Posts

Showing posts from 2020

Penutup Perjalanan ke Negeri yang Jauh

Postingan terakhir seri Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss ternyata cukup ngomporin mas-mas untuk nostalgia. Memang tanggal-tanggal ini adalah hari-hari bersejarah untuk kami berempat.

Tepat setahun lalu, kami sedang melakukan perjalanan ke Swiss. Menempuh penerbangan sekitar 18 jam termasuk transit 3 jam. Mulai dari 07 Desember 2019 pukul 00 GMT+7, hinggal 07 Desember 2019 sekitar pukul 12.00 GMT+1. Hari itu berarti kami punya 30 jam dalam sehari hihihi. Perjalanan yang penuh excitement.

***

Kali ini saya akan melanjutkan cerita perjalanan pulang. Kami tiba di bandara sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Masih ada waktu 4 jam hingga boarding. Kami berencana berkeliling terlebih dahulu.

Capek bawa-bawa. Nitip koper dulu.

Bandara Zürich menyediakan beberapa titik penitipan barang. Penitipan yang disediakan berupa loker otomatis. Titik terdekat yang kami temui ada di dekat Check-in 3: Loker SBB. 


Cara menggunakan loker ini dimulai dengan memilih loker mana yang mau kita gunakan. Loker yang dapat digunakan memiliki indikator warna hijau. Ada beberapa ukuran yang tersedia. Kami memilih loker ukuran XXL untuk menampung koper kami berempat. Alhamdulillah cukup.

Yang bisa digunakan adalah yang indikatornya hijau (kurang kelihatan sih ya)

Selanjutnya, tutup loker. Loker tsb kondisinya belum terkunci. Untuk menguncinya, kita harus membayar ke mesin pembayaran. Pilih nomor loker yang kita gunakan, masukkan uang yang harus dibayar atau gunakan kartu yang dapat diakomodasi seperti VISA, Mastercard, dll, maka pintu loker akan terkunci dan kita mendapatkan struk. Struk ini sekaligus menjadi kunci pembuka jika kita mau mengambil barang sebelum batas waktu habis.

Loker SBB berukuran XXL dikenai tarif 12 CHF untuk penyimpanan selama sekitar 6 jam. Setelah itu, kunci akan dikenakan tarif khusus. Loker akan terus terkunci hingga tagihan itu dibayar (saya ga paham sih bayarnya ke loket atau pas nge-scan struk keluar tagihan). Jika tidak kunjung diambil hingga 96 jam, petugas akan mengosongkan loker. Kemudian barang harus diambil di loket disertai pelunasan pembayaran.

Untuk membuka kunci sebelum 6 jam habis, struk yang didapat saat pembayaran tadi tinggal dipindai di mesin pembayaran.

Bayar dulu euy

Struknya jangan sampai hilang

Kesimpelan sistem ini bikin amazed. Kok saya ga kepikir sistem sesimpel itu sama sekali.


Keliling Bandara

Kami memutuskan berkeliling terlebih dahulu. Awalnya saya mau ngajak ke ETH Zurich atau keliling Kota Zurich naik tram. Tapi mas-mas lebih memilih mencari tambahan oleh-oleh lagi. Luar biasa kan betapa kami peduli akan teman-teman di Indonesia wkwk.

Tadi kami sudah sempat keluar bandara, sudah akan jalan kaki ke tempat yang diduga menyediakan oleh-oleh yang kami cari. Namun, keputusan kami jatuh pada eksplorasi yang di bandara semaksimal mungkin saja. Takutnya kalau di luar nanti kami kesusu-susu.

Suasana sore di depan bandara. Di depan bandara langsung bisa ditemui bus dan tram. Oh sungguh perencanaannya bagus sekali.


Tak lama setelah masuk lagi, sembari menunggu hasil pencarian lokasi dan perencanaan rute, di kejauhan kami melihat dua orang yang kami duga adalah orang Indonesia. Mereka terlihat menuju bandara.

Ternyata benar. Mereka orang Indonesia. Ibu dan anaknya. Bu Esti namanya. Beliau asalnya dari Nganjuk. Sungguh dekat. Kami lupa tidak menanyakan nama anaknya.

Foto bareng Bu Esti. Semoga Bu Esti dan keluarga sehat dan sejahtera selalu.

Bu Esti ini sudah lama tinggal di Swiss. Suaminya bekerja di sana. Anaknya pun sudah sejak kecil di Swiss. Waktu itu sudah sekolah setingkat SMP. Saya melihatnya ni bocah jadi terkesan keren gitu sih. Kan dia jadi harus menguasai banyak bahasa sejak kecil, minimal Bahasa Indonesia dan Bahasa Jerman. Tapi besar kemungkinan dia juga menguasai Bahasa Inggris, juga Bahasa Jawa. Kereeeen.

Setelah puas ngobrol, kami berpisah. Bu Esti dan anaknya mau jalan-jalan. Jalan-jalannya beliau memang sering ke bandara. Katanya jelas 24 jam buka. Kalau yang lain di luar fasilitas umum seperti bandara dan stasiun kan pas weekend biasanya tutup. Belanjanya beliau untuk sehari-hari juga di sini. Pantas saja di swalayan bandara ada yang jualan sayuran hahaha. 

Kami lanjut mencari swalayan yang diduga menyediakan apa yang kami cari. Kami menuju MIGROS.

Saya ga terlalu tertarik dengan oleh-oleh cokelat yang mainstream (ya meskipun beli juga sih wkwk). Di MIGROS saya dapat kalender, buku tulis, teh, dan mainan buat ponakan. Selebihnya saya beli kopi dan cokelat, urun dengan Mas Nugroho, sebagai oleh-oleh untuk teman-teman kantor.

Setelah itu, kami mengambil koper. Karena dirasa cukup, kami menukarkan sisa uang saku kami. Biar ga jajan lagi.

Ternyata ada satu lagi tempat yang perlu kami kunjungi: Toko Edelweiss. Kabarnya di sana menjual pernak-pernik. Sebenarnya ingin ke sana karena ada titipan yang belum didapat. 

Ternyata benar. Di sana saya mendapatkan gantungan kunci yang dicari di manapun sejak kemarin-kemarin tidak ketemu. Ada juga pisau lipat yang katanya khas Swiss, magnet kulkas, dll. Harganya memang epik hahaha tapi bagus.

Karena uang sudah ditukar (yang saya kira) semuanya (nyatanya ternyata ketinggalan 20 CHF belum ditukar), akhirnya saya menggunakan kartu debit Jenius untuk membayar di Edelweiss. Praktis. Mas-mas komen, "Kok ga dari kemarin bilang punya Jenius sih. Tau gitu ga usah tuker-tuker duit dan jatuhnya "hilang" cukup banyak kan."

Hahaha. Memang transaksi pakai debit Jenius tidak dipungut biaya admin meski di luar negeri asalkan melayani kartu VISA. Kalau yang lain kan biasanya kena biaya admin (setau saya 20rb rupiah per transaksi), akhirnya opsinya pakai kartu kredit. Kursnya Jenius pun sesuai dengan kurs saat itu. Jadi ga perlu tuker2 uang yang biasanya dipotong untuk jasa penukarannya. Kalau ke luar negeri, pakai Jenius ini asik sih. Yah promosi.

Semua sudah didapat. Tinggal check in dan santai menunggu. Kami sholat di pesawat saja biar ga pekewuh.

