Hujan

Hujan yang sepengetahuan saya membawa rahmat. (Seingat saya) Di Alqur'an juga dinyatakan hujan diturunkan dan kemudian akan dihidupkan daerah yang sudah mati, akan ditumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang darinya hewan dan kita (manusia) mendapat makanan.

Hujan yang diharapkan semua makhluk. Dari manusia-manusia korban asap hingga kaktus yang katanya tahan hidup di daerah jarang air pun juga tetap butuh hujan barang sedikit.

Hujan yang diharapkan oleh para petani di tengah kekeringan yang membuat retak tanah. Kekeringan yang membuat mereka membayar lebih untuk membayar pihak lain untuk mengairi sawah mereka. Kekeringan yang membuat ladang mereka terlihat kusam. Ya, petani bahagia ada hujan, termasuk keluarga saya.

Jika hujan sebegitu indahnya, kenapa hujan tidak sepanjang tahun? Karena ada rencana yang lebih indah untuk kita. Bagaimana kita akan menikmati musim yang beragam? Bagaimana kita bisa mensyukuri hujan jika kita mendapatkan hujan setiap tahun? Tuhan juga ingin kita punya struggle, tidak seenaknya sendiri.

Saya suka hujan. Dia mengaktivasi memori masa lampau. Banyak momen yang saya lalui dengan hujan.

Membawa saya kembali ke zaman dimana saya masih sekolah diniyah. Bahagia sekali saat itu. Tak jarang musim hujan saya pulang hujan-hujan. Naik sepeda butut saya. Setiap harinya, kresek adalah senjata andalan saya, untuk melindungi kitab (bukan kitab suci, tapi literally kitab secara arti dalam bahasa Arab) yang saya bawa. Rasanya menyenangkan bisa hujan-hujan. Sampai rumah langsung mengguyur si sepeda dengan air tawar agar air hujan yang asam tak berkontak lebih lama lagi dengan logam sepeda saya.

Terkadang juga membawa kembali memori tentang angkot sepulang sekolah MTs dengan segala cerita saat itu. Cerita yang konyol ketika saya melihatnya dari sudut pandang saya di usia segini wkwk.

Tapi dulu saya juga kurang suka hujan jika harus berurusan dengan sepatu, tapi saya tetap suka hujan. Jika boleh kompromi, saya ingin menikmati hujan atau suasana setelahnya tanpa harus membuat kaos kaki saya basah.

Hujan yang membawa kembali memori makan thiwul goreng bersama Ibu dan mbak.

Hujan dimana saya akan menemukan segerombolan cowo yang hujan-hujan sambil makan tebu curian dari ladang depan rumah saya. Makan tebu tanpa pakai pisau, arit, atau semacamnya. Saya saja sampai sekarang ga bisa membayangkan bagaimana bisa gigi mereka kuat untuk menghilangkan kulit tebu itu.

Hujan yang membuat saya galau apakah akan berangkat sekolah diniyah atau tidak.

Hujan yang memberikan aroma tanah yang menyegarkan. Hujan yang membuat kabut di sore hari dan juga keesokan harinya. Hujan yang membuat sawah-sawah terlihat hijau. Hujan yang membuat malamnya banyak suara kodok ngorek.

Dan sekarang saya sadar, saya sedang kangen rumah.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Es Wawan