Posts

Showing posts from August, 2020

Rencana

Baru-baru ini ada banyak kabar personil kantor lulus maupun memutuskan keluar. Masing-masing dari mereka kemungkinan besar punya rencana kehidupan selanjutnya. Kemudian saya bercermin. Berpikir. Lantas saya menemukan sepertinya saat ini saya tak punya rencana hidup.

Padahal dulu saya banyak maunya. Meskipun tidak bisa dibilang rencana, paling tidak keinginannya, impiannya ada. Ingin travel ke sana-sini, ingin belajar ini-itu, ingin melakukan ini-itu ... sekarang saya cari-cari kok ga nemu. Kalau dulu saya ingin kuliah lagi, sekarang saya tidak keukeuh ingin. Saya belum menemukan jawaban why nya. Kenapa harus kuliah lagi? Kalau dulu ingin jalan-jalannya sampe membuncah-buncah, sekarang biasa aja. Keinginan-keinginan dulu mungkin memang masih ada, tapi tidak sedang saya perjuangkan. Saya sedang dalam mode mengalir saja. Jika ada opportunity nanti diambil. Kayaknya fokus saya sekarang sebatas menyelesaikan pekerjaan yang saya tekuni. Sempit sekali.

Setelah saya telusuri, saya menjalani hidup mengalir saja lebih banyak sejak lulus kuliah (sejak bapak pergi sih tapi bapak pergi kan ga jauh dari wisuda). Saya curiga jauh di dalam diri saya ada trauma sehingga membuatnya tak mau menaruh harap yang muluk-muluk. Karena dulu di saat usai lulus kuliah, saya dihadapkan pada kenyataan bahwa impian saya untuk melanglang buana mencari pengalaman mandheg oleh pesan terakhir. Pada akhirnya ibu mengizinkan pergi kok 😊 Namun demikian mungkin traumanya masih ada atau simply diri saya jadi terbiasa dengan "ga usah berharap yang muluk-muluk".

Kenyataan tiadanya rencana ini membuat saya khawatir. Saya takut saya seperti katak dalam sepanci air yang dipanaskan. Terlalu nyaman dan tidak menyadari adanya bahaya. Atau malah jangan-jangan saya sama kayak dulu, kayak mayat hidup. Cuma dulu isinya hampir putus asa dan pesimis melulu, semangat hidupnya kurang. Kalau sekarang deep down inside nya kosong melompong ga tahu arah dan tujuan. Pikir saya, kalau punya rencana atau paling ga punya keinginan kan ada hal yang mau diperjuangkan. Jadi hidup lebih bergairah gitu.

Akhirnya saya curhat ke grup HME Bebs PSTK Girl. Mereka berdua punya rencana atau paling tidak ada hal yang ingin dicapai. Manasikana memang selalu punya rencana. Sudah kebiasaan. Dulu pas kuliah, planner-nya selalu dibawa ke mana-mana. Kalau Aji mirip-mirip sama saya. Instead of rencana yang ber-timeline, kami berdua cenderung bermimpi. Impian-impian itu yang kemudian menentukan pilihan-pilihan kami selanjutnya. Masalah timeline, kami tipe yang "sudah Allah atur". Kalau ada chance, grab it fast. 

Namun demikian, kata Manasikana tak apa saat ini tak punya rencana. Manasikana yang planner banget pun kadang juga ga pengen apa-apa, ga pengen berjuang. Tapi begitulah hidup. Ada mode-modenya. Akan ada mode harapan melambung tinggi, hidup penuh semangat memperjuangkan asa, jadi orang ambisius, pandangannya ke depan dan ke atas. Akan ada saat juga di mana hidup ya ngalir saja, bawaannya lempeng dan legawa, pandangannya pada masa kini dan masa lalu, lebih banyak introspeksi dan menganalisis hari ini. No need to worry. The time will come. We will find it eventually. 