Untuk makan malam, kami hendak mengandalkan makanan berat di pesawat 😂 Oleh karenanya, kami mengganjal perut dengan waffle yang saya beli di MIGROS tadi. Isinya 4, pas masing-masing satu. Dipadu dengan madu yang dibawa Mas Kridanto, rasanya mantap.

Rasanya badan capek sekali. Pagi-pagi belajar, langsung lanjut perjalanan dan berkeliling jauh. Kantuk mendera. Sambil menunggu, saya pamitan ke Pak Ferry. Kami bertemu di Bandara Zurich saat kami tiba di Swiss. Senang sekali saya didoakan suatu saat mendapatkan kesempatan belajar di Swiss lagi. Semoga Pak Ferry dan keluarga senantiasa diberikan kesehatan dan kesejahteraan.

"InsyaAllah lain waktu semoga ada kesempatan lagi belajar di Swiss".
Waktu chatnya sudah ganti jadi waktu Indonesia wkwk. Selisih 6 jam, jadi saat itu 18 Des 2019, pukul 21.00 waktu setempat. Ternyata flight-nya 21.55 ya 😅 Lupa


Terima kasih, Allah. Atas kesempatan dan segala kebaikan yang sudah diberi. Semoga membawa manfaat bagi kami berempat dan orang-orang di sekitar kami, bahkan kalau bisa seluruh umat manusia. Hihihi. Semoga pengalaman itu menambah syukur kami.

Saatnya pergi. Tidak dapat tempat duduk di samping jendela.

***
Singkat cerita, perjalanan kami selanjutnya naik maskapai Emirates lagi. Transit di Dubai sekitar 3 jam. Lalu lanjut ke Indonesia. Total 18 jam perjalanan. Kami tiba di Indonesia sekitar pukul 22.00. Kalau dianggap pukul 21.55-00.00 berjalan normal, maka 19 Desember 2019 kami ada 16 jam + 2 jam menuju 00.00. Kami hanya punya 18 jam pada 19 Desember 2019 😬

Leren dhisik ning Dubai, Bosque

Semakin bersemangat untuk pulang. Tak dapat tempat duduk samping jendela lagi.

Demikian cerita perjalanan kami. Setibanya di Jakarta, setelah menaruh barang-barang di mess, kami mencari makan malam. Kelaparan. Akhirnya cerita perjalanan ini selesai ditulis tepat pada tanggal yang sama dengan keberangkatan kami dulu. 

Sudah setahun. Petualangan 10 hari yang menyenangkan dan tak terlupakan. Alhamdulillah.

Akhirnya makan ada daging ayamnya meski sedikit 😆 Sudah ganti hari. 20 Desember 2020, 00.30. Obrolan tentang Swiss masih sangat hangat.



Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Hari terakhir

Pelatihan saya dan mas-mas sebenarnya dijadwalkan berakhir pada hari Selasa, 17 Desember 2019. Namun, sungguh waktu pelatihan yang hanya seminggu dengan materi yang padat merayap, ditambah memang kami benar-benar datang dengan tanpa background sama sekali membuat kepala kami overflow. Kami perlu waktu tambahan.

Oleh karenanya, hari Rabunya, yang harusnya kami bisa main-main karena flight masih pukul 21.00, kami meminta kolega kami merelakan setengah hari mereka sebagai waktu tambahan mengajari kami. Baik sekali mereka mau. Itu pun kami masih dikasih makan siang yang lezat: masakan Amanda yang dikhususkan untuk kami karena yang lain menunya pakai daging sedangkan kami ga mau makan daging sana 😁

Sejak Selasa malam, saya sudah merasakan perasaan yang tidak bisa saya deskripsikan. Rasanya sangat mirip dengan saat akan meninggalkan Bandung. Ada rasa tak ingin pergi. Kali ini, hanya saya yang emosional seperti ini. Mas-mas begitu bahagia akan pulang.

Pagi-pagi, saya mengambil beberapa gambar sudut-sudut yang saya ingin kenang. Yang paling utama adalah halaman parkir dan rumah yang terlihat dari balkon kamar. Suasana berangkat kerja juga rasanya ... aha sepertinya saya ingat nama rasanya ... sendu.

Obrolan dalam Bahasa Jerman dari halaman parkir yang terdengar sampai balkon kamar bikin tempat ini kesannya spesial di hati

Saya membayangkan bisa say hi sama penghuni rumah itu 😅

Sarapan terakhir di Swiss kala itu. Terpaksa pakai meja yang tidak biasanya karena yang biasanya sedang digunakan orang lain 😶

Perjalanan menuju tempat pelatihan pada hari terakhir. Sendu.

Setengah hari belajar, setelah makan kami diantar Mas Schwab ke hotel untuk mengambil barang untuk kemudian dia mengantar kami mencari oleh-oleh sebentar. Tempat membeli oleh-oleh di sana yang direkomendasikan oleh Mas Schwab adalah Kambly. Di sana dijual berbagai jenis snack ala Swiss. Saya sendiri membeli Bretzeli, sejenis biskuit yang seingat saya ada rasa jahenya. Selain itu, saya juga beli cokelat dan pernak-pernik (tentu saja keduanya tidak dibeli di Kambly) yang sebagian urunan dengan mas-mas sebagai oleh-oleh untuk teman-teman kantor.

Biskuit di pojok itu adalah Bretzeli. Oleh-oleh favorit saya.

Masih bersama Mas Schwab, kami diantar hingga Stasiun Lyss. Agak terburu-buru karena kami tiba mepet jadwal keberangkatan. Kami berpamitan dengan Mas Schwab dengan singkat. Ditutup dengan janji Mas Schwab untuk mengunjungi Indonesia.

Sambil menggeret-geret koper, kami lari-lari menuju kereta. Sempat berpapasan dan menyapa seorang penjaga toko di convenience store stasiun, kalau tidak salah namanya Ahmad, dari Afghanistan. Kami kenalan beberapa hari yang lalu saat kami ke tokonya mencari oleh-oleh. 

Kereta kami berangkat sekitar pukul 14.00. Akan menempuh perjalanan kira-kira 3 jam menuju Zürich tapi transit di Bern dulu. Rasanya masih sendu. 

Kota ini, bahkan negaranya begitu ramah. Dulu saya disambut di negara ini dengan senyum dari petugas imigrasi yang kalau di tempat lain garangnya minta ampun. Selain itu diperlakukan dengan baik pula oleh orang-orang sana. Ya sempet kena sengak sih: oleh sopir bus dan petugas ticketing and information kereta di bandara tapi kesan besarnya, kota ini adem ayem kalem dan romantis. Apalagi di Swiss lingkungannya bersih dan bentang alamnya bagus banget (meski ga jalan-jalan jauh tapi kan kayak Grindelwald, Eiger gitu bagus banget. Lyss aja udah rapi apik gitu 😊). Gampang banget bikin betah.

Saya ingin mengingat betapa selimut menyelamatkan diri dari dinginnya malam setelah heater mati. Heater di sana dimatikan setelah tengah malam. Mungkin asumsinya orang-orang sudah di bawah selimut jadi dimatikan saja.

Selimut penyelamat. Ke Swiss bawa 'Pergi' nya Tere Liye. Baru berapa hari udah habis dibaca.

Juga ingin mengingat berangkat ke tempat training serasa masih subuh. Tak lupa hiasan-hiasan suasana menjelang Natal. Natal sepertinya begitu meriah di sana. Pun betapa ramahnya kolega kami, lezatnya masakan Amanda, salju lebat hari Jumat, serunya berpetualang bersama mas-mas yang rasa-rasanya membuat pertemanan kami menjadi lebih lekat.

