Naik Bis, Kembali ke Habitat
Saya kurang tahu “Bis” itu ejaan yang benar menurut kamus
besar bahasa Indonesia “Bis” atau “Bus”. Yasudah lah yaa, let’s assume “bis”.
Three days ago was my first time going back to habitat by bus. Yaaa terpaksa
harus naik bis karena terlanjur membeli tiket kereta untuk jadwal tanggal 22
Desember dan ternyata di tanggal itu saya masih ujian, terpaksa dibatalkan dan
mencari ganti yang paling murah : naik bis. Hahahaa.
Setelah merasakan naik bis, saya berkata pada diri saya,
untuk selanjutnya, harus berjuang mendapatkan tiket kereta hahahaa. Bagaimana
tidak, mungkin karena lama tak naik bis, sebentar-sebentar tiap melek saya
pusing. Hohooo padahal sebelum-sebelumnya saya santai-santai saja setiap naik
bis. Ditambah dengan jalanan yang belak-belok dan perbelokannya itu sangat
terasa dan waktu perjalanan yang samapi 20 jam membuat saya sebenarnya tak
ingin lagi naik bisa untuk perjalanan sejauh itu. Naik kereta saja. hahah
Nothing special since I was leaving Bandung until the bus
arrived in Kediri. Seperti layaknya penumpang biasa, saya maju mendekat ke area
pak sopir ketika merasa tempat saya turun sudah dekat. Saat itu saya sempat
ngobrol dengan pak sopir.
“Turun di mana?”
“Di terminal, yang di Mojoroto itu pak”
“Oooh masih jauh”
“Ya sudah pak saya duduk sini saja”
Duduklah saya di kursi samping pak sopir. Mencoba sok akrab,
bertanya-tanyalah saya pak sopir ini asalnya dari mana. Dan ternyata beliau
orang asli medan dan sejak tahun 1976 (seingat saya) beliau pergi ke pulau
Jawa. Wooow! Trus itu ibu saya baru anak-anak, trus bapak ini kelahiran tahun
kapaaan, pikir saya.
Pembicaraan berlanjut hingga saya ditanya
“di Bandung kuliah atau sudah kerja?”
“kuliah, Pak”
“ooh, kuliahnya di mana”
Aduh, saya paling sungkan kalau harus ngomong kuliahnya di
mana, terpaksa saya jawab dengan perasaan seperti biasanya, semi-takut “di ITB”
“waah, hebat dong! Sekarang kalau di ITB per semesternya
berapa?”
Waduh, ditanyain ini lagi, saya makin bingung jawabnya
gimana. Apakah saya harus sebut nominal atau ngeles saja. entahlah, tiba-tiba
keluar begitu saja dari mulut saya “kalau sekarang sih kalau tanpa bantuan
sepuluh juta, Pak.” Oh mann, how rude I’m. why didn’t I just ngeles saja. Oh
rude, pikirku.
“Waaah, kalau begitu saya sudah ga mampu”
“Lho kan banyak bantuan, Pak”
“Bantuan dari mana?”
“Banyak beasiswa kok pak. . . . “
“Kalaupun dapat ya paling cuma berapa. Masih ga mampu saya.”
Saya mau membantah dan meyakinkan bapaknya lagi, tetapi saya
tahu itu bukanlah saatnya. Semakin saya banyak ngomong nanti bapaknya malah
semakin panas. Hohooo akhirnya saya hanya diam saja.
Bapak sopir masih melanjutkan berbicara. Saya lupa
pembicaraan persisnya bagaiman tetapi intinya adalah “Pendidikan di Indonesia
itu masih belum baik. Masih mahal. Coba lihat sekarang, kesehatan, ekonomi,
semuanya masih berantakan.Beruntung orangnya ga tawur melulu. Cobalah pemerintah itu memberikan perhatian
lebih kepada pendidikan. Kalau pendidikan itu baik, nanti kesehatan, ekonomi,
politik, semuanya juga baik. Kayak Ridwan Kamil itu (duh, bapaknya sebut merk)
misalnya ya minimal di kota Bandung lah, . . . (saya lupa perkataan beliau,
kalau tidak salah minimal di Bandung dulu, pendidikannya yang lebih
berkualitas, sekolah gratis)”
Ya memang benar kata bapak sopir tersebut. Selama ini saya
juga terpikir begitu. Pendidikan itu mempersiapkan generasi berikutnya dan
menentukan masa depan bangsa nantinya. Tetapi sayang sekali kualitas pendidikan
di Indonesia masih kurang. Bukan hanya dari segi biaya, kalau kita hanya
memperhitungkan biaya, sekolah memang murah tetapi kalau kualitasnya masih
kurang ya sama saja. Bahkan di tempat orang tua saya mengajar pun juga
kekurangan tenaga pendidik. Selama saya “nginthil” bapak saya ke
sekolah-sekolah pun saya juga masih mendapati kondisi ruang kelas yang rusak. Sangat
kontras dengan fasilitas yang ada di wilayah kota besar (ya iyalah, nal).
Sebenarnya tak cuma hal yang berhubungan langsung dengan
pelaksanaan pendidikan. Hal yang tidak langsung pun harus mendukung. Saya kesal
melihat acara-acara televisi yang menurut saya tidak mendidik. Padahal mereka
pemilik stasiun televisi harusnya mengerti keadaan penduduk Indonesia, dimana
anak-anak masih menonton pada jam tayang tersebut dan masih banyak orang tua
yang belum mengerti atau sudah mengerti tapi membiarkan anak-anaknya
mengonsumsi acara tersebut.
Yang bisa saya lakukan ya merebut televisi untuk
saya pindah ke acara yang lebih layak dengan alasan “kan aku ga pernah nonton televisi”
hahah
Comments
Post a Comment