Menjadi Orang Tua
Pengalaman hidup merantau di kota, apalagi dalam ekosistem yang menantang secara tak sadar membuka mata, ruang pikir, dan mengajarkan saya melihat hidup dari perspektif yang berbeda. Sekitar dua bulan yang lalu saya boyongan ke kampung halaman. Memenuhi permintaan orang tua yang sudah sejak lama mengharapkan saya pulang. Pada akhirnya saya tahu, keinginan tersebut ternyata bukan sekadar karena "daripada membuang uang percuma". Ada skenario besar Tuhan di balik itu.
Menghadapi dunia pasca-kampus yang saya lalui di rumah, saya melihat beberapa pola pikir masyarakat tentang menjadi orang tua yang menurut saya salah. Tentu saja ini hanya pengamatan belaka. Tidak ada data komprehensif yang dapat dipertanggungjawabkan.
Yang pertama adalah tentang sekolah. Berdasarkan pengamatan amatir saya, semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh seseorang, niat orang tua bahkan anak yang mengalami sendiri semakin bergeser. Sekolah yang awalnya diniatkan untuk menuntut ilmu, agar sang anak mendapatkan pendidikan yang layak, bergeser menjadi untuk mendapatkan pekerjaan. Tanda pergeseran ini akan semakin tampak ketika anak sudah lulus sekolah dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Berbagai jenis ocehan dari berbagai pihak bermunculan dalam situasi ini. Entah hanya menyebutkan anak keluarga ini kerja di sini sekolahnya ini, atau terang-terangan menyatakan sindirannya. Padahal sekolah sudah sepatutnya diniatkan untuk menuntut ilmu agar anak mendapat pengetahuan tentang alam, dunia, dan agama.
Kedua tentang bekerja. Bekerja bukan hanya melulu tentang uang. Pandangan “kerja di sini dengan gaji sekian meski sedikit akan sama saja dengan kerja di sana dengan gaji besar” bisa jadi benar jika tolok ukurnya hanya hasil fisik. Tetapi hal ini akan berbeda ketika kita memasukkan aspek-aspek yang lain.
Bekerja melibatkan kepuasan hati. Adalah perlu untuk mempertimbangkan pekerjaan yang tidak mengandung mudharat, memberikan tantangan dan pengetahuan baru, dan memberikan kepuasan hati karena diberdayakan sesuai dengan kemampuan diri. Seperti yang dikatakan Bapak Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhannya, ada aktualisasi diri – kebutuhan manusia untuk mengerjakan sesuatu yang menantang keahliannya di sana. Di manapun tempat bekerjanya, apapun profesinya, dengan pemenuhan aktualisasi diri dapat membantu seseorang semakin bersemangat dan ikhlas dalam bekerja sehingga bekerja bukanlah tuntutan kebutuhan finansial semata. Tempat kerja seharusnya tidak dilihat sebagai ladang uang semata tetapi juga sebagai ladang amal dan ilmu. Dengan begini, saya yakin menjalankan tugas di tempat kerja menjadi lebih menyenangkan karena kita sudah jeli di awal dan menjalankannya bukan sebagai tuntutan.
Terakhir tentang mengasuh anak. Kahlil Gibran bertahun-tahun lalu sudah mengingatkan, Al Quran secara implisit juga menyebutkan bahwa anak adalah semata amanah dari Tuhan. Amanah yang bukan sembarang amanah. Amanah untuk mendidik anak menjadi orang yang beriman, baik, salih, dan berpengetahuan. Tidak pernah saya mendengar orang tua diminta untuk meminta balas jasa. Pola pikir pamrih ini malah memunculkan kasus “sekolah untuk bekerja dan membalas kebaikan orang tua”. Mungkin memang boleh mengharap balas jasa. Perjuangan orang tua memang sangat luar biasa. Tapi mengingat konteks awal anak hanyalah titipan dan amanah, apakah hal ini pantas (atau mungkin perlu)?
Tugas orang tua adalah membimbing dan mendidik anak. Jalan hidupnya seperti apa nantinya, hanya Allah yang tahu. Kita perlu membuka pikiran kita, bahwa anak bukanlah milik kita, bahwa anak adalah dirinya sendiri. Anak memang memerlukan orang tua sebagai pembimbing pertamanya, tapi anak punya jalan sendiri yang belum tentu sesuai dengan jalan yang kita mau untuknya. Pada akhirnya, jika didikan orang tua sudah baik, bukankah besar kemungkinan nanti anak akan tergerak sendiri hatinya untuk beneh?
