Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Bern - Bagian 1
Sebelum ini di seri Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss saya cerita tentang main ke Aarberg dan Biel/Bienne pada hari Sabtu, 14 Desember 2019. Hari Minggunya, saya, Mas Ervani, Mas Nugroho, dan Mas Kridanto ga ke mana-mana. Saya sendiri bangun kesiangan. Sebuah pertanda betah di sana eheheee. Saya pengen ngajak mas-mas jalan-jalan sekalian beli oleh-oleh tapi ga tau mau ke mana. Sebenernya yang paling feasible adalah ke Bern tapi kami sudah janjian sama Mas Schwab untuk ke Bern bersama pada Senin malam. Akhirnya kami hanya jalan-jalan di dekat-dekat hotel saja. Mengeksplor tempat yang belum kami kunjungi. Kami melewati jalanan perumahan. Sepi sekali di sana.
Boys day out. Eh kalau gitu saya katut disebut boys dong? |
Senin seusai pelajaran, Mas Schwab hendak menepati janji mengajak kami makan bersama di Bern. Waktu itu, secara jadwal, pelajaran usai pukul 17.00 waktu setempat (waktu itu molor sih wkwk) sementara maghrib menjelang pukul 16.47 waktu setempat jadi praktis kami izin sholat maghrib dulu sebelum caw.
Agenda utama kami adalah makan malam bersama di sebuah restoran vegan. Mereka baik banget loh. Ngajakinnya langsung ke tempat yang kami pasti bisa makan. That's so mindful of them. Sebelum berangkat, terjadi percakapan yang kurang lebih begini ...
"Do you guys like walking?" Tanya Mas Schwab,
"For me, yes," jawab saya
"I mean for a long distance."
"I usually walk even for quite far distance. I don't know about them hehe."
Kami mengendarai mobil sambil mendengarkan lagu-lagu Swiss yang enak juga di kuping. Disopiri oleh Mas Schwab. Masih sama Mas Schwab saja. Baertschriger dan Caesar mau nonton dulu. Nanti kami akan ketemu di Bern. Sementara Manrique de Lara belum tentu bisa menyusul. Kalau istrinya ngebolehin, dia akan nyusul, demikian kata Mas Schwab. Wah jokes-nya de Lara, "Been married for a year already ... and still in love", benar adanya hihihi.
Bern, berjarak sekitar 27 km dari Lyss, merupakan salah satu kota besar yang terkenal di Swiss. Bern sendiri sebenarnya merupakan nama salah satu dari 23 Canton di Swiss, sementara kota Bern adalah pusatnya Canton of Bern ini. Canton bisa kita analogikan sebagai provinsi di Indonesia.
Bern merupakan salah satu kanton besar di Swiss. Kanton yang terkenal ada Zürich, Bern, Luzern, Basel, Lausanne, Geneva. Kebanyakan terkenal karena kawasan wisatanya. Sumber: about.ch |
Perjalanan kami melewati jalan tol. Di Swiss, tidak ada gerbang pembayaran tol. Pengguna jalan tol diwajibkan membayar pajak sekitar 40 Francs per tahun untuk dengan bebas menggunakan jalan tol. Sebenernya kalau belum bayar dan lewat kan ga ada yang tau ya. Haha. Keren sih. Either sistem pembayarannya yang diatur dengan baik biar orang-orangnya pasti bayar atau memang mental citizen-nya yang taat aturan. Lagian 40 Francs atau sekitar 600 ribu rupiah untuk setahun sangat murah ga sih? Apalagi kalau memang sering pakai jalan tol.
Tiba di Bern, saya sibuk melihat kota. Bern sangat berbeda dengan Lyss. Ramai di sana-sini. Orang-orang jalan, lari, olahraga, naik mobil, naik bus banyak sekali di sana. Kami diajak Mas Schwab melewati area Universitas Bern yang ternyata adalah tempat Mas Schwab menempuh studi master Biomedical Engineering. Keren 😸
Setelah parkir di tempat yang saya kira di depannya lokasi makan, ternyata kami masih harus jalan. Inilah rencana yang saya tidak tahu-menahu. Mas Schwab mau ajak kami jalan-jalan terlebih dahulu.
Dari lokasi parkir, kami berjalan menuju area yang tampak seperti atap suatu gedung. Saya sendiri saat itu belum tahu di mana saya berada. Di sana ada banyak tempat duduk. Banyak muda-mudi. Ada yang sendiri, ada yang berpasangan, ada yang bergerombol. Ada yang ngobrol santai, ada yang belajar (eh ada ga ya?), ada yang ciuman ... yang kemudian membuat Mas Nugroho sama Mas Erv heboh 😒 Saya yang masih bocah kok malah biasa aja. Semacam udah maklum gitu. Ya kan ini di sini, bukan di Indonesia. Budayanya beda. Menurut saya yang disayangkan adalah dengan begitu mereka jadi mengumumkan sesuatu yang privat.
Dari atap itu, kami bisa melihat jalur kereta dan tentunya sekaligus kereta yang lewat. Pada malam itu dan di tempat itulah saya mendapat penjelasan tentang Kereta BLS dari Mas Schwab (disebut di petualangan ke Aarberg dan Biel) .
Kereta yang lewat terlihat dari sisi atap yang kami singgahi |
Perjalanan kami lanjutkan beberapa langkah menuju sebuah gedung yang ternyata adalah main bulding-nya Universitas Bern. Barulah saya tahu ternyata area yang kami datangi adalah area Universitas Bern. Tadi dibilang lewat Universitas Bern tapi saya ga tau kalau ternyata kami berhenti di area dalam kampus. Duh Mas Schwab pinter banget sih milihin tempat. Bikin saya pengen jadi anak sekolah lagi kan.
Kami masuk ke dalam gedung tersebut. Salah satu hal menakjubkan dari negara-negara Eropa Barat adalah bangunannya yang bagus. Bukan yang modern dan futuristik gitu namun klasik nan keren. Mungkin karena jarang lihat tipe bangunan seperti itu jadi bangunan di sana yang biasa aja pun bagi saya bagus. Tapi bangunan Universitas Bern ini beneran bagus. Saya yakin itu bukan tipe bangunan yang biasa saja bagi orang sana.
BTW saya jadi penasaran bagaimana orang-orang sana menjaga bangunan-bangunan bersejarahnya biar tetep bagus. Hmmm kayaknya ada studinya sendiri deh, Nal. Ada kan jurusan yang belajar heritage gitu. Kayak Mbak Diana alumni PSTK '08 itu lho. Dulu Arsitektur ITB, selanjutnya belajar tentang heritage di London.
Kami menjelajah hingga lantai paling atas. Ada banyak lukisan, baik di dinding maupun atap. Kesannya jadi kayak museum yang saya lihat di film The Da Vinci Code.
Bangunan Universitas Bern yang kami masuki tampak dari luar |
Lukisan di atap. Nglukisnya gimana? Apakah itu sebenarnya adalah ceiling-paper? |
Boys time. Kali ini bareng Mas Schwab. |
Di depan gedung itu ada area berumput. Kata Mas Schwab, mahasiswa biasanya siang-siang gitu duduk-duduk di sana. Wah seru ya! Goleran di atas rumput untuk melepas penat. Apalagi kalau malem-malem pas padang bulan, goleran di sana, melihat langit, bulan, dan bintang. Pasti yahud.
Perjalanan kami lanjut ke area yang lebih banyak tempat duduknya. Di sana lebih banyak manusianya. Ada pohon besar di tengah area berlantai kayu di sisi selatan. Dari sana, kami bisa melihat banyak bus. Rupanya di bawah sana adalah halte bus.
Beginilah kira-kira posisi persinggahan kami di sekitar Bern Uni |
Di spot pertama tadi terlihat jalur kereta yang cabangnya banyak, pasti di bawah adalah stasiun. Di sisi ini, di bawah sana ada halte bus. Keduanya sangat dekat dengan universitas. Betapa desainnya sangat memudahkan anak sekolah. Tapi sebenernya saya curiga alasan kedekatan ini lebih dikarenakan peluang wisata dibandingkan alasan kemudahan akses pendidikan. Hehehe.