Persimpangan jalan dekat hotel, 18 Des 2019, 07:55:59 am

Meriahnya Natal menghadirkan ditebang dan dijualnya pohon sejenis spruce untuk pohon natal. (Potongan) Pohon yang tingginya mungkin tidak lebih dari 1,5 meter ini harganya lebih dari 1 juta rupiah.

Perjalanan kereta saat itu menjadi momen terakhir yang patut dikenang. Suasana hening dalam kereta yang terkadang diselingi suara obrolan - yang terdengar hangat - dalam Bahasa Jerman terkenang dengan apik. Suara kereta yang terdengar di peron stasiun juga demikian ngangenin.

Belakangan saya sering nonton video dari channel Youtube yang kreatornya tinggal di Swiss. Tiap melihat landscape-nya, saya diterpa rindu. Teriring doa, Ya Allah saya ingin ke sana lagi, semoga ada kesempatan ke sana lagi.

***

Sampai sini, kami sudah meninggalkan Lyss maka ga pas kalau cerita selanjutnya masih bertajuk hal yang sama. Jadi seri Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss saya hentikan di sini.

Kali aja ada yang mau langsung nge-link ke tulisan Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss lainnya, saya persilakan dengan senang hati.

Penginapan

Makanan

الثلج

Itinerary

Aarberg und Biel

Bern Bagian 1

Bern Bagian 2

Wow! termasuk postingan ini ada 8 bagian dari Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss. Semoga bermanfaat dan menghibur 😁

Tentang Bersepeda hingga Rekor Baru Bersepeda ke Kresek

Belakangan hobi sepedaan menjamur di masyarakat, lebih tepatnya sejak Corona Virus memandemikan diri. Mungkin karena isolasi, WFH, dan penutupan banyak tempat umum yang terjadi membuat orang mencari alternatif hiburan. Sepeda memang menawarkan hiburan menyegarkan dengan membantu kita jalan-jalan namun menambah value olah raga untuk mengompensasi kebosanan dan kurangnya gerak karena isolasi dan teman-temannya. Jangkauannya pun lebih besar daripada lari yang mungkin 5 km saja sudah bikin ngos-ngosan.

Harga sepeda belakangan ini melonjak. Wajar saja. Permintaan naik, suplai tetap, di sinilah kelangkaan terjadi. Harga pun naik. Hukum ekonomi. Halah sotoy.

Saya sendiri sebenarnya sudah suka bersepeda sejak kecil. Hanya saja karena sarana dan kesempatannya tidak ada, tersingkirlah kegiatan bersepeda itu. Pada akhirnya saya lebih banyak jalan kaki terutama di rantau. Sampai sekarang juga begitu. Makanya kalau ada kesempatan bersepeda, saya senang karena akhirnya saya bisa jalan-jalan lebih jauh dari biasanya.

Ehm btw permisi saya mau nyinyir. Gara-gara hobi sepedaan yang menjamur ini, saya jadi penasaran. Ini orang-orang suka sepedaan simply karena lagi ngehits atau memang murni kebutuhan ya? Trus kenapa orang-orang tidak menerapkan sepedaan ini dalam kehidupan sehari-hari juga? Kenapa sepedaannya harus dikhususkan agenda bersepeda saja? Kenapa ga kerja pakai sepeda, ke pasar pakai sepeda, ke mall pakai sepeda, dsb? Jadi sekalian ubah lifestyle gitu. Bukan sepedaan karena momen aja. Tapi saya sendiri sepedaan masih kalau ada momen aja sih 😁 Kan belum punya sepeda wkwk. Dasar Nala tukang nyinyir.

Mohon maaf saya nyinyir begitu, soalnya saya agak menyayangkan -- terutama bagi diri sendiri -- jika melakukan sesuatu cuma karena ikut-ikutan, cuma karena lagi ngehits. Padahal sebenernya ga salah juga sih mengikuti tren, daripada ga sama sekali kan.

Selama di Madiun ini, beberapa kali saya dipinjami sepeda bu kos. Bukan saya yang inisiatif pinjam, tapi malah saya disuruh pakai sepeda beliau. Hihihi.

Semoga Nala bisa punya sepeda. Amin

Rekor terjauh sampai saat ini saya capai seminggu yang lalu bersama teman baru saya, namanya Septian. Kami bersepeda mulai dari Pahlawan Street Center yang lebih dikenal dengan 'Madiunboro' hingga Monumen Kresek. 

***

Minggu lalu, pagi-pagi saya berangkat ke Pahlawan Street Center. Akhirnya keinginan saya untuk duduk-duduk sendirian di 'taman' itu tercapai. Selama ini selalu urung karena ramai euy. Terima kasih pada Septian yang membantu merealisasikan keinginan ini. Hahaha.

Sekitar pukul 06.15, taman ini masih cukup sepi-tapi-ramai yet asik

Tunggu ditunggu, akhirnya Septian datang juga. Kami duduk-duduk santai dulu, Septian istirahat. Dia tadi harus bersepeda sekitar 15 km menuju lokasi janjian kami untuk selanjutnya masih harus bersepeda nun jauh ke Monumen Kresek. Luar biasa.

Perjalanan kami dimulai sekitar pukul 07.00. Pelan-pelan kami mengarungi jalanan. Perjalanan mulai menantang saat sudah keluar Kota Madiun. Jalanan mulai menanjak. Saya tidak kaget karena sebelumnya saya pernah melewati jalanan ini tapi hanya sampai Pasar Dungus kemudian langsung balik kanan pulang. Serunya, jalanan ini jauh lebih segar dibandingkan di Kota Madiun. Banyak bagian perjalanan dimana kita bisa melihat sawah di kanan-kiri. Beberapa kali kami berpapasan dengan pesepeda lain yang turun. Septian santai saja say hi dengan mereka. Rupanya di antara pesepeda ada 'persaudaraan' tersendiri. Yah sayang sekali sepanjang jalan ini tidak terdokumentasi.

'Pendakian' kali ini rasanya berbeda. Jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan kesempatan sebelumnya dimana saya bersepeda sendiri. Bisa jadi karena saya sudah pernah mengalami perjalanan itu, bisa jadi karena ada teman sehingga perhatian atas lelah teralihkan.

Melewati Pasar Dungus, rekor saya sebelumnya, drama terjadi. Ban sepeda Septian bocor. Kami putar balik. Sepeda Septian ini road bike yang lebar dan ukuran valve bannya kecil. Cukup sulit menemukan tempat yang bisa menambal ban sepeda Septian ini. Beruntung di area Pasar Dungus kami menemukan bapak tambal ban yang bisa dan mau membantu. Lumayaaan sekalian kami leren. Namun, masalahnya adalah pompa yang dipunya si bapak ga bekerja dengan baik. Akhirnya setelah ditambal, kami cari-cari lagi tempat untuk mompa. Alhamdulillah ketemu.

Pelajaran dari kejadian ini: bawalah ban serep dan pompa mini jika sepedamu tidak lumrah bagi masyarakat sekitar wkwkwk.

Dia tergeletak tak berdaya menghadapi dunia. Dokter sedang berjuang menyelamatkan nyawanya. Kami menunggu-nunggu, mengharapkan dokter keluar dan mengatakan, "Operasinya berhasil." Halah apaan sih, Nal. 