Chingu-deul

Saya bersyukur selama ini Allah memberikan saya lingkungan yang aman. Dia berikan teman-teman yang mendukung hidup ini menjadi terasa nyaman, namun tak lupa mengingatkan saat terlena. Teman-teman yang mau mendengar, yang mau menerima apa adanya, yang mau menjadikan saya temannya.

Saya bukanlah orang yang mudah menemukan teman. Banyak orang ga cocok sama watak, prinsip, kelakuan, dan cara berpikir saya. Jadi ya gitu ... menemukan teman yang klop adalah kebahagiaan yang nyata. Nah kalau sudah klop, biasanya saya bisa all out. Urat malu dan sungkannya hilang. 

Belakangan ini saya perhatikan sejak bekerja saya jadi lebih mudah sok akrab dengan orang lain dibandingkan sebelum-sebelumnya. Entah lingkungannya yang memang cocok atau diri saya yang lebih berkembang. Selain itu, lingkaran pertemanan saya belakangan ini melebar. Jika dulu lingkaran teman saya selama setahun lebih di lingkungan kerja terdekat hanya terbatas pada Mas Nugroho, Sugandi, dan Zazuli (sesulit itu saya bisa immerse dengan lingkungan meski sudah lebih baik dalam sok akrab), belakangan saya bisa lebih membuka diri. Saya jadi lebih losss sama Septi, Himdani, Fajri, dll. Kemajuan sih ini.

Ga enaknya punya teman yang klop tu saat perpisahan. Berdasarkan pengalaman, berpisah dengan teman-teman kategori ini menyesakkan dada. Sedihnya berhari-hari.

Sebenarnya saya nulis ini karena baru-baru ini saya ditinggal teman lagi. Salah satu anggota tim kerja saya mengundurkan diri dari tempat kerja. Nama timnya Tim Takmir sementara teman saya ini namanya Afada. Afada Mantap lengkapnya. Sebenarnya saya belum ada satu semester mengenal Afada. Tapi ya teman memang begitu kan? Hujan aja sekali ketemu bisa klik eh haha.

---

Jadi ceritanya Afada ini menggantikan Mas Ervani untuk in charge dalam pekerjaan yang satu tim dengan saya. Jadilah tim yang awalnya bernama Lyss menjadi tim tanpa nama. Nama Tim Takmir baru muncul baru-baru ini setelah kami pindah ke ruangan baru yang sekaligus menjadi musola. Karena tempat kerja kami membuat kami seperti penunggu musola, jadilah kami namai tim ini Tim Takmir. Kami sering menghabiskan waktu di ruangan dengan 4 buah kubikel itu.

---

Sedihnya, perpisahan dengan Afada terjadi lebih cepat daripada yang saya kira. Tersisa 3 hari sejak saya mengetahuinya sebelum dia tidak muncul lagi di kantor. Itu pun 1 harinya libur. Despite masalah kerjaan, saya sedih dari sisi sosial. Rasanya kebersamaan Tim Takmir sangat menyenangkan. Lantas tiba-tiba satu anggota menghilang ....

Mungkin pada dasarnya saya orangnya agak drama jadinya saya sedih banget. Atau mungkin faktor punya teman sedikit sehingga saat berpisah (apalagi sama yang terasa klop) rasanya kehilangan banget. Apalagi kena PMS, sedihnya amplified. Rasanya mirip kayak dulu pas mau pisah sama Aji, mirip kayak dulu mau pisah sama Astuti. Luar biasa memang kekuatan Tim Takmir.

Sehari sebelum hari terakhir Afada ke kantor, saya bersama mas-mas Lyss setuju untuk foto bersama Afada esok harinya. Tak lupa teman-teman yang berkesempatan berinteraksi dengan Afada juga diajak. Pada akhirnya momen itu jadi kayak ngerjain Afada sih. Dia dipaksa dijadikan point of interest. Ya kan dia yang mau pergi. Ya dia harus jadi the boy of the day dong haha.

