hingga kereta berangkat. Good luck, Sistah!



Malam itu saya masih ndredeg hingga berjam-jam karena efek kafein Americano. Saya lampiaskan ndredeg dengan nyanyi dan goyang-goyang di rumah. Mbak saya sampek komen, "ada orang lagi agak ... "

Comments

Popular posts from this blog

Es Wawan