Kelanjutan perjalanan kami tidak begitu lama. Monumen Kresek memang dekat dari Pasar Dungus. Hanya saja, kami harus melewati Tanjakan Putus Asa terlebih dahulu. Puas rasanya bisa melewatinya. Semoga saja kaki Septian baik-baik saja.

Tibalah kami di Monumen Kresek. Ramai. Ada banyak sepeda terparkir di sana. Banyak mobil juga. Sebenarnya ada apa di dalam sana?

Sebelum berkeliling lebih jauh, kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Pecel dan teh panas menjadi pilihan kami. Sepertinya cukup lama kami menyantap makanan sambil ngobrol ngalor-ngidul yang kebanyakan ngomongin pengalaman di kerjaan masing-masing. Di sini Septian juga bilang sebelumnya dia belum pemanasan dan hari itu dia langsung menempuh jarak yang jauh. Saya bingung. Antara kasihan dan salut (tapi lebih banyak salutnya) sama ni orang. Dia memang sudah biasa bersepeda jarak jauh sih tapi kalau selama 3 bulan ga bersepeda trus ujug-ujug sepedaan jauh kan bisa kaget juga badannya.

Obrolan ngalor-ngidul kami hentikan sementara karena kami berniat masuk ke Monumen Kresek. Sepeda kami titipkan ke pemilik warung.

Kami masuk melalui pintu selatan. Spot pertama yang menyambut kami adalah patung (?) orang-orang mati beserta tembok bertuliskan daftar para korban kekerasan PKI di Desa Kresek. Sejujurnya, saya kurang pengetahuan tentang peristiwa PKI ini. Kenapa bisa ada, bagaimana sepak terjangnya, pemusnahannya bagaimana, saya belum tahu atau mungkin simply saya lupa. Yang menjadi pertanyaan saya selanjutnya adalah mengapa kejadian menyedihkan yang melibatkan kekerasan kepada manusia malah dimonumenkan?


Sederhana saja isi Monumen Kresek. Setelah spot tadi, ada semacam pendopo yang ternyata dulu adalah markas PKI. Di sana saya membayangkan beberapa orang duduk berkumpul merundingkan aksi mereka. Pendopo itu menjadi saksi bisu betapa akal dan nafsu manusia bisa terjerumus begitu dalam, terlalu dalam, terlalu gelap hingga nyawa manusia seperti tiada artinya.

Selain itu, ada juga patung 'ekseskusi' yang dibawahnya ada "air terjun" buatan. Karena fokus tulisan ini adalah kegiatan bersepeda ke Monumen Kresek, saya tidak akan membahas banyak tentang tempat ini. Biar foto-foto saja yang bercerita.

Patung 'eksekusi' yang saya bilang tadi. Di sisi kiri Septian ada air terjun buatan.

In more detail



View dari samping patung 'eksekusi'. Saya tidak mengerti makna patung-patung itu. 

Ada seorang guru dan banyak muridnya sedang membuat video. Mungkin untuk kenang-kenangan sebelum berpisah.

Usai berkeliling, kami menjemput sepeda, berpamitan pada ibu pemilik warung, dan beranjak pulang. Perjalanan pulang sangat menyenangkan. Karena saat berangkat kami sudah menanjak, maka pulangnya kami banyak santainya. Hingga terjadi 'BAM!!!' Saya nyenggol seorang pejalan kaki. Beruntung tidak terjadi injury yang serius. Si bapak yang saya senggol insyaAllah aman. Alhamdulillah anak yang digendongnya tidak jatuh. Cuma saya yang jatuh. Saya cuma merasa lecet sedikit di lutut. Ditambah ternyata ada memar di betis yang sampai sekarang belum kunjung hilang. Selain itu, I am totally fine. 

Gara-gara ini saya minta Septian untuk di depan saja. Usai jatuh, masih ada Tanjakan Putus Asa yang lebih berat dari sebelumnya. Karena Septian nuntun, saya ikutan deh wkwk. Ga tau kalau saya lanjut mancal apakah akan kuat atau tidak. Selepas itu, barulah perjalanan kami benar-benar bahagia. Tiada tanjakan. Yang ada hanya turunan.

Eta teh Septian. Sepedanya da kenceng pisan.

Septian yang di depan ini membuat saya menyadari perbedaan sepeda gunung dan road bike (Bahasa Indonesianya apa sih?). Saat perlu mengayuh, Septian terlihat santai sekali mengayuh namun dia lebih cepat daripada saya meski frekuensi ngayuh saya lebih tinggi dikit. Padahal kayaknya ga mungkin Septian pakai gir yang levelnya lebih tinggi dari yang saya gunakan saat itu. Setelah saya lihat lebih dekat, ternyata gir sepedanya Septian lebih banyak, Coy. Pantes. Bisa aja kan bagi sepeda Septian ada beberapa gir di antara gir selevel yang sedang kupakai hingga level berikutnya di sepedaku (eh sepeda bu kos wkwk). Selain itu, road bike kan memang didesain biar rolling resistance di pavement nya kecil. Bisa jadi bukan hanya efek gir. 

Seperti biasa, perjalanan kembali selalu terasa cepat. Tiba-tiba saja kami sudah tiba di Kota Madiun. Kami berpisah di gang Jalan Nias. Sepedaan kami ditutup dengan toss. Septian masih harus lanjut sekitar 15 km lagi menuju rumahnya. Semangat, qaqaa. Alhamdulillah kabarnya Septian cuma cenat-cenut malam harinya. Esoknya dia sudah kembali fit.

Demikian cerita rekor baru sepedaan 35 km saya. Mungkin saya perlu nulis tentang rekor baru bersepeda selanjutnya atau tentang lari atau home workout

Perjalanan saya 35 km. Septian sendiri menempuh 70 km. Luar biasa. Sungkem.


Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Bern - Bagian 2

Tidak banyak yang bisa dinikmati di taman bermain kurang lampu di samping katedral. Hanya pemandangan di seberang dan bawah sana, serta beberapa "wahana" bermain yang tidak kami manfaatkan. Kami melanjutkan perjalanan menelusuri jalur hijau berikut.

Kami mengambil jalan di sisi kiri Katedral Bern. Lurus dari sana akan ditemui gedung parlemen dan pelatarannya. Sebenarnya bukan murni pelataran yang kemudian terkesan seperti area eksklusif milik gedung parlemen gitu. Memang itu masih area gedung parlemen, namun digunakan sebagai public space. Banyak kegiatan yang digelar di sana. Menurut hasil googling sih acara yang digelar diantaranya air mancur saat summer, light show, bahkan traditional market serta area ski saat winter. Saat itu, saya kira sedang ada acara apa gitu di pelataran ini ternyata ... karena kami datang di awal musim dingin, itulah area ski umum yang saya sebutkan tadi. WOW menyadari hal ini baru saat saya menuliskannya, membuat hati senang sekali. Senang sekali ternyata saya menyaksikan sebuah acara spesial tahunan, atau lebih tepatnya hanya lokasi dan persiapannya wkwk.

Saya dan mas-mas sempat mengabadikan foto bersama yang selanjutnya menjadi icon grup kami: Lyss - Bernstrasse.