Menghadapi dunia pasca-kampus yang saya lalui di rumah, saya melihat beberapa pola pikir masyarakat tentang menjadi orang tua yang menurut saya salah. Tentu saja ini hanya pengamatan belaka. Tidak ada data komprehensif yang dapat dipertanggungjawabkan.
Yang pertama adalah tentang sekolah. Berdasarkan pengamatan amatir saya, semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh seseorang, niat orang tua bahkan anak yang mengalami sendiri semakin bergeser. Sekolah yang awalnya diniatkan untuk menuntut ilmu, agar sang anak mendapatkan pendidikan yang layak, bergeser menjadi untuk mendapatkan pekerjaan. Tanda pergeseran ini akan semakin tampak ketika anak sudah lulus sekolah dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Berbagai jenis ocehan dari berbagai pihak bermunculan dalam situasi ini. Entah hanya menyebutkan anak keluarga ini kerja di sini sekolahnya ini, atau terang-terangan menyatakan sindirannya. Padahal sekolah sudah sepatutnya diniatkan untuk menuntut ilmu agar anak mendapat pengetahuan tentang alam, dunia, dan agama.
Kedua tentang bekerja. Bekerja bukan hanya melulu tentang uang. Pandangan “kerja di sini dengan gaji sekian meski sedikit akan sama saja dengan kerja di sana dengan gaji besar” bisa jadi benar jika tolok ukurnya hanya hasil fisik. Tetapi hal ini akan berbeda ketika kita memasukkan aspek-aspek yang lain.
Bekerja melibatkan kepuasan hati. Adalah perlu untuk mempertimbangkan pekerjaan yang tidak mengandung mudharat, memberikan tantangan dan pengetahuan baru, dan memberikan kepuasan hati karena diberdayakan sesuai dengan kemampuan diri. Seperti yang dikatakan Bapak Abraham Maslow dalam hirarki kebutuhannya, ada aktualisasi diri – kebutuhan manusia untuk mengerjakan sesuatu yang menantang keahliannya di sana. Di manapun tempat bekerjanya, apapun profesinya, dengan pemenuhan aktualisasi diri dapat membantu seseorang semakin bersemangat dan ikhlas dalam bekerja sehingga bekerja bukanlah tuntutan kebutuhan finansial semata. Tempat kerja seharusnya tidak dilihat sebagai ladang uang semata tetapi juga sebagai ladang amal dan ilmu. Dengan begini, saya yakin menjalankan tugas di tempat kerja menjadi lebih menyenangkan karena kita sudah jeli di awal dan menjalankannya bukan sebagai tuntutan.
Terakhir tentang mengasuh anak. Kahlil Gibran bertahun-tahun lalu sudah mengingatkan, Al Quran secara implisit juga menyebutkan bahwa anak adalah semata amanah dari Tuhan. Amanah yang bukan sembarang amanah. Amanah untuk mendidik anak menjadi orang yang beriman, baik, salih, dan berpengetahuan. Tidak pernah saya mendengar orang tua diminta untuk meminta balas jasa. Pola pikir pamrih ini malah memunculkan kasus “sekolah untuk bekerja dan membalas kebaikan orang tua”. Mungkin memang boleh mengharap balas jasa. Perjuangan orang tua memang sangat luar biasa. Tapi mengingat konteks awal anak hanyalah titipan dan amanah, apakah hal ini pantas (atau mungkin perlu)?
Tugas orang tua adalah membimbing dan mendidik anak. Jalan hidupnya seperti apa nantinya, hanya Allah yang tahu. Kita perlu membuka pikiran kita, bahwa anak bukanlah milik kita, bahwa anak adalah dirinya sendiri. Anak memang memerlukan orang tua sebagai pembimbing pertamanya, tapi anak punya jalan sendiri yang belum tentu sesuai dengan jalan yang kita mau untuknya. Pada akhirnya, jika didikan orang tua sudah baik, bukankah besar kemungkinan nanti anak akan tergerak sendiri hatinya untuk beneh?
Aku suka kalimat terakhir. Mantap!
ReplyDeletewah terima kasih, suy!
Delete