Haduh ini nyuruh dia lompat susahnya minta ampun

Tim Takmir beberapa hari setelah kabar keputusan perginya Afada

Perpisahan dengan Afada rupanya mengingatkan saya pada teman-teman yang lain. Saya jadi sadar kok teman yang bisa disebut teman main beneran cuma sedikit ya. Hahaha. Kalau disuruh menyebutkan teman lama yang masih dekat, yang misal telponan gitu akan nyaman dan nyambung saja, saya cuma bisa menyebutkan Aji, Manasikana, Nadzifah, Mukti, Saidah, Astuti... kok pikiran saya ga nemu yang lain ya? Hahaa ada juga yang temen main yang lain seperti Prameta, Hidayati, Kokoh, Temen-temen ghibah di kosan: Sunar; Shoimah; Intan Sari; dan Afifah, tapi sudah lama kami tidak berkontak. 

Saya barusan mengunjungi laman blog Suy. Suy ini kalau perlu dikategorikan akan masuk teman menulis. Kami banyak dekat dengan mengunjungi tulisan di blog satu sama lain. Suy ternyata masih aktif ngeblog Catatan Harian. Saya jadi tahu sedikit ceritanya (saya belum baca hingga belakang-belakang sih haha).Ternyata dia masih keep contact dengan teman-teman akrabnya waktu kuliah. Beberapa nama disebut, seperti Nadhiva dan Tazmi yang sedang menggemari hobi masing-masing. Ternyata mengetahui kabar teman lama menyenangkan.

Melihat Suy yang punya teman-teman dekat dari jurusan, saya jadi sadar temen sejurusan yang dekat sama saya kurang dari lima orang. Kok saya jadi kasihan sama diri sendiri ya wkwk.

Ya gitu deh. Sulit memang bagi saya untuk ditembus atau menembus batas pertemanan orang lain. Tapi ketika sudah masuk, saya bisa terikat terlalu dalam. Aseeeek.

Terkait teman-teman dekat ini, saya kemudian bertanya-tanya, apakah pengalaman hidup bersama saya termasuk indah di hati mereka? Oleh karena itu, kemudian saya berdoa semoga pengalaman hidup teman-teman bersama saya terpetakan sebagai hal yang baik dan menyenangkan di memori mereka. 

Saya ingin berterima kasih untuk semua teman-teman yang mau menerima saya. Apa adanya saya, mulai dari fisik, watak, prinsip, ego, cara berpikir, dsb. Adanya kalian membuat hidup saya yang sepi (temenku kan dikit) menjadi lebih berwarna. Semoga teman-teman senantiasa diberikan barokah dalam hidup. Semoga teman-teman tetap mau berteman dengan saya. Amin. Meski kita terpisah jarak, bertemu teman-teman baru, keluarga baru, yang kemudian mengubah kita, tetaplah mau berteman dengan saya.

Terima kasih, Chingu-deul.


Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Aarberg und Biel

Hari Sabtu, 14 Desember 2019, sambil sarapan di Hotel Spatz, kami membicarakan agenda hari itu. Meski kami membatalkan agenda jalan-jalan jauh, seperti ke Grindelwald atau Luzern, kami memutuskan untuk pergi ke tempat yang lebih dekat (sekaligus lebih murah) sesuai rekomendasi dari Mas Schwab. Terpilihlah Aarberg dan Biel. Aarberg terlebih dahulu, baru kami ke Biel.

Untuk menambah pilihan, kami bertanya ke petugas hotel apakah di Lyss, kota tempat kami menginap, memiliki tempat yang layak untuk dikunjungi. Dia tak terpikir sama sekali apa yang ada di Lyss karena memang tidak ada apapun untuk dikunjungi. Sejauh yang kami tahu, di sana hanya ada permukiman dan industri. Kami juga menanyakan apakah ada rental sepeda di Lyss, barangkali kami bisa bersepeda ke Aarberg mengingat jaraknya yang cukup dekat. Nihil.