Icon grup Lyss - Bernstrasse

Gedung Parlemen tampak depan, dan area ski yang disiapkan

Serunya, Gedung Parlemen Bern boleh dijadikan wisata. Waktu itu, dari depan memang tampak cukup sepi. Namun, setelah kami mencoba mlipir ke belakang, ternyata ada banyak orang: beberapa kelompok tur. Kebanyakan anak sekolah. Ingin sih masuk ke gedung ini, melihat arsitektur bangunannya tapi tidak ada agenda itu dalam perjalanan ini. 

Bagian belakang gedung berbatasan langsung dengan pagar tembok setinggi pinggang. Setelahnya sudah area yang lebih rendah. Dari sini, kami bisa melihat sungai Aare yang merupakan sungai terpanjang di Swiss. Saat summer, orang-orang biasa berenang di sungai itu. Budayanya asik ya. Sungainya bersih sih. Ga butek lagi. Di Indonesia sungainya bisa gitu ga ya? Bersih sih bisa asalkan manusianya mau menjaga. Tapi kalau bening, apakah bisa? Bisa aja kan profil tanahnya memang larut dalam air jadi warnanya cokelat.

Pemandangan dari belakang gedung parlemen

Bening mantap begini sungainya 😀 sumber: bern.com

Kalau dilihat dari gambar di situsnya Bern kok kelihatan asik gitu sih acara berenang di sungai ini. Bayangin deh siang-siang gitu main di sungai. Di pinggirannya ada banyak pohon rindang. Abis main-main air nanti makan-makan di bawah pohon. Wenaaaaaaaak.

OK lanjut.

Tepat di sisi barat dari sisi belakang gedung parlemen merupakan taman area sayap barat. Area ini masih termasuk area gedung parlemen. Sayap barat dan timur gedung parlemen digunakan sebagai rumah dinas beberapa anggota pemerintahan. Di taman ini terdapat miniatur lanskap area gedung parlemen. Ada juga tempat-tempat duduk yang saat itu beberapa diantaranya diduduki oleh pengunjung.

Rasa-rasanya area pemerintahan yang dijadikan ruang publik begini memberikan kesan ramah. Mendekatkan para pemangku jabatan dan orang-orang yang ditanggung olehnya. Ga tau sih dalam praktiknya di sana sebenernya kesannya gimana. Tadi kan cuma kesan saya sebagai orang yang belum pernah main dengan santainya ke area pemerintahan kecuali balai desa.

Miniatur area gedung parlemen

Kami bergegas. Rupanya spot acara jalan-jalan kami hampir berakhir. Tinggal satu spot terakhir: Christmast Market. Seperti yang sudah pernah saya kabarkan sebelumnya, di Swiss ada tradisi pasar malam dalam rangka menyambut hari natal. Tidak kalah dengan pasar malam menjelang idul fitri di Indonesia.

Pasar yang kami tuju di adakan di sebuah taman bernama Kleine Schanze di sisi barat area gedung parlemen. Di sana ramai sekali. Lebih banyak orang menjual makanan di sini. Kalau di spot pasar yang kami sempat mampir sebelumnya (tapi saya lupa posisinya di mana) lebih banyak dijual suvenir.

Di pasar natal Kleine Schanze ini lah kami berjumpa dengan Caesar dan Bärtschriger. Mereka masing-masing sudah membawa secangkir minuman. Mungkin wedang jahe wkwk. Kemudian kami bersama-sama mengelilingi pasar malam itu (cangkir masih dibawa-bawa, diminum-minum sambil jalan). Kami tidak membeli apa-apa karena memang tujuan kami hanya menikmati suasana di sana. Lagian kami juga mau makan di tempat lain.

Menyenangkan sekali mengelilingi taman berpasar malam itu. Hiasan lampu di mana-mana. Orang-orang duduk-duduk dan ngobrol bersama. Ada yang bergerombol, ada juga yang berpasangan. Kalau saya lihat-lihat, orang-orang Swiss sweet sekali mengekspresikan romansanya. Ga jarang kalau pas di balkon kamar hotel saya melihat pasangan bapak-ibu yang jalan bersama gandengan tangan atau si bapak merangkul si ibu. Kayaknya kesan sweet ini lebih karena mereka sudah cukup tua tapi tetep rukun adem ayem sweet gitu deh. Kalau kesan ke anak mudanya ga ada wkwk.

Salah satu kios di pasar malam yang bentuknya unik

Gedung parlemen terlihat dari pasar malam natal di Kleine Schanze

Setelah selesai berkeliling dan cangkir dikembalikan, kami beranjak menuju lokasi makan sambil menahan hajat buang air (kecuali Caesar dan Bärtschriger) haha. Saya lupa rute menuju lokasi makan dan malas mencari ulang. Makanya saya kasih garis lompat di peta perjalanan kami 😅

Tempat makan yang kami tuju namanya Swing Kitchen. Resto ini memberikan menu vegan. Gaya hidup vegan memang cukup ngehits belakangan ini makanya ada-ada saja resto vegan di kota ini. Di Indonesia mungkin veganism belum populer. Sejauh ini, hanya satu resto vegan yang saya tahu: Kehidupan Tidak Pernah Berakhir di Bandung. Itu pun saya belum pernah nyobain wkwk. 

Menu utama di Swing Kitchen adalah burger. Burger vegan lebih tepatnya. Kami pesan burger, kentang goreng, dan minuman. Porsinya gede banget. Saya aja sampe ga kuat ngabisin kentang gorengnya. Biasanya saya kan bisa habis porsi banyak kalau memang yang disediakan demikian (kalau ambil sendiri, ambilnya -menurut saya- dikit hihihi).

Swing Kitchen berada di bagian sebuah gedung besar jadi toiletnya ya ikut toilet gedung besar itu. Sepertinya jadi satu dengan bioskop di sebelahnya. Lokasi toiletnya agak mbulet. Karena saya cewe sendiri, saya di toilet sendiri, baliknya pun sendiri. Saya bingung baliknya gimana. Saya tersesat wkwk. Untung si Mas Schwab peka. Dia nyusul nyariin saya, mengabaikan komentar Caesar, "Masa ke toilet aja baliknya nyasar." Saya ditemukan Mas Schwab di dekat dapurnya Swing Kitchen. Nyatanya setelah Caesar ke toilet, sekembalinya dia bilang, "Ternyata bener. Jalan ke toiletnya agak mbingungin." Nah kaaaaaan.

Di tengah menunggu pesanan, de Lara tiba. Rupanya dia diizinkan istrinya untuk hang out 😁 Lengkap sudah personil yang in charge malam itu. Kami makan bersama. Sambil makan, ada selentingan obrolan tentang anak Mas Ervani yang pada akhirnya berujung pada sindiran dari Caesar ke salah satu dari lainnya. 

Caesar    : "Ervani umur segini udah nikah nih. Udah punya anak dua lagi. Lu seumuran dia kok belum?"
Dirahasiakan    : "Eumm aku belum pengen nikah sih. Nikah tu nambah tanggung jawab dan rada ribet."

Obrolan berlanjut hingga kami usai makan. De Lara, Schwab, Bärtschriger, dan Caesar berkata mereka masih merasa lapar. Kurang puas karena tadi isinya sayuran saja, ga ada protein hewaninya. Sementara kami berempat: saya, Mas Nugroho, Mas Kridanto, Mas Ervani sudah kekenyangan.

