Tentang Bersepeda hingga Rekor Baru Bersepeda ke Kresek

Belakangan hobi sepedaan menjamur di masyarakat, lebih tepatnya sejak Corona Virus memandemikan diri. Mungkin karena isolasi, WFH, dan penutupan banyak tempat umum yang terjadi membuat orang mencari alternatif hiburan. Sepeda memang menawarkan hiburan menyegarkan dengan membantu kita jalan-jalan namun menambah value olah raga untuk mengompensasi kebosanan dan kurangnya gerak karena isolasi dan teman-temannya. Jangkauannya pun lebih besar daripada lari yang mungkin 5 km saja sudah bikin ngos-ngosan.

Harga sepeda belakangan ini melonjak. Wajar saja. Permintaan naik, suplai tetap, di sinilah kelangkaan terjadi. Harga pun naik. Hukum ekonomi. Halah sotoy.

Saya sendiri sebenarnya sudah suka bersepeda sejak kecil. Hanya saja karena sarana dan kesempatannya tidak ada, tersingkirlah kegiatan bersepeda itu. Pada akhirnya saya lebih banyak jalan kaki terutama di rantau. Sampai sekarang juga begitu. Makanya kalau ada kesempatan bersepeda, saya senang karena akhirnya saya bisa jalan-jalan lebih jauh dari biasanya.

Ehm btw permisi saya mau nyinyir. Gara-gara hobi sepedaan yang menjamur ini, saya jadi penasaran. Ini orang-orang suka sepedaan simply karena lagi ngehits atau memang murni kebutuhan ya? Trus kenapa orang-orang tidak menerapkan sepedaan ini dalam kehidupan sehari-hari juga? Kenapa sepedaannya harus dikhususkan agenda bersepeda saja? Kenapa ga kerja pakai sepeda, ke pasar pakai sepeda, ke mall pakai sepeda, dsb? Jadi sekalian ubah lifestyle gitu. Bukan sepedaan karena momen aja. Tapi saya sendiri sepedaan masih kalau ada momen aja sih 😁 Kan belum punya sepeda wkwk. Dasar Nala tukang nyinyir.

Mohon maaf saya nyinyir begitu, soalnya saya agak menyayangkan -- terutama bagi diri sendiri -- jika melakukan sesuatu cuma karena ikut-ikutan, cuma karena lagi ngehits. Padahal sebenernya ga salah juga sih mengikuti tren, daripada ga sama sekali kan.

Selama di Madiun ini, beberapa kali saya dipinjami sepeda bu kos. Bukan saya yang inisiatif pinjam, tapi malah saya disuruh pakai sepeda beliau. Hihihi.

Semoga Nala bisa punya sepeda. Amin

Rekor terjauh sampai saat ini saya capai seminggu yang lalu bersama teman baru saya, namanya Septian. Kami bersepeda mulai dari Pahlawan Street Center yang lebih dikenal dengan 'Madiunboro' hingga Monumen Kresek. 

***

Minggu lalu, pagi-pagi saya berangkat ke Pahlawan Street Center. Akhirnya keinginan saya untuk duduk-duduk sendirian di 'taman' itu tercapai. Selama ini selalu urung karena ramai euy. Terima kasih pada Septian yang membantu merealisasikan keinginan ini. Hahaha.

Sekitar pukul 06.15, taman ini masih cukup sepi-tapi-ramai yet asik

Tunggu ditunggu, akhirnya Septian datang juga. Kami duduk-duduk santai dulu, Septian istirahat. Dia tadi harus bersepeda sekitar 15 km menuju lokasi janjian kami untuk selanjutnya masih harus bersepeda nun jauh ke Monumen Kresek. Luar biasa.