Melihat jadwal transportasi yang ada, kami memutuskan untuk ke Aarberg naik bus. Sekalian biar kami merasakan transportasi selain kereta di Swiss. Halte bus terdekat ada di sebelah stasiun. Haduh saya kok kagum ya gimana negara maju memikirkan penataan kotanya sehingga teratur, indah, dan aksesnya mudah. Tapi memang kebanyakan negara maju ukuran geografisnya tidak sebesar dan terpisah-pisah seperti di Indonesia. Pun dulu di saat pendahulu negara-negara maju itu memikirkan tatanan kotanya, Indonesia masih harus berjuang untuk melepaskan diri dari kekuasaan negara lain. Dan saat sudah lepas, polemik teror keamanan, dan krisis ekonomi pun masih dialami. Saat reformasi terjadi, tatanan negara dan kota mungkin sudah sulit untuk dibenahi, ditambah dengan mentalitas (baik ataupun buruk) yang terbentuk karena histori penjajahan dan berbagai polemik setelahnya sudah mendarah daging. Tantangan Indonesia sepertinya lebih kompleks, Bung.

Di halte bus, kami berjumpa dengan seorang mbak-mbak cakep. Iseng-iseng, saya bertanya.
Nala : "Sprachen Sie Englisch?" (Akhirnya pelajaran Bahasa Jerman masa SMA terpakai 😆)
Die Frau : "Ja."
Barulah saya tanya-tanya rekomendasi tempat main. Dia menganjurkan ke Bern tapi kami sudah menjadwalkan ke Bern Senin nanti. Biel pun cukup dia rekomendasikan. Tak lupa dia bilang bahwa cuacanya kurang bagus untuk jalan-jalan. Cuaca hari itu memang mendung tapi perkiraan cuacanya tidak akan hujan. Saya lihat suhunya pun tidak se-ekstrim kemarin-kemarin padahal kemarin-kemarin kami tidak kedinginan.

Menariknya, mbak ini punya tante yang tinggal di Indonesia, Sulawesi lebih tepatnya kalau saya tak salah ingat. Sebagai penutup, kami minta tolong untuk difoto bersama.



Setelah obrolan tadi, keputusan kami semakin bulat. Kami akan ke Aarberg sebentar naik bus, kemudian ke Biel naik kereta, lalu kembali ke Lyss naik kereta.

Untuk menuju ke Aarberg menggunakan bus, kami perlu naik Bus 361. Saat itu, busnya berwarna kuning. Di Swiss, biasanya pintu-pintu di kendaraan umum memiliki tombol untuk membuka, baik pintu masuk ataupun pintu antar-gerbong di kereta. Beruntung kami sudah berpengalaman sebelumnya di kereta. Kami tahu bagaimana cara masuk bus ketika melihat tombolnya.

Tekan untuk membuka

Di dalam bus, kami dimarahi Pak Sopir. Kami tidak diperbolehkan sembarang mengambil gambar. Padahal di hari pertama kami tiba, Mas Ervani malah diberikan "jalan" oleh penumpang lain saat mengambil video interior kereta. Pun saat esoknya kami tanyakan pada Mas Schwab, di Swiss ga ada tuh peraturan yang tidak membolehkan mengambil gambar di transportasi umum. Kami jadi ber-suudzon pada Pak Sopir, mungkin karena beliau pendatang jadi malah jutek sama kami padahal orang-orang Swiss kan ramah-ramah.

Kami langsung membayar tiket bus ke Pak Sopir. Perjalanan Lyss - Aarberg dengan menggunakan bus dihargai CHF4,6 dengan perjalanan sekitar 6,5 km. Sepanjang jalan, masih banyak sawah di kanan-kiri jalan. Sayang sekali file gambar saya di bagian ini rusak jadi ga bisa memberikan gambar perjalanan ke Aarberg.


