(mungkin lebih baik tanpa judul saja)

Kemarin saya diajak ibu saya untuk menjenguk saudara jauh yang sedang sakit. Kebetulan rumahnya dekat sekali dengan rumah emak, nenek saya. Yang sakit adalah mbah Parlan. Orang yang dulu saat saya kecil sering menanyakan “jane iki lanang po wedok to?” (sebenarnya ini laki-laki atau perempuan sih?). ya tau lah yaaa saya kan dari dulu semi-tomboy gitu hahaha. Dan kemarin saya melihat beliau terbaring di atas galar (juga biasa disebut amben, tempat tidur yang terbuat dari bambu) dan badannya lebih kurus, terlihat semakin tua.

Saya juga bertemu dengan anak beliau yang tinggl di Semarang. Karena sekian tahun tak bertemu, saya dikira mbak saya. mungkin gara-gara postur tubuh saya yang gede. Hahaha. Karena baru bertemu itulah akhirnya saya ditanya-tanyai ini itu di dalam kamar mbah Parlan yang sakit itu.
Seperti biasa, yang ditanyakan adalah kuliah dimana (di bandung), kok jauh banget (hehe), tepatnya kuliahnya di mana (ITB), oooh. Trus malah membicarakan kalau pulang naik apa, ongkosnya berapa, oh mannn bahkan sampai ditanya trus di sana tidurnya gimana. Dan pertanyaan yang membuat saya kesal itu ya di sana sekolahnya bayarnya berapa. Karena sudah banyak orang sekitar yang tahu ya saya jawab saja, ga bayar.

Mbah Ti pun berkomentar “Lhoh, ranking dong?” Subhanallah komentar ini jleb banget. Sebenarnya mbah Ti, istri mbah Parlan menanyakan ini ya karena mindset-nya masih berpikir bahwa ya hanya orang-orang yang pintar, ber-IQ tinggi lah yang bisa mendapatkan beasiswa. Tapi justru mindset seperti inilah yang membuat jleb. Bagaimana tidak, mendengar pertanyaan itu saya langsung terpikir betapa orang yang bertanya memiliki harapan yang lebih terhadap diri saya. Sedangkan selama ini, saya masih begini-begini saja. Masih biasa-biasa saja. Masih bandel malah. Ditambah lagi pasti tidak hanya satu-dua orang di negeri ini yang memiliki mindset seperti itu dan mempunyai harapan lebih terhadap mahasiswa, orang yang (dalam imajinasi saya) membayangkan nantinya dapat membela dan membantu mensejahterkana mereka. Saya yakin ada jutaan, puluhan juta orang yang berpikiran seperti itu. Miris saya melihat diri saya yang masih begini-begini saja.


Tak lama kemudian kami (saya, ibuk, dan emak) pamitan pulang. Sebelum saya pergi saya menjabat tangan mbah Parlan, cukup lama tangan saya dipegang, beliau sambil meminta didoakan agar sembuh. Beliau juga mendoakan saya agar apa yang saya cita-citakan berhasil. Sebelumnya saya juga diingatkan untuk menjaga diri. Subhanallah, terharu saya didoakan oleh mbah Parlan. Ya bagaimana tidak, selama ini, selama saya masih kecil saya cuek begitu. Trus kemarin banget beliau mendoakan keberhasilan saya. Semoga beliau juga diberikan kesembuhan dan bisa melakukan kegiatan dengan bugar kembali.

Comments

Popular posts from this blog

Es Wawan