Perjalanan kami dimulai sekitar pukul 07.00. Pelan-pelan kami mengarungi jalanan. Perjalanan mulai menantang saat sudah keluar Kota Madiun. Jalanan mulai menanjak. Saya tidak kaget karena sebelumnya saya pernah melewati jalanan ini tapi hanya sampai Pasar Dungus kemudian langsung balik kanan pulang. Serunya, jalanan ini jauh lebih segar dibandingkan di Kota Madiun. Banyak bagian perjalanan dimana kita bisa melihat sawah di kanan-kiri. Beberapa kali kami berpapasan dengan pesepeda lain yang turun. Septian santai saja say hi dengan mereka. Rupanya di antara pesepeda ada 'persaudaraan' tersendiri. Yah sayang sekali sepanjang jalan ini tidak terdokumentasi.

'Pendakian' kali ini rasanya berbeda. Jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan kesempatan sebelumnya dimana saya bersepeda sendiri. Bisa jadi karena saya sudah pernah mengalami perjalanan itu, bisa jadi karena ada teman sehingga perhatian atas lelah teralihkan.

Melewati Pasar Dungus, rekor saya sebelumnya, drama terjadi. Ban sepeda Septian bocor. Kami putar balik. Sepeda Septian ini road bike yang lebar dan ukuran valve bannya kecil. Cukup sulit menemukan tempat yang bisa menambal ban sepeda Septian ini. Beruntung di area Pasar Dungus kami menemukan bapak tambal ban yang bisa dan mau membantu. Lumayaaan sekalian kami leren. Namun, masalahnya adalah pompa yang dipunya si bapak ga bekerja dengan baik. Akhirnya setelah ditambal, kami cari-cari lagi tempat untuk mompa. Alhamdulillah ketemu.

Pelajaran dari kejadian ini: bawalah ban serep dan pompa mini jika sepedamu tidak lumrah bagi masyarakat sekitar wkwkwk.

Dia tergeletak tak berdaya menghadapi dunia. Dokter sedang berjuang menyelamatkan nyawanya. Kami menunggu-nunggu, mengharapkan dokter keluar dan mengatakan, "Operasinya berhasil." Halah apaan sih, Nal. 


Kelanjutan perjalanan kami tidak begitu lama. Monumen Kresek memang dekat dari Pasar Dungus. Hanya saja, kami harus melewati Tanjakan Putus Asa terlebih dahulu. Puas rasanya bisa melewatinya. Semoga saja kaki Septian baik-baik saja.

Tibalah kami di Monumen Kresek. Ramai. Ada banyak sepeda terparkir di sana. Banyak mobil juga. Sebenarnya ada apa di dalam sana?

Sebelum berkeliling lebih jauh, kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Pecel dan teh panas menjadi pilihan kami. Sepertinya cukup lama kami menyantap makanan sambil ngobrol ngalor-ngidul yang kebanyakan ngomongin pengalaman di kerjaan masing-masing. Di sini Septian juga bilang sebelumnya dia belum pemanasan dan hari itu dia langsung menempuh jarak yang jauh. Saya bingung. Antara kasihan dan salut (tapi lebih banyak salutnya) sama ni orang. Dia memang sudah biasa bersepeda jarak jauh sih tapi kalau selama 3 bulan ga bersepeda trus ujug-ujug sepedaan jauh kan bisa kaget juga badannya.

Obrolan ngalor-ngidul kami hentikan sementara karena kami berniat masuk ke Monumen Kresek. Sepeda kami titipkan ke pemilik warung.

Kami masuk melalui pintu selatan. Spot pertama yang menyambut kami adalah patung (?) orang-orang mati beserta tembok bertuliskan daftar para korban kekerasan PKI di Desa Kresek. Sejujurnya, saya kurang pengetahuan tentang peristiwa PKI ini. Kenapa bisa ada, bagaimana sepak terjangnya, pemusnahannya bagaimana, saya belum tahu atau mungkin simply saya lupa. Yang menjadi pertanyaan saya selanjutnya adalah mengapa kejadian menyedihkan yang melibatkan kekerasan kepada manusia malah dimonumenkan?