Aarberg

Aarberg merupakan sebuah kota kecil yang katanya punya nilai sejarah. Tujuan utama kami di sana adalah "kota tua" dan jembatan tua.

Di Aarberg, kami turun di seberang Stasiun Aarberg. Lagi-lagi, keren sekali mereka mengatur transportasi dan kotanya. Meski Lyss dan Aarberg adalah kota kecil, mungkin selevel Madiun (bahkan lebih sepi), sistem transportasinya mudah, dekat, dan terhubung satu sama lain.

Awalnya kami bingung harus ke mana setelah turun. Akhirnya kami mengikuti seseorang yang mengambil jalan setapak di samping halte. Ternyata tak jauh dari sana ada area pertokoan. Rupanya ini yang selama ini kami sebut kota tua. Namanya Stadplatz, mungkin lebih tepatnya bisa diartikan alun-alun. Bangunan di sana memang eye-catching. Kami asal jalan saja. Mengandalkan insting. Jika ada spot yang kece untuk foto, maka kami foto-foto. 

Dipaksa difotoin Mas Ervani. Dia sungkan saya yang ngefotoin melulu.

Spot ini sepertinya penanda posisi tengah Stadplatz

Tepat setelah melewati Stadplatz, kami menemukan jembatan tua yang kami cari. Jembatan ini menurut saya suasananya seram. Haha. Badan jalannya memang sudah aspal namun bahu jembatannya masih terbuat dari kayu. Di atasnya terdapat atap yang menutupi. Membuat suasananya gelap dan terasa seperti sedang berada dalam terowongan. Tipe atapnya yang hanya menyisakan sedikit ruang antara atap dan pembatas jembatan memberikan kesan terowongan itu rendah dan sempit. Saya kok curiga jembatan ini dulu jadi tempat persembunyian.

Setelah melewati jembatan, bukannya mengikuti jalan besar, kami malah mengikuti jalan setapak untuk turun ke bawah jembatan. Di sana ada jalan setapak yang ternyata cukup becek. Mungkin bekas hujan semalam. Sungainya bersih dan bening. Keren ya. Ga ada yang buang sampah di sungai. Manusianya keren juga. Mereka terpikir untuk memfasilitasi agar lingkungannya bersih, pun yang difasilitasi mau mendukung.

Di bawah atap jembatan


Dari sini kami turun ke pinggiran sungai


Pemandangan dari atas jembatan tua. Bersih ya. Keren!

Jalan setapak tadi menggiring kami menuju jalan yang ditutup. Kami terpaksa menuju jalan besar dengan terlebih dahulu melewati jalur yang saya yakin sebenarnya tidak diperuntukkan bagi orang umum. Jalur yang saya maksud ini bahkan tidak bisa dibilang sebagai jalan. Jauh lebih becek dibandingkan dengan jalan setapak pinggir kali. Rasanya seperti sedang melewati pekarangan tetangga. Ada rasa khawatir jika tiba-tiba ketahuan menyusup tanah orang kemudian dimarahi. Hihihi.

Kira-kira begini rute kami di Aarberg

Di Aarberg, suasana semakin dingin dan berangin. Keliru sekali saya berkesimpulan bahwa hari itu tidak akan sedingin kemarin-kemarin. Saya luput memperhitungkan kecepatan angin dan real feel suhu. Entah karena sudah kedinginan atau memang terlihat sudah tidak ada hal menarik untuk dieksplor, kami memutuskan untuk kembali ke stasiun. Mencari kehangatan.

Sesampainya di jalan raya, dibantu gmaps, kami mencari jalan kembali. Rupanya kami bisa mengambil rute memutar dari titik awal kami di seberang stasiun tadi.

Stasiun di Aarberg sangat kecil. Lebih kecil dibandingkan dengan Lyss. Saya bisa mengumpamakan stasiun ini seperti Stasiun Ngadiluwih di Kediri.