Burger vegan, kentang goreng, dan minumannya Mas Nugroho dan Mas Kridanto

Dari kiri: Mas Schwab, De Lara, Saya, Mas Nugroho, Mas Kridanto, Mas Ervani, Bärtschriger, dan Caesar

Merasa cukup, kami keluar resto dan berjalan bersama ke timur hingga perempatan. Di sana kami berpisah dengan De Lara dan Caesar. Kami berenam sisanya memutuskan untuk pulang saja meski saya masih pengen banget jalan-jalan. Saya belum capek tapi Seiler besok sudah menunggu dengan materi (yang seharusnya) hari terakhir.

Kami berjalan lurus ke utara menuju lokasi parkir di area Universitas Bern. Bärtschriger juga parkir di sana. Kami berempat pulang bersama Bärtschriger karena dia "ngekos" di deket kantor jadi deket sama hotel kami sementara rumah Mas Schwab lumayan jauh.

Malam itu menyenangkan sekali. Mengeksplor tempat baru, melihat berbagai hal baru, apalagi bersama teman-teman yang beberapa juga baru. 

Tinggal dua hari kami di Swiss. Semakin dekat dengan jadwal pulang. Semakin dekat dengan perpisahan. Tulisan ini pun begitu. Sepertinya tinggal cerita terakhir tentang hari-hari terakhir dan perjalanan pulang (yang bisa saja lebih dari satu postingan wkwk) dan seri ini akan tutup buku. 

Sampai jumpa.

Teruntuk Bapak: Tentang Adik dan Hal Lainnya

 Assalamu'alaikum, Bapak. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmatnya kepada kita semua. 

Bapak, tiba-tiba di tengah waktu menuju tidur ini aku teringat padamu.

Sungguh waktu berjalan begitu cepat, Pak. Sudah hampir 3 tahun Bapak berpindah. Waktu itu, adik ada di semester terakhirnya di sekolah. Saat ini, rasanya seperti tiba-tiba, dia sudah di tahun terakhir di sekolah lagi, akan memasuki semester terakhirnya lagi. Persis seperti dulu.

Dulu saat Bapak pergi, dia masih bocah. Badannya masih kecil: kurus dan masih lebih tinggi aku. Suaranya masih cempreng. Sekarang badannya masih kurus, tapi dia sudah lebih tinggi dariku. Suaranya sudah membesar. Anak bungsumu sudah remaja, Pak. Dia sedang dalam masa awal menuju dewasa. Namun, sering aku melihatnya, menganggapnya, memperlakukannya seperti dia masih bocah. Lupa bahwa dia sudah remaja.

Dulu ketika melihat anak-anak lain menghabiskan waktu bersama bapaknya, sering aku berkata dalam hati, "Mereka mungkin orangtuanya masih lengkap. Mereka masih punya pembimbing yang utuh. Mereka punya pengawal lengkap dalam jalan mereka menuju dewasa. Mereka masih punya role model nyata dalam keseharian mereka. Lantas bagaimana dengan adikku?" Jika aku saja menjerit demikian dalam hati, apalagi adik yang mengalaminya sendiri?

Sudah sejak kelas 4 adik terbiasa tidak seperti teman-temannya. Mungkin teman-temannya sering diajak orang tuanya sekadar jalan-jalan melepaskan penat. Namun, di usia itu dia sudah harus membiasakan diri untuk tidak merasakannya. Dia harus membiasakan diri dengan segala keterbatasan yang ada, dengan segala keadaan yang ada. Anakmu hebat, Pak.

Insyaallah adik menjadi anak yang kuat, Pak.
Insyaallah adik akan menjadi anak yang beneh dan soleh. Anak yang barokah.

Cucumu yang saat ini satu-satunya, Bapak, sudah mulai bersekolah. Dulu setiap sore Bapak senang sekali mengajak dia jalan-jalan naik motor. Motor yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan fisik Bapak. Cepat sekali waktu berlalu kan?

Ibu dan mbak rasa-rasanya semakin menjadi wanita kuat. Terbiasa dengan apa-apa sendiri. Mereka tertular hobiku, Pak. Mereka jadi sering baca buku. Mungkin eman juga melihat begitu banyak buku di rumah hehehee.

Aku sendiri, Pak, banyak hal yang kulalui. Banyak jatuh bangun yang kualami dalam tiga tahun ini. Kurasa, aku secara tak sadar meng-overcome ketakutan dan masalah pribadiku masa kuliah dulu. Aku sudah banyak berubah, Pak. Menurutku kebanyakan perubahan yang positif.

Aku mulai memasuki masa dimana nikah adalah obrolan yang banyak digaungkan orang sekitar. Ah nantinya suamiku akan sama sepertimu, Pak. Tak berkesempatan bertemu fisik secara langsung dengan mertuanya. Tak apa. Memang sudah dibuat begitu kan.

Kami masih berjuang, Pak. Untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Untuk menjadi keluarga yang lebih baik lagi. Mohon restu dan doamu. Semoga Allah senantiasa membimbing kami. Bukan hanya jalan kami menuju tujuan, tapi sejak menentukan tujuan pun semoga Allah selalu membimbing kami. Sehingga kami selalu ada di jalan yang baik. Sehingga kami bisa menjadi salah satu jalan barokah bagi Bapak di sana. 

Wassalaamu 'alaikum.

Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Bern - Bagian 1

Sebelum ini di seri Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss saya cerita tentang main ke Aarberg dan Biel/Bienne pada hari Sabtu, 14 Desember 2019. Hari Minggunya, saya, Mas Ervani, Mas Nugroho, dan Mas Kridanto ga ke mana-mana. Saya sendiri bangun kesiangan. Sebuah pertanda betah di sana eheheee. Saya pengen ngajak mas-mas jalan-jalan sekalian beli oleh-oleh tapi ga tau mau ke mana. Sebenernya yang paling feasible adalah ke Bern tapi kami sudah janjian sama Mas Schwab untuk ke Bern bersama pada Senin malam. Akhirnya kami hanya jalan-jalan di dekat-dekat hotel saja. Mengeksplor tempat yang belum kami kunjungi. Kami melewati jalanan perumahan. Sepi sekali di sana. 

Boys day out. Eh kalau gitu saya katut disebut boys dong?

Senin seusai pelajaran, Mas Schwab hendak menepati janji mengajak kami makan bersama di Bern. Waktu itu, secara jadwal, pelajaran usai pukul 17.00 waktu setempat (waktu itu molor sih wkwk) sementara maghrib menjelang pukul 16.47 waktu setempat jadi praktis kami izin sholat maghrib dulu sebelum caw.

Agenda utama kami adalah makan malam bersama di sebuah restoran vegan. Mereka baik banget loh. Ngajakinnya langsung ke tempat yang kami pasti bisa makan. That's so mindful of them. Sebelum berangkat, terjadi percakapan yang kurang lebih begini ...

"Do you guys like walking?" Tanya Mas Schwab,

"For me, yes," jawab saya

"I mean for a long distance."

"I usually walk even for quite far distance. I don't know about them hehe."

Kami mengendarai mobil sambil mendengarkan lagu-lagu Swiss yang enak juga di kuping. Disopiri oleh Mas Schwab. Masih sama Mas Schwab saja. Baertschriger dan Caesar mau nonton dulu. Nanti kami akan ketemu di Bern. Sementara Manrique de Lara belum tentu bisa menyusul. Kalau istrinya ngebolehin, dia akan nyusul, demikian kata Mas Schwab. Wah jokes-nya de Lara, "Been married for a year already ... and still in love", benar adanya hihihi.

