Pikiran saya masih belum lepas dari sebuah pertanyaan, yang saya coba mengalihkannya tapi tetap tak bisa. "mengapa orang mau membuang-buang uang hanya untuk makan di tempat makan mahal dengan menu yang menurut saya biasa-biasa saja rasanya pun sama saja seperti biasanya?" pertanyaan konyol memang, tapi itu pertanyaan serius untuk orang seperti saya.

 Apa yang saya rasakan mengenai pertanyaan tadi membuat saya kembali teringat 26 Mei 2013, pertama kalinya saya bertemu seorang anak bernama Juanda. Seingat saya saat itu dia masih kelas 4 SD. Anak ini adalah satu dari banyak anak-anak yang tinggal di rumah singgah tempat saya dan teman-teman satu fakultas mengadakan pengmas. Hal pertama yang membuat saya prihatin adalah dia masih anak-anak dan dia keseharian harus ngamen, membantu ibunya. Ibunya sudah tua, dia masih punya beberapa adik. Mereka tinggal di sebuah kontrakan, rumah singgah hanya tempat dia menambah ilmu selain di sekolah. Bahkan dia juga mengatakan dengan polosnya, celana jeans yang dia kenakan saat itu adalah celana baru, nominalnya pun juga disebutkan. dia juga menceritakan dia biasanya ngamen di mana. Sehari uang ngamen cuma cukup buat beli makan, bahkan kadang tak cukup. Belum lagi masih ada tanggungan uang kontrakan. dia memiliki cita-cita pengen punya pesantren sama panti asuhan, katanya biar kayak pak ustad (maksudnya orang yang ngurusin rumah singgah tempat dia belajar), bisa ngebantuin yang lain. tersentuh juga saya mendengar dan melihatnya menuliskan impiannya di sebuah kaos pemberian panitia. Saat kami mengantar anak-anak target pengmas kami kembali ke rumah singgah naik angkot, si Juanda pun bertanya pada saya, sedikit protes sih. . "kenapa kita naik angkot? kenapa ga jalan saja? kan mahal. sayang uangnya." saya bisa  jawab apa? saya cuma jawab "kan kakak-kakaknya pengen kalian selamet sampai tujuan, jadi dianterin naik angkot" "kan deket, aku udah biasa kok jalan sampek sini buat ngamen" bisa jawab apa saya? Pertemuan itu berakhir, saya belum pernah bertemu dia lagi. Semoga saja dia menjadi anak yang baik-baik, seperti yang saya pesankan kepadanya. Semoga saja dia menemukan kesuksesannya bagaimanapun jalannya.

Bagaimana bisa selama ini saya tetap kurang bersyukur, kurang merasakan betapa beruntungnya saya, kurang menyadari betapa berlimpahnya kenikmatan yang saya nikmati setiap hari. Bahkan sampai saat ini, setelah bertemu Juanda yang saat itu menyadarkan saya betapa selama ini saya telah kufur nikmat, kembali saya terlena, tertelan kesibukan, yang ada keluhan "ah, kok ga bisa sama sekali", tak memikirkan sebenarnya saya ini sangat beruntung. semua yang saya rasakan ini sudah "enake wis pitung penyukur" begitu bapak saya sering mengatakannya. Saya berpikir, mau jadi apa saya nantinya dengan sifat dan kelakuan yang masih begini-begini saja?

Comments

Popular posts from this blog

Es Wawan