Selanjutnya kami diajak ke elevator terdekat untuk turun. Rupanya elevator tadi menuju area stasiun bawah tanah. Ramai sekali di bawah sana. Jalannya Mas Schwab cepet banget lagi, sejujurnya saya takut ilang wkwk. Saya tidak bisa menjelaskan banyak tentang area bawah tanah ini. Saya buta. Yang saya tahu area itu adalah tempat orang bertukar transportasi, mempertemukan kereta dan bus (dan tram yang saya ketahui kemudian) makanya ramenya super sekali. Apalagi Stasiun Bern adalah stasiun besar. Di sana banyak sekali pertokoan, dari minimarket sampai yang menjual fashion bermerek.
Tiba-tiba saja kami sudah di atas tanah. Tram-tram merah menyambut kami. Rupanya kami muncul di stasiun tram. Seumur hidup, itulah pertama kali saya secara langsung melihat tram selain prototipe tram berbasis baterainya tempat kerja. Mas-mas yang sudah lama bergelut dengan dunia perkeretaapian langsung tersedot perhatiannya. Mereka beranjak memfoto-foto tram. Ya meski ada latar belakang titipan dari atasan buat eksplor tram di sana sih haha.
Tram di area Stasiun Bern. |
Kami sempat terpencar saking excited-nya. Kalau saja kami tidak lagi sama Mas Schwab yang sudah menyiapkan rencana, mungkin kami akan nyoba naik tram itu. Jauh di dalam lubuk hati, ingin sekali naik tram itu. Semoga selanjutnya kami punya kesempatan naik tram di negara maju biar bisa jadi referensi kali aja terlibat kalau Indonesia bikin tram (ah elaaaaah lebay). Aamiin. Hihi.
Dari stasiun tram ini, Mas Schwab sempat menawari apakah kami mau masuk gereja. Ada gereja di dekat stasiun tram tadi yang arsitektur dan interiornya bagus. Saya sudah lama ingin tahu suasana dalam gereja seperti apa. Namun, sayang sekali gerejanya sudah tutup. Kami melanjutkan perjalanan.
Dari stasiun tram, kami berjalan lurus ke timur. Di sana masih dilalui jalur tram. Kami berkali-kali berjumpa dengan tram merah-hitam berbagai trek. Berkali-kali juga excitement mas-mas terpacu. Lurus di ujung jalan yang kami lalui, terdapat perempatan yang tepat di sisi depan kami ada bangunan jam (clock tower). Saya akan menyebutnya Jam Gadang 1.
Melihat clock tower seperti ini, saya jadi berpikir bahwa pembuat jam tangan adalah pahlawan yang nyata. Dalam imajinasi saya, saking pentingnya mengetahui waktu, dulu orang-orang membangun clock tower agar orang-orang punya penanda yang seragam dan dapat digunakan bersama. Dibangun demikian karena mungkin dulu belum ada jam yang bisa dibawa-bawa ke mana-mana. Sekarang manusia sudah punya jam tangan yang memudahkan mereka melihat waktu kapanpun dan di manapun. Terlihat kan sisi pahlawannya pembuat jam di mana. Mereka berjasa membuka kemudahan akses kepada penanda waktu yang katanya adalah uang. Malah jam tangan saat ini sekaligus menjadi aksesori fashion yang cukup elit bahkan belakangan dilengkapi dengan berbagai fitur teknologi cerdas. Betapa berjasanya para pembuat jam tangan untuk peradaban manusia. Mereka juga berjasa menggeser fungsi clock tower menjadi hal estetik semata, menjadi bukti peradaban penting manusia. Setelah ini, saya harap setiap melihat clock tower pembaca tulisan ini teringat betapa hebat perjalanan yang sudah dilalui umat manusia untuk mengetahui dan menandai waktu sampai di titik ini. Berujung pada betapa hebat Tuhan mendesain kecerdasan sehingga peradaban sedemikian rupa bisa tercipta.
OK. Let's get back. Selanjutnya kami mengambil jalan lurus melewati Jam Gadang 1. Kami mengambil beberapa foto di ruas jalanan ini. Di sana ada air mancur setiap beberapa meter. Dilengkapi dengan pilar tinggi dan di atasnya ada patung yang tidak saya kenali. Menurut saya itu patung hero. Sayang sekali patung Saitama ga ada di sana hehehe.
Pada setiap tiang berpatung itu ada air mancur di bagian bawahnya. |
Foto lompat adalah jalan ninja kami |
Masih lurus ke timur kami melanjutkan perjalanan. Bangunan-bangunan klasik dikombinasikan dengan tram berseliweran dan riuh orang lewat menyegarkan mata dan pikiran. Harus fokus jalan di area begini agar tidak menghalangi jalan tram. Kalau ditabrak kan ga lucu.
Di ujung jalan, ada Jam Gadang 2 yang kalau di maps disebut Zytglogge. Kali ini lebih besar dibandingkan sebelumnya. Kalau saya tidak salah ingat, di Jam Gadang 2 ini Mas Schwab mengatakan bahwa tidak menyalahi hukum untuk kencing di sana (di dalam bangunan Jam Gadang 2). I was ... trus kenapa kalau orang boleh kencing di sana? atau maksudnya boleh kencing sembarangan di sana? pesing dong.
Zytglogge: Jam Gadang 2 |
Mas-mas yang penasaran pun mengiyakan ajakan Mas Schwab meski ragu. Saya menunggu di luar. Telapak kaki hingga Ankle mereka sebenernya kelihatan sih dari luar. Saya pengen ngefoto kaki mereka yang cuma kelihatan dikit itu tapi ga jadi. Mereka keburu keluar. Ga jadi pipis di sana. Kenapa? tanya aja sendiri ye. Kata Mas Nugroho di sana ada tempat buat pipis kok. Jadi bukan pipis sembarangan yang merusak keindahan fasilitas yang dinikmati baik oleh mata maupun hidung.
Di terowongannya Jam Gadang 2 ini ada alat-alat ukur yang dipajang. Sebenarnya yang dipamerkan utamanya adalah satuannya. Menunjukkan satuan-satuan yang digunakan orang zaman dulu di sana.
Salah satu satuan yang digunakan di Swiss zaman dulu adalah SchweizerFuss (ga nemu hurufnya 😔 kayaknya dibaca Shwaiserfuss, artinya Fuss Swiss) |
Dari Jam Gadang 2, kami belok kanan ke selatan untuk kemudian belok kiri ke timur lagi. Di belokan ke timur ini ada perpustakaan. Dibilang begitu, saya langsung tertarik. Mas-mas pun bilang (yang anggap saja begini), "She likes library so much. She loves books."
"Yah sayang sekali sekarang kamu ga bisa mampir sekarang, Nala. Sudah tutup. " Demikian komentar Mas Schwab.
Katanya sih ini perpustakaan. Ga tau ya kalau saya salah tangkep. |
Kami lanjut ke timur. Tak jauh dari sana, kami menemukan barak-barak. Rupanya ada pasar kaget. Di Swiss ada tradisi Christmast Market, pasar malam berhari-hari sebelum natal. Ga kalah sama pasar malam menjelang Idul Fitri. Sebenarnya kami sempat mampir melihat-lihat pasar natal di spot lain sebelum tiba di sini tapi saya lupa di sebelah mana jadi saya lewat deh ceritanya. Keramaian pasar natal yang ini ada di depan gereja. Gereja ini lebih besar dibandingkan gereja yang hampir kami masuki di dekat stasiun tram tadi. Ya jelas lebih besar, Nal -_- Ini levelnya sudah bukan gereja lagi. Ini katedral. Katedral Bern namanya.
Katedral dengan kemeriahan pasar natal di depannya |
Di spot ini juga terlihat jaring-jaring di bawah sana yang kata Mas Schwab gunanya biar orang ga bisa bunuh diri di sana. Ga tau bercanda atau engga tapi kalau beneran kok ya bunuh diri di taman bermain sih, dekat tempat ibadah pula.
Dari taman bermain yang gelap ini, kami beranjak kembali ke pinggiran katedral dan mengambil jalan lurus ...
Kok sudah panjang begini ceritanya. Saya bagi dua saja ya cerita di Bern ini. Sejauh ini, kita sudah menghabiskan perjalanan di jalur kuning. Selebihnya mari diceritakan di sesi selanjutnya.
Wassalamu'alaikum.
Comments
Post a Comment