Jakarta Trip 3 - Part 1

Sebulan lebih saya hiatus menulis. Ternyata hiatusnya saya menyumbang kebosanan kepada salah seorang teman yang kehabisan bahan bacaan lantaran blog-blog-teman langganannya tak kunjung update. Hahah. Tak kusangka postingan saya dinanti.

Kali ini saya ingin bercerita tentang petualangan saya di Jakarta sebelum kembali ke kampung. Ini adalah ketiga kalinya saya mengunjungi Jakarta. Perjalanan saya didampingi oleh teman saya, Aji. Niat awal kami ke sana adalah mengikuti tes rekrutmen suatu perusahaan asal Korea Selatan tapi kalau dilihat itinerarynya, jalan-jalan memakan waktu paling banyak. Menariknya, perjalanan kami hampir selalu mengandung kebodohan di setiap harinya. Begini cerita kami …

Hari pertama
Kami berangkat pagi-pagi menuju Jakarta. Tiada rencana lain selain menelusuri Monumen Nasional hari itu. Setelah ngecas hp, makan bekal, dan sholat, kami pun keluar stasiun dan menelusuri jalanan mencari pintu masuk Monas. Kami melewati beberapa gedung putih yang sempat kami reka-reka sebagai Istana Presiden. Saya tak tahu wujud Istana Presiden sebenarnya seperti apa jadi saya percaya-percaya saja dengan Aji.

Menemukan jalan masuk menuju area Monas, saya excited sekali. Itu adalah kali pertama saya mengunjungi monumen yang sudah seperti Eiffelnya Prancis versi Indonesia. Tak ada yang istimewa. Hanya berfoto-foto ria. Monas ternyata ya begitu saja. Bagus. Kalau ingin tahu, datang saja ke sana. Haha

Sebenarnya perjalanan hari itu punya tantangan lebih karena kami pating bentheyot. Kami masih mencangklong tas ransel dan menjinjing tottebag. Semuanya penuh berisi pakaian, perbekalan, dan keperluan lainnya. Oleh karenanya, berjalan dan berdiri yang biasanya terasa biasa jadi terasa berat seiring menumpuknya lelah. Muka kami juga seperti udang rebus karena kepanasan efek kelelahan (bukan efek cuaca. Mendung kok. Hujan malah).

Hal yang menarik adalah bertemunya kami dengan seorang bule. Kami jadi merasa ‘dekat’ dengannya meskipun kami tidak saling ngobrol. Rasa sok dekat eh senasib --apapun lah--- ini ditrigger oleh si bule yang meniru kami leyeh-leyeh di tangga Monas. Sayang sekali ketika si bule yang saya duga orang Jerman itu pergi dan sempat terpeleset, saya cuma bilang “Be careful, Sir!” padahal saat itu adalah kesempatan emas kami untuk ngobrol dengannya. Setelah itu, kami menyesal kenapa tadi kami tak sok akrab saja soalnya si bule sendirian, kami khawatir dia bingung. Kami kan mungkin bisa bantu sikit-sikit. Alasan saja, padahal sini yang pengen dapat kesempatan ngobrol.


Kebodohan terjadi pascakunjungan Monas. Tujuan kami selanjutnya adalah kosan Ifa. Karena kami adalah orang-orang kere, kami memutuskan untuk naik Transjakarta saja karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan dengan sewa ojek onlen. Kami pun mencari halte terdekat yang memungkinkan untuk trayek ke kosan Ifa. Kami khilaf. Kami buta arah. Kalau saya sih tak mengerti peta waktu itu, mungkin efek capek. Mungkin kami seharusnya ke kanan setelah keluar dari monas tapi kami malah ke kiri atau sebenarnya kami telah melewati halte yang dimaksud tapi tak sadar. Pokoknya kami yang awalnya keluar Stasiun Gambir lewat pintu utara, tau-tau sudah ada di pintu selatan Stasiun Gambir. Kami akhirnya menyadari bahwa kami sudah mengelilingi monas dengan berjalan kaki membawa-bawa tas yang, dalam imajinasi saya, seperti palu yang menghunjamkan kami ke tanah. Capek? Banget, Coy.

Kami pun memutuskan pesan mobil onlen. Miskomunikasi dan efek lelah membuat pak supir marah dan meng-cancel pesanan. Kami sudah lelah. Kami bingung. Kami cuma berdiri di pinggir jalan tak tahu harus bagaimana karena semuanya terlihat kacau. Mau pesan ojek onlen, takut terpisah trus ada yang nyasar. Mau pesan mobil onlen, sudah macet, pasti lama. Mau naik TransJakarta, haltenya masih jauh.

Menurut analisis Aji, kebanyakan mobil onlen itu di parkir di dekat pintu utara dan ga mau ke pintu selatan. Dalam pikiran saya, Stasiun Gambir itu seperti Stasiun Bandung yang dua pintunya bersebarangan jadi kalau mobil dari utara mau jemput kami yang di selatan, harus keluar dan berputar mengitari monas. Maka, saya setuju kami menuju pintu utara dan mengusulkan menuju ke sana dengan menyebrang stasiun. Aji yang sudah tak bisa berpikir pun setuju.

Saat akan masuk stasiun,
“Kamu tau ga jalan buat nyebrang stasiun?”
“Engga.”
“Laaah kirain kamu tahu makanya kamu ngide gitu,” Aji murka.

Mungkin keruwetan tadi terjadi karena kedurhakaan kami mengabaikan panggilan Allah untuk sembahyang. Aji yang sudah bete akhirnya memutuskan kami sholat dulu saja di musholla stasiun. Ajaibnya, setelah sholat saya langsung teringat bahwa realitanya, pintu utara dan selatannya stasiun gambir itu sejalan jadi kalau mau ke utara ya jalan menyusuri jalanan tadi, bukannya menyebrangi stasiun. Alhamdulillah hidayah datang wkwkwk.


Kami akhirnya memesan mobil onlen di pintu selatan setelah menyadari sebenarnya mobil yang ada di dekat pintu utara tinggal keluar lewat pintu selatan. Kami dipertemukan dengan sopir yang baik dan keren. Beliau memohon izin untuk sholat isya dulu sebelum memulai perjalanan. Wooow berkah mengingat Allah kali ya dapat driver baik dan taat sholat. Hehehee.

Begitulah kebodohan kami di hari pertama. Membuat panik Ifa sampai dia menelpon saya berkali-kali menanyakan kami dimana sementara kabar yang kami sampaikan selalu kami masih di Stasiun Gambir -___- Kami disambut ayam penyet super enak di kosan Ifa.

Ceritanya sampai di sini dulu. Hari kedua masih ada kebodohan yang lebih kocak.

Comments

Popular posts from this blog

Es Wawan