Di sana, kami mencoba menggunakan mesin tiket BLS untuk membeli tiket Aarberg-Biel. Later on, saya tahu dari Mas Schwab bahwa BLS (Bern-Lötschberg-Simplon) adalah kereta yang dioperasikan di daerah Bern saja. KA lokal lah. Meski lokal begini, kereta-kereta BLS sudah dimasukkan ke dalam data aplikasi SBB Mobile yang pernah saya ceritakan di sini. Aarberg beneran kota kecil ternyata hehehe. Soalnya yang berhenti di sana ya cuma kereta BLS. Anyway, Aarberg-Biel menggunakan kereta dihargai CHF9,2.

Usai membeli tiket, kami menunggu kereta di dalam shelter. Kami sebenarnya tak tahu shelter di stasiun ditujukan untuk apa. Dugaan kami, itu untuk ruang merokok. Tapi bodo amat, kami kedinginan dan memerlukan perlindungan. Untung kami membawa sedikit camilan untuk mengisi perut. Perut yang beraktivitas juga membakar kalori yang menghasilkan panas tubuh kan. Setelah kereta tiba, kami buru-buru naik. Mencari kehangatan.

Maaf. Kagak ada foto-foto pribadi di Stasiun Aarberg. Terlalu malas karena kedinginan.

Biel

Perjalanan Aarberg-Biel dengan kereta memakan waktu sekitar 20-30 menit. Stasiun Biel cukup besar. Lebih besar dari Stasiun Lyss namun tidak sebesar Stasiun Bern. Sebelum keluar stasiun, kami (saya sih wkwk) mampir ke sebuah toko buku. Di sana, bukannya saya yang belanja, justru Mas Nugroho yang mendapatkan payung sebagai belanjaannya. Di luar stasiun cukup ramai. Saya bisa bilang stasiun ini kastanya mirip lah dengan Stasiun Gubeng Surabaya.

Hal pertama yang kami lihat di depan Stasiun Biel

Btw Biel lebih sering ditemukan dalam pencarian internet dengan tulisan Biel/Bienne. Ternyata Biel adalah namanya dalam Bahasa Jerman, dan Bienne dalam bahasa Perancis. Keduanya merupakan dua dari empat bahasa utama di Swiss: German, French, Italian, dan Romansh

Tujuan utama kami di Biel adalah danau. Kami mengikuti peta menuju titik terdekat danau. Awalnya kami mau nongkrong di kafe pinggir danau tapi berdasar peta, lokasinya cukup jauh dari titik terdekat. Kami sudah terlalu kedinginan. Kami urungkan niat kami.

Semakin dekat dengan danau, rasanya udara semakin dingin karena angin semakin kencang. Tak tanggung-tanggung, saya sampai menggigil. Salah banget deh ga merhatiin kecepatan angin dan real feel.

Di pinggir danau, terdapat beberapa perahu. Setelah googling, saya baru tahu perahu ini digunakan untuk wisata. Waduh saya ternyata waktu itu saya mengunjungi kawasan wisata yang mayan mboys to. Ternyata ada wisata mengarungi danau Biel ke danau lain, Nauchatel misal. Wah wah. Pantas saja tepat di pinggir danau itu terdapat halte bus. Kala itu saya heran, kenapa ada halte bus di tempat yang sepi begini?

Suasana di pinggir danau sepi. Sangat sepi. Sepertinya wisata saat itu sedang libur atau mungkin belum buka. Anginnya sepoi-sepoi dan bergemuruh. Setelah mengambil sedikit gambar, kami berlindung di halte yang tedeng aling-alingnya cukup melindungi meski tetap saja saya mengigigil. Paling tidak terpaan angin berkurang.

Di pinggiran danau terdapat kapal-kapal yang dulu saya tak tahu bahwa itu ditujukan untuk wisata.