Bern, berjarak sekitar 27 km dari Lyss, merupakan salah satu kota besar yang terkenal di Swiss. Bern sendiri sebenarnya merupakan nama salah satu dari 23 Canton di Swiss, sementara kota Bern adalah pusatnya Canton of Bern ini. Canton bisa kita analogikan sebagai provinsi di Indonesia. 

Bern merupakan salah satu kanton besar di Swiss. Kanton yang terkenal ada Zürich, Bern, Luzern, Basel, Lausanne, Geneva. Kebanyakan terkenal karena kawasan wisatanya. Sumber: about.ch

Perjalanan kami melewati jalan tol. Di Swiss, tidak ada gerbang pembayaran tol. Pengguna jalan tol diwajibkan membayar pajak sekitar 40 Francs per tahun untuk dengan bebas menggunakan jalan tol. Sebenernya kalau belum bayar dan lewat kan ga ada yang tau ya. Haha. Keren sih. Either sistem pembayarannya yang diatur dengan baik biar orang-orangnya pasti bayar atau memang mental citizen-nya yang taat aturan. Lagian 40 Francs atau sekitar 600 ribu rupiah untuk setahun sangat murah ga sih? Apalagi kalau memang sering pakai jalan tol.

Tiba di Bern, saya sibuk melihat kota. Bern sangat berbeda dengan Lyss. Ramai di sana-sini. Orang-orang jalan, lari, olahraga, naik mobil, naik bus banyak sekali di sana. Kami diajak Mas Schwab melewati area Universitas Bern yang ternyata adalah tempat Mas Schwab menempuh studi master Biomedical Engineering. Keren 😸

Setelah parkir di tempat yang saya kira di depannya lokasi makan, ternyata kami masih harus jalan. Inilah rencana yang saya tidak tahu-menahu. Mas Schwab mau ajak kami jalan-jalan terlebih dahulu.

Dari lokasi parkir, kami berjalan menuju area yang tampak seperti atap suatu gedung. Saya sendiri saat itu belum tahu di mana saya berada. Di sana ada banyak tempat duduk. Banyak muda-mudi. Ada yang sendiri, ada yang berpasangan, ada yang bergerombol. Ada yang ngobrol santai, ada yang belajar (eh ada ga ya?), ada yang ciuman ... yang kemudian membuat Mas Nugroho sama Mas Erv heboh 😒 Saya yang masih bocah kok malah biasa aja. Semacam udah maklum gitu. Ya kan ini di sini, bukan di Indonesia. Budayanya beda. Menurut saya yang disayangkan adalah dengan begitu mereka jadi mengumumkan sesuatu yang privat. 

Dari atap itu, kami bisa melihat jalur kereta dan tentunya sekaligus kereta yang lewat. Pada malam itu dan di tempat itulah saya mendapat penjelasan tentang Kereta BLS dari Mas Schwab (disebut di petualangan ke Aarberg dan Biel) .

Kereta yang lewat terlihat dari sisi atap yang kami singgahi

Perjalanan kami lanjutkan beberapa langkah menuju sebuah gedung yang ternyata adalah main bulding-nya Universitas Bern. Barulah saya tahu ternyata area yang kami datangi adalah area Universitas Bern. Tadi dibilang lewat Universitas Bern tapi saya ga tau kalau ternyata kami berhenti di area dalam kampus. Duh Mas Schwab pinter banget sih milihin tempat. Bikin saya pengen jadi anak sekolah lagi kan.

Kami masuk ke dalam gedung tersebut. Salah satu hal menakjubkan dari negara-negara Eropa Barat adalah bangunannya yang bagus. Bukan yang modern dan futuristik gitu namun klasik nan keren. Mungkin karena jarang lihat tipe bangunan seperti itu jadi bangunan di sana yang biasa aja pun bagi saya bagus. Tapi bangunan Universitas Bern ini beneran bagus. Saya yakin itu bukan tipe bangunan yang biasa saja bagi orang sana.

BTW saya jadi penasaran bagaimana orang-orang sana menjaga bangunan-bangunan bersejarahnya biar tetep bagus. Hmmm kayaknya ada studinya sendiri deh, Nal. Ada kan jurusan yang belajar heritage gitu. Kayak Mbak Diana alumni PSTK '08 itu lho. Dulu Arsitektur ITB, selanjutnya belajar tentang heritage di London.

Kami menjelajah hingga lantai paling atas. Ada banyak lukisan, baik di dinding maupun atap. Kesannya jadi kayak museum yang saya lihat di film The Da Vinci Code. 

Bangunan Universitas Bern yang kami masuki tampak dari luar

Lukisan di atap. Nglukisnya gimana? Apakah itu sebenarnya adalah ceiling-paper?

Boys time. Kali ini bareng Mas Schwab.

Di depan gedung itu ada area berumput. Kata Mas Schwab, mahasiswa biasanya siang-siang gitu duduk-duduk di sana. Wah seru ya! Goleran di atas rumput untuk melepas penat. Apalagi kalau malem-malem pas padang bulan, goleran di sana, melihat langit, bulan, dan bintang. Pasti yahud.

Perjalanan kami lanjut ke area yang lebih banyak tempat duduknya. Di sana lebih banyak manusianya. Ada pohon besar di tengah area berlantai kayu di sisi selatan. Dari sana, kami bisa melihat banyak bus. Rupanya di bawah sana adalah halte bus.

Beginilah kira-kira posisi persinggahan kami di sekitar Bern Uni

Di spot pertama tadi terlihat jalur kereta yang cabangnya banyak, pasti di bawah adalah stasiun. Di sisi ini, di bawah sana ada halte bus. Keduanya sangat dekat dengan universitas. Betapa desainnya sangat memudahkan anak sekolah. Tapi sebenernya saya curiga alasan kedekatan ini lebih dikarenakan peluang wisata dibandingkan alasan kemudahan akses pendidikan. Hehehe.

Selanjutnya kami diajak ke elevator terdekat untuk turun. Rupanya elevator tadi menuju area stasiun bawah tanah. Ramai sekali di bawah sana. Jalannya Mas Schwab cepet banget lagi, sejujurnya saya takut ilang wkwk. Saya tidak bisa menjelaskan banyak tentang area bawah tanah ini. Saya buta. Yang saya tahu area itu adalah tempat orang bertukar transportasi, mempertemukan kereta dan bus (dan tram yang saya ketahui kemudian) makanya ramenya super sekali. Apalagi Stasiun Bern adalah stasiun besar. Di sana banyak sekali pertokoan, dari minimarket sampai yang menjual fashion bermerek.

Tiba-tiba saja kami sudah di atas tanah. Tram-tram merah menyambut kami. Rupanya kami muncul di stasiun tram. Seumur hidup, itulah pertama kali saya secara langsung melihat tram selain prototipe tram berbasis baterainya tempat kerja. Mas-mas yang sudah lama bergelut dengan dunia perkeretaapian langsung tersedot perhatiannya. Mereka beranjak memfoto-foto tram. Ya meski ada latar belakang titipan dari atasan buat eksplor tram di sana sih haha.

Tram di area Stasiun Bern.

Kami sempat terpencar saking excited-nya. Kalau saja kami tidak lagi sama Mas Schwab yang sudah menyiapkan rencana, mungkin kami akan nyoba naik tram itu. Jauh di dalam lubuk hati, ingin sekali naik tram itu. Semoga selanjutnya kami punya kesempatan naik tram di negara maju biar bisa jadi referensi kali aja terlibat kalau Indonesia bikin tram (ah elaaaaah lebay). Aamiin. Hihi.

