Cerita Saja (19)

Kali ini merupakan kepulangan ke rumah yang paling lama, mengabaikan dua hari yang saya sempatkan untuk menikmati Bandung. Sejak Hari Raya Idul Fitri hingga sebentar lagi sudah Hari Raya Idul Adha, sudah sekitar dua bulan saya di rumah. Banyak hal terjadi pada "kepala" saya. Dari yang dulu sampai di rumah dengan stress karena tekanan pertanyaan dan ekspektasi orang-orang, hingga sekarang yang begini-begini saja.

Suatu hal urusan orang dewasa
Pada pos yang lalu-lalu, saya pernah menyinggung bahwa ada suatu hal urusan orang dewasa terjadi pada saya. Jujur, peristiwa ini membuat saya banyak berpikir dan, saya akui, membuat saya menjadi sedikit lebih dewasa, I guess.

Saya yang selama ini cuek-cuek saja tentang urusan nikah jadi mulai mikir wkwk. Berkat ini, saya jadi mikirin orang seperti apa yang saya inginkan untuk nanti menemani; membantu saya menentukan apa yang sebenarnya saya ingin lakukan karena waktu itu log-pose saya kacau; mentrigger saya untuk berkaca dari pengalaman orang yang sudah mengalami dan memikirkan akan bagaimana saya ingin mengurus keluarga saya nantinya; dan tentunya beberapa hal tentang masa depan yang sebenernya dipikir sampai sekarang pun saya belum nemu titik pemecahannya.

Urip kuwi wis diatur. Aja kakehan ndlangak!
Dulu, saat pertama saya sampai di kampung, log-pose memang belum jelas. Setelah jelas saya pengen kerja, sudah tertarik untuk apply-apply ke loker-loker -- beberapa sudah di-apply sih -- masalah kesehatan orang tua malah datang.

Pekewuh.  Satu sifat saya yang saya sadari dari kejadian ini : reaktif dan melebih-lebihkan perkiraan. Karena masalah ini, saya kurang mendapat restu untuk kerja di luar kota ini. "Kerja di sini aja, sedapet-dapetnya," begitu katanya. Saya diminta untuk membantu di rumah : momong -- sementara mbak saya ngajar; cuci baju, bersih-bersih, mengerjakan yang berat bagi ibu. Sementara hati masih ingin melanglang buana, melihat hidup di luar sana, mencari ilmu dan pengalaman, menantang hidup. Sementara dari sisi yang lain, sudah diperlihatkan kepada saya seberapa besar "tanggungan" saya, yang "mengharuskan" saya bekerja. Sebuah kondisi yang kontradiktif.

Saya sampai merutuk dalam hati, "why me? kenapa harus saya yang dikorbankan? kenapa ga mbak saya saja yang berhenti ngajar. Toh dia sudah ada yang menanggung. Why?" dst dst.

Ditambah lagi, selama saya menghabiskan waktu di rumah, ada beberapa hal yang saya korbankan : panitia AOTULE Summer program, datang ke tunangan teman sebangku, datang ke wisudaan teman pojok kanan bawah, buddy for int'l student orientaion, sebuah wawancara kerja, dan tentunya kesenangan hidup sendiri di rantau -- ya ada banyak hal positif dari hidup sendiri di rantau kan, bukan literally seneng-seneng doang.

Saat itu, dalam pikiran saya, saya harus bekerja seterusnya di sini hingga akhir nanti karena nanti harus membantu orang tua, mengurusi sekolah adik, dan membantu mengurus keponakan. Saya ngambek. Ngambek pada keadaan, mungkin pada Tuhan. Hingga akhirnya saya sampai pada pemikiran, "Sebenarnya hidup ini untuk apa? Apakah Tuhan mengharuskan kamu melakukan hal yang menurutmu keren? Tidak ada yang salah kan dengan bekerja di sini selain tidak sesuai dengan ego dan gengsimu?"

Setelah