Mengenang Masa MTs - Sholat Dhuha dan Yasin
Jika ditanya masa sekolah mana yang paling berkesan bagi saya, saya akan menjawab "saat MTs alias SMP". Ya memang berbeda dengan yang kebanyakan orang bilang, katanya masa yang paling indah itu masa SMA. bagi saya masa MTs kok. Mungkin karena di masa itu saya beralih ke teenager beneran, ga terlalu kecil kayak anak SD dan ga setua anak SMA yang menurut saya mulai beranjak ke level dewasa. Mungkin juga karena di masa itu saya masih sangat polos dibandingkan sekarang, namun tidak sepolos dan se-haha-hihi masa SD. Mungkin juga karena di masa MTs ada bumbu-bumbu asmara ala anak literally baru gede dalam kehidupan saya wkwkwk.
Ohiya, jika ada yang belum tahu, MTs itu singkatan Madrasah Tsanawiyah, sekolah setara SMP namun bernuansa islami. MTs dikelola oleh Departemen Agama (setahu saya), bukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jika ditanya lebih detilnya, kelas berapa yang paling berkesan dan menyenangkan? Saya akan menjawab "kelas 8". Kenapa? Karena Itu bukan tahun pertama saya mengenal teman-teman. Kelas 9 saya diberikan teman sekelas yang baru jadi kelas 8 adalah satu-satunya kelas masa MTs yang hubungan saya dengan teman sekelas sudah lebih dari satu tahun. Di kelas 8 juga saya mengalami puber yang pertama hahahaa. Di kelas 8 juga saya mengalami yang tadi saya bilang bumbu-bumbu asmara wkwkwk. Dan teman-teman MTs yang paling srawung sampai saat ini adalah teman-teman kelas 8H. Mungkin ini implikasi dari kami yang satu kelas selama dua tahun : ikatan kami lebih erat dibandingkan teman sekelas kelas 9. Bahkan sepertinya saya sudah lupa beberapa nama dan wajah teman sekelas 9C. Mianhae.
Sebenarnya nostalgia ini dimulai karena saya mendengarkan murottal Surah Yasin. Surah Yasin membawa kenangan tersendiri dengan MTs. Dulu, di MTsN Bandar Kidul Kediri 1, setiap Jumat jam pelajaran pertama diisi dengan sholat dhuha berjama'ah. Semoga saja sampai saat ini dan seterusnya masih ada agenda seperti ini karena menurut saya ini adalah hal yang positif.
Kami satu sekolah sholat berjama'ah bersama, kecuali mereka-mereka yang berhalangan. Tak lupa Bapak dan Ibu guru juga. Kami tidak sholat di masjid karena MTs kami tidak punya masjid eh musholla yang cukup untuk menampung satu sekolah dalam waktu yang bersamaan. Kami sholat bersama di lapangan basket. Agenda setelah sholat dhuha berjama'ah adalah membaca Surah Yasin. Ya Surah Yasin. Di daerah saya, biasanya hari Jumat itu bacanya Surah Yasin, sekalian juga mengirim doa ke orang yang sudah meninggal. Baru setelah saya kuliah saya tahu bahwa ada juga yang bacanya Surah Al Kahfi. Apapun itu bacaannya, semuanya tetap Al-Qur'an kok. Diniati ibadah saja.
Mungkin ada pertanyaan kok sholat dhuha berjama'ah sih. Ya memang setahu saya sholat dhuha lebih afdhal dilaksanakan munfarid atau sendiri-sendiri tapi setahu saya juga, bukan hal yang salah untuk melakukannya secara berjama'ah. Lagipula, sebenarnya saya ingin menyoroti pendidikan moral yang ditanamkan di kegiatan simpel ini. Eh pendidikan moral atau apa ya, apapun namanya deh.
Membiasakan hal baik
Sholat Dhuha adalah sholat sunah yang sangat dianjurkan. Dan menurut saya, untuk dapat melakukannya tanpa keberatan, diperlukan pembiasaan sejak dini. Nah, di sini poin positif kegiatan simpel yang diwajibkan di MTs tempat saya menimba ilmu dahulu. Mereka membuat kami terbiasa Sholat Dhuha (walaupun karena kewajiban) paling tidak empat roka'at dalam seminggu. Apalagi ditambah sholatnya di luar ruangan, bersama alam. Sekarang saya ngebayanginnya kok indah ya. Sambil dzikir secara fisik, juga merenungi indahnya alam saat itu. Waaaa jadi pengen lagi.