Sederhana saja isi Monumen Kresek. Setelah spot tadi, ada semacam pendopo yang ternyata dulu adalah markas PKI. Di sana saya membayangkan beberapa orang duduk berkumpul merundingkan aksi mereka. Pendopo itu menjadi saksi bisu betapa akal dan nafsu manusia bisa terjerumus begitu dalam, terlalu dalam, terlalu gelap hingga nyawa manusia seperti tiada artinya.

Selain itu, ada juga patung 'ekseskusi' yang dibawahnya ada "air terjun" buatan. Karena fokus tulisan ini adalah kegiatan bersepeda ke Monumen Kresek, saya tidak akan membahas banyak tentang tempat ini. Biar foto-foto saja yang bercerita.

Patung 'eksekusi' yang saya bilang tadi. Di sisi kiri Septian ada air terjun buatan.

In more detail



View dari samping patung 'eksekusi'. Saya tidak mengerti makna patung-patung itu. 

Ada seorang guru dan banyak muridnya sedang membuat video. Mungkin untuk kenang-kenangan sebelum berpisah.

Usai berkeliling, kami menjemput sepeda, berpamitan pada ibu pemilik warung, dan beranjak pulang. Perjalanan pulang sangat menyenangkan. Karena saat berangkat kami sudah menanjak, maka pulangnya kami banyak santainya. Hingga terjadi 'BAM!!!' Saya nyenggol seorang pejalan kaki. Beruntung tidak terjadi injury yang serius. Si bapak yang saya senggol insyaAllah aman. Alhamdulillah anak yang digendongnya tidak jatuh. Cuma saya yang jatuh. Saya cuma merasa lecet sedikit di lutut. Ditambah ternyata ada memar di betis yang sampai sekarang belum kunjung hilang. Selain itu, I am totally fine. 

Gara-gara ini saya minta Septian untuk di depan saja. Usai jatuh, masih ada Tanjakan Putus Asa yang lebih berat dari sebelumnya. Karena Septian nuntun, saya ikutan deh wkwk. Ga tau kalau saya lanjut mancal apakah akan kuat atau tidak. Selepas itu, barulah perjalanan kami benar-benar bahagia. Tiada tanjakan. Yang ada hanya turunan.

Eta teh Septian. Sepedanya da kenceng pisan.

Septian yang di depan ini membuat saya menyadari perbedaan sepeda gunung dan road bike (Bahasa Indonesianya apa sih?). Saat perlu mengayuh, Septian terlihat santai sekali mengayuh namun dia lebih cepat daripada saya meski frekuensi ngayuh saya lebih tinggi dikit. Padahal kayaknya ga mungkin Septian pakai gir yang levelnya lebih tinggi dari yang saya gunakan saat itu. Setelah saya lihat lebih dekat, ternyata gir sepedanya Septian lebih banyak, Coy. Pantes. Bisa aja kan bagi sepeda Septian ada beberapa gir di antara gir selevel yang sedang kupakai hingga level berikutnya di sepedaku (eh sepeda bu kos wkwk). Selain itu, road bike kan memang didesain biar rolling resistance di pavement nya kecil. Bisa jadi bukan hanya efek gir. 

Seperti biasa, perjalanan kembali selalu terasa cepat. Tiba-tiba saja kami sudah tiba di Kota Madiun. Kami berpisah di gang Jalan Nias. Sepedaan kami ditutup dengan toss. Septian masih harus lanjut sekitar 15 km lagi menuju rumahnya. Semangat, qaqaa. Alhamdulillah kabarnya Septian cuma cenat-cenut malam harinya. Esoknya dia sudah kembali fit.

Demikian cerita rekor baru sepedaan 35 km saya. Mungkin saya perlu nulis tentang rekor baru bersepeda selanjutnya atau tentang lari atau home workout

Perjalanan saya 35 km. Septian sendiri menempuh 70 km. Luar biasa. Sungkem.


Comments

Popular posts from this blog

Es Wawan