Dari stasiun tram ini, Mas Schwab sempat menawari apakah kami mau masuk gereja. Ada gereja di dekat stasiun tram tadi yang arsitektur dan interiornya bagus. Saya sudah lama ingin tahu suasana dalam gereja seperti apa. Namun, sayang sekali gerejanya sudah tutup. Kami melanjutkan perjalanan.

Dari stasiun tram, kami berjalan lurus ke timur. Di sana masih dilalui jalur tram. Kami berkali-kali berjumpa dengan tram merah-hitam berbagai trek. Berkali-kali juga excitement mas-mas terpacu. Lurus di ujung jalan yang kami lalui, terdapat perempatan yang tepat di sisi depan kami ada bangunan jam (clock tower). Saya akan menyebutnya Jam Gadang 1.

Melihat clock tower seperti ini, saya jadi berpikir bahwa pembuat jam tangan adalah pahlawan yang nyata. Dalam imajinasi saya, saking pentingnya mengetahui waktu, dulu orang-orang membangun clock tower agar orang-orang punya penanda yang seragam dan dapat digunakan bersama. Dibangun demikian karena mungkin dulu belum ada jam yang bisa dibawa-bawa ke mana-mana. Sekarang manusia sudah punya jam tangan yang memudahkan mereka melihat waktu kapanpun dan di manapun. Terlihat kan sisi pahlawannya pembuat jam di mana. Mereka berjasa membuka kemudahan akses kepada penanda waktu yang katanya adalah uang. Malah jam tangan saat ini sekaligus menjadi aksesori fashion yang cukup elit bahkan belakangan dilengkapi dengan berbagai fitur teknologi cerdas. Betapa berjasanya para pembuat jam tangan untuk peradaban manusia. Mereka juga berjasa menggeser fungsi clock tower menjadi hal estetik semata, menjadi bukti peradaban penting manusia. Setelah ini, saya harap setiap melihat clock tower pembaca tulisan ini teringat betapa hebat perjalanan yang sudah dilalui umat manusia untuk mengetahui dan menandai waktu sampai di titik ini. Berujung pada betapa hebat Tuhan mendesain kecerdasan sehingga peradaban sedemikian rupa bisa tercipta. 

OK. Let's get back. Selanjutnya kami mengambil jalan lurus melewati Jam Gadang 1. Kami mengambil beberapa foto di ruas jalanan ini. Di sana ada air mancur setiap beberapa meter. Dilengkapi dengan pilar tinggi dan di atasnya ada patung yang tidak saya kenali. Menurut saya itu patung hero. Sayang sekali patung Saitama ga ada di sana hehehe.

Pada setiap tiang berpatung itu ada air mancur di bagian bawahnya.

Foto lompat adalah jalan ninja kami

Masih lurus ke timur kami melanjutkan perjalanan. Bangunan-bangunan klasik dikombinasikan dengan tram berseliweran dan riuh orang lewat menyegarkan mata dan pikiran. Harus fokus jalan di area begini agar tidak menghalangi jalan tram. Kalau ditabrak kan ga lucu.

Di ujung jalan, ada Jam Gadang 2 yang kalau di maps disebut Zytglogge. Kali ini lebih besar dibandingkan sebelumnya. Kalau saya tidak salah ingat, di Jam Gadang 2 ini Mas Schwab mengatakan bahwa tidak menyalahi hukum untuk kencing di sana (di dalam bangunan Jam Gadang 2). I was ... trus kenapa kalau orang boleh kencing di sana? atau maksudnya boleh kencing sembarangan di sana? pesing dong.

Zytglogge: Jam Gadang 2

Mas-mas yang penasaran pun mengiyakan ajakan Mas Schwab meski ragu. Saya menunggu di luar. Telapak kaki hingga Ankle mereka sebenernya kelihatan sih dari luar. Saya pengen ngefoto kaki mereka yang cuma kelihatan dikit itu tapi ga jadi. Mereka keburu keluar. Ga jadi pipis di sana. Kenapa? tanya aja sendiri ye. Kata Mas Nugroho di sana ada tempat buat pipis kok. Jadi bukan pipis sembarangan yang merusak keindahan fasilitas yang dinikmati baik oleh mata maupun hidung.

Di terowongannya Jam Gadang 2 ini ada alat-alat ukur yang dipajang. Sebenarnya yang dipamerkan utamanya adalah satuannya. Menunjukkan satuan-satuan yang digunakan orang zaman dulu di sana.

Salah satu satuan yang digunakan di Swiss zaman dulu adalah SchweizerFuss (ga nemu hurufnya 😔 kayaknya dibaca Shwaiserfuss, artinya Fuss Swiss)

Dari Jam Gadang 2, kami belok kanan ke selatan untuk kemudian belok kiri ke timur lagi. Di belokan ke timur ini ada perpustakaan. Dibilang begitu, saya langsung tertarik. Mas-mas pun bilang (yang anggap saja begini), "She likes library so much. She loves books."

"Yah sayang sekali sekarang kamu ga bisa mampir sekarang, Nala. Sudah tutup. " Demikian komentar Mas Schwab.

Katanya sih ini perpustakaan. Ga tau ya kalau saya salah tangkep.

Kami lanjut ke timur. Tak jauh dari sana, kami menemukan barak-barak. Rupanya ada pasar kaget. Di Swiss ada tradisi Christmast Market, pasar malam berhari-hari sebelum natal. Ga kalah sama pasar malam menjelang Idul Fitri. Sebenarnya kami sempat mampir melihat-lihat pasar natal di spot lain sebelum tiba di sini tapi saya lupa di sebelah mana jadi saya lewat deh ceritanya. Keramaian pasar natal yang ini ada di depan gereja. Gereja ini lebih besar dibandingkan gereja yang hampir kami masuki di dekat stasiun tram tadi. Ya jelas lebih besar, Nal -_- Ini levelnya sudah bukan gereja lagi. Ini katedral. Katedral Bern namanya.

Katedral dengan kemeriahan pasar natal di depannya

Karena kami tidak bisa masuk (sudah tutup), kami lanjut melipir ke selatan katedral dan berjalan menuju taman. Namanya Taman Münsterplattform. Di sana hanya ada sedikit manusia. Mungkin karena taman ini kurang lampu jadi orang enggan untuk ke sana. Taman ini merupakan taman bermain. Ada beberapa wahana bermain untuk anak seperti kuda-kudaan yang sempat saya naiki sebentar. Sebenarnya ingin main lebih lama tapi malu. Di sana juga ada tugu yang ada termometer Reamur dan Celcius nya. Ga tau sih kenapa dipasang di sana. Mungkinkah untuk anak-anak belajar tentang konversi satuan temperatur?



Di spot ini juga terlihat jaring-jaring di bawah sana yang kata Mas Schwab gunanya biar orang ga bisa bunuh diri di sana. Ga tau bercanda atau engga tapi kalau beneran kok ya bunuh diri di taman bermain sih, dekat tempat ibadah pula.

Dari taman bermain yang gelap ini, kami beranjak kembali ke pinggiran katedral dan mengambil jalan lurus ... 

Kok sudah panjang begini ceritanya. Saya bagi dua saja ya cerita di Bern ini. Sejauh ini, kita sudah menghabiskan perjalanan di jalur kuning. Selebihnya mari diceritakan di sesi selanjutnya. 

Wassalamu'alaikum.