Dan mungkin karena lingkungan dan kebiasaan itu, saya akui, saat di MTs adalah saat dimana saya paling sering sholat dhuha selama saya hidup hingga saat ini. Jam istirahat pertama, saya dan teman-teman biasanya berebut segera ke musholla agar mendapatkan mukena (biasanya kami ga bawa mukena sendiri wkwkwk). Bayangin coy, dulu saya dan teman-teman sesemangat itu buat sholat dhuha sekedar dua roka'at. Lha sekarang, Nal? Ngglele!
Mengajarkan Kejujuran
Terutama bagi yang cewe. Sering ada yang duduk bersama mereka yang berhalangan karena lupa tidak membawa mukena. Namun saat ditanya guru beneran berhalangan atau engga, bilangnya beneran berhalangan. Saya pun juga pernah begitu. Hahahaa.
Membuat Dekat dan Manusia itu Sama
Saya baru sadar sekarang ternyata agenda mingguan massal satu sekolah itu mengajarkan bahwa kami semua di hadapan Allah itu sama. Saat sholat, tak ada bedanya kami dan guru-guru. Semua sama. Yang cowo sama-sama pakai kopyah, yang cewe sama-sama pakai mukena. Saat membaca Surah Yasin bersama juga tak ada bedanya.
Saat sholat, Guru-guru membaur di antara kami para siswa-siswi. Saya baru sadar, hal ini sebenarnya seperti menghilangkan barrier antara guru dan murid. Secara tak sadar menjadi alat untuk mendekatkan guru dan murid. Keren kan kalau pas sholat sampingnya bapak kepala sekolah trus abis itu sempet ngobrol enteng dengan beliau.
Kesadaran Diri dan Gotong Royong
Kami tidak membawa sajadah untuk sholat di lapangan. Sekolah menyediakan banyak tikar untuk alas sholat. Setiap Jumat pagi, orang yang biasanya bersih-bersih sekolah juga menyiapkan tikar-tikar ini. Tidak sepenuhnya disiapkan. Hanya ditempatkan dalam keadaan masih tergulung berdasarkan perkiraan seberapa panjang itu bisa tergelar. Selanjutnya, jika akan digunakan, kami menggelarnya sendiri.
Seusainya, biasanya kami bergotong-royong menggulung kembali tikar dan mengumpulkannya jadi satu atau kadang sekalian dimasukkan ke karung kalau kami melihat karungnya. Semuanya berdasarkan kesadaran diri. Saya sih mikirnya ini salah satu media yang secara tidak langsung mengajarkan kepekaan sosial dan gotong royong.
Mungkin terkesan seperti dicari-cari pelajarannya dari hal sesepele itu. Tapi ya memang itu yang saya pikir dan rasakan sekarang.
Ohiya, jika ada yang belum tahu, MTs itu singkatan Madrasah Tsanawiyah, sekolah setara SMP namun bernuansa islami. MTs dikelola oleh Departemen Agama (setahu saya), bukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jika ditanya lebih detilnya, kelas berapa yang paling berkesan dan menyenangkan? Saya akan menjawab "kelas 8". Kenapa? Karena Itu bukan tahun pertama saya mengenal teman-teman. Kelas 9 saya diberikan teman sekelas yang baru jadi kelas 8 adalah satu-satunya kelas masa MTs yang hubungan saya dengan teman sekelas sudah lebih dari satu tahun. Di kelas 8 juga saya mengalami puber yang pertama hahahaa. Di kelas 8 juga saya mengalami yang tadi saya bilang bumbu-bumbu asmara wkwkwk. Dan teman-teman MTs yang paling srawung sampai saat ini adalah teman-teman kelas 8H. Mungkin ini implikasi dari kami yang satu kelas selama dua tahun : ikatan kami lebih erat dibandingkan teman sekelas kelas 9. Bahkan sepertinya saya sudah lupa beberapa nama dan wajah teman sekelas 9C. Mianhae.
Sebenarnya nostalgia ini dimulai karena saya mendengarkan murottal Surah Yasin. Surah Yasin membawa kenangan tersendiri dengan MTs. Dulu, di MTsN Bandar Kidul Kediri 1, setiap Jumat jam pelajaran pertama diisi dengan sholat dhuha berjama'ah. Semoga saja sampai saat ini dan seterusnya masih ada agenda seperti ini karena menurut saya ini adalah hal yang positif.
Kami satu sekolah sholat berjama'ah bersama, kecuali mereka-mereka yang berhalangan. Tak lupa Bapak dan Ibu guru juga. Kami tidak sholat di masjid karena MTs kami tidak punya masjid eh musholla yang cukup untuk menampung satu sekolah dalam waktu yang bersamaan. Kami sholat bersama di lapangan basket. Agenda setelah sholat dhuha berjama'ah adalah membaca Surah Yasin. Ya Surah Yasin. Di daerah saya, biasanya hari Jumat itu bacanya Surah Yasin, sekalian juga mengirim doa ke orang yang sudah meninggal. Baru setelah saya kuliah saya tahu bahwa ada juga yang bacanya Surah Al Kahfi. Apapun itu bacaannya, semuanya tetap Al-Qur'an kok. Diniati ibadah saja.
Mungkin ada pertanyaan kok sholat dhuha berjama'ah sih. Ya memang setahu saya sholat dhuha lebih afdhal dilaksanakan munfarid atau sendiri-sendiri tapi setahu saya juga, bukan hal yang salah untuk melakukannya secara berjama'ah. Lagipula, sebenarnya saya ingin menyoroti pendidikan moral yang ditanamkan di kegiatan simpel ini. Eh pendidikan moral atau apa ya, apapun namanya deh.
Membiasakan hal baik
Sholat Dhuha adalah sholat sunah yang sangat dianjurkan. Dan menurut saya, untuk dapat melakukannya tanpa keberatan, diperlukan pembiasaan sejak dini. Nah, di sini poin positif kegiatan simpel yang diwajibkan di MTs tempat saya menimba ilmu dahulu. Mereka membuat kami terbiasa Sholat Dhuha (walaupun karena kewajiban) paling tidak empat roka'at dalam seminggu. Apalagi ditambah sholatnya di luar ruangan, bersama alam. Sekarang saya ngebayanginnya kok indah ya. Sambil dzikir secara fisik, juga merenungi indahnya alam saat itu. Waaaa jadi pengen lagi.
Dan mungkin karena lingkungan dan kebiasaan itu, saya akui, saat di MTs adalah saat dimana saya paling sering sholat dhuha selama saya hidup hingga saat ini. Jam istirahat pertama, saya dan teman-teman biasanya berebut segera ke musholla agar mendapatkan mukena (biasanya kami ga bawa mukena sendiri wkwkwk). Bayangin coy, dulu saya dan teman-teman sesemangat itu buat sholat dhuha sekedar dua roka'at. Lha sekarang, Nal? Ngglele!
Mengajarkan Kejujuran
Terutama bagi yang cewe. Sering ada yang duduk bersama mereka yang berhalangan karena lupa tidak membawa mukena. Namun saat ditanya guru beneran berhalangan atau engga, bilangnya beneran berhalangan. Saya pun juga pernah begitu. Hahahaa.
Membuat Dekat dan Manusia itu Sama
Saya baru sadar sekarang ternyata agenda mingguan massal satu sekolah itu mengajarkan bahwa kami semua di hadapan Allah itu sama. Saat sholat, tak ada bedanya kami dan guru-guru. Semua sama. Yang cowo sama-sama pakai kopyah, yang cewe sama-sama pakai mukena. Saat membaca Surah Yasin bersama juga tak ada bedanya.
Saat sholat, Guru-guru membaur di antara kami para siswa-siswi. Saya baru sadar, hal ini sebenarnya seperti menghilangkan barrier antara guru dan murid. Secara tak sadar menjadi alat untuk mendekatkan guru dan murid. Keren kan kalau pas sholat sampingnya bapak kepala sekolah trus abis itu sempet ngobrol enteng dengan beliau.
Kesadaran Diri dan Gotong Royong
Kami tidak membawa sajadah untuk sholat di lapangan. Sekolah menyediakan banyak tikar untuk alas sholat. Setiap Jumat pagi, orang yang biasanya bersih-bersih sekolah juga menyiapkan tikar-tikar ini. Tidak sepenuhnya disiapkan. Hanya ditempatkan dalam keadaan masih tergulung berdasarkan perkiraan seberapa panjang itu bisa tergelar. Selanjutnya, jika akan digunakan, kami menggelarnya sendiri.
Seusainya, biasanya kami bergotong-royong menggulung kembali tikar dan mengumpulkannya jadi satu atau kadang sekalian dimasukkan ke karung kalau kami melihat karungnya. Semuanya berdasarkan kesadaran diri. Saya sih mikirnya ini salah satu media yang secara tidak langsung mengajarkan kepekaan sosial dan gotong royong.
Mungkin terkesan seperti dicari-cari pelajarannya dari hal sesepele itu. Tapi ya memang itu yang saya pikir dan rasakan sekarang.
Comments
Post a Comment