Sejauh mata memandang dari pinggiran danau. Anginnya super sepoi-sepoi😬

Mamang penjaga vila

Kira-kira begini rute perjalanan kami di Biel

Sebenarnya kami ingin menyusuri jalan selanjutnya untuk kembali ke stasiun (di gambar ditandai panah panah warna kuning). Namun kami urung. Dingin sekali. Daripada kami tersiksa kedinginan di tengah petualangan yang tak pasti, lebih baik kami melewati jalur sebelumnya.

Kami melewati toko roti dalam perjalanan kembali. Baunya sedap sekali. Perut saya terundang untuk lapar apalagi dingin-dingin begitu kan. Tapi saya ga minta untuk mampir sih hahaha. Jadi diempet doang pengennya.

Tiba di stasiun, kami langsung membeli tiket kembali ke Lyss. Naik kereta dari Biel ke Lyss dihargai CHF7. Karena jadwal keberangkatan masih cukup lama, saya mengajak mas-mas untuk ke convenience store di stasiun sekalian mencari kehangatan. Kali aja kami nemu sesuatu untuk oleh-oleh. Namun, nihil. 

Tinggal menunggu di peron. Karena peron adalah area terbuka, dingin kembali menyerang. Kami berlindung di shelter (yang kami duga) untuk perokok. Ga terlalu ngaruh sih kan di stasiun ga banyak angin kencang karena terhalang bangunan. Paling tidak kami bisa duduk.

Niatnya sih ngefoto tangan yang kering dan kedinginan tapi ternyata ga kelihatan.

Menuju Lyss

Dalam perjalanan menuju Lyss, untuk pertama kalinya saya menggunakan toilet di kereta. Haha sesuai pengalaman pribadi, karena rasanya ga afdhol kalau ada air tapi ga bebersih pakai air, jadi yaaaa saya sangu botol bekas dalam perjalanan seperti ini (termasuk sejak perjalanan kebarangkatan dari Indonesia karena ku tahu di tengah perjalanan pasti mampir ke toilet di Swiss).

Anyway, toilet di keretanya mungkin seukuran dengan toilet kereta di Indonesia namun rasanya lebih longgar, rapi, dan bersih. Fasilitasnya pun lebih yahud dibandingkan di kereta Indonesia meski yang kami tumpangi adalah kelas dua (ya iyalah harganya juga beda jauh). 

Tangan jahil kurang ajar Schwanzus Longus was here.

Di area wastafel toilet kereta ada (tentu saja) wastafel, dispenser sabun, kran air, tombol untuk flush WC (di samping WC juga ada), dan pengering tangan. Tak lupa simbol bahwa air dari kran itu tidak untuk diminum.

Intinya sih saya mau ngasih lihat bahwa di toiletnya ada kaca besar.

Pemandangan dari dalam kereta ya begitu saja. Sawah, perumahan, padang rumput. Sedap dipandang. Suasana dalam kereta juga khas. Tenang. Jika ada yang bicara akrab pun dengan suara yang tenang. Bikin kangen.

Sebenernya ini view perjalanan dari Lyss ke Biel tadi. Tapi kan ga ada yang tahu wkwk.

Tiba di Lyss, kami mengambil barang di Spatz dan menuju Weises Kreuz. Sorenya, cuacanya ramah. Mentari muncul, hangat melingkupi. Ingin kami mengunjungi convenience store di ujung jalan depan hotel arah Aarberg, mencari makanan sekaligus oleh-oleh. Namun sayang, tutup. Di Swiss, toko-toko tutup saat akhir pekan. Hanya area pusat keramaian yang buka, seperti area stasiun atau area wisata. Orang-orang Swiss lebih memilih menghabiskan akhir pekan di rumah. Katanya sih, weekdays sudah capek kerja, jadi weekend saatnya istirahat di rumah. Tipikal saya banget hahaha.

Akhirnya saya melanjutkan agenda membuka laptop (lupa ngapain) sambil makan Pop Mie dan berjemur mencari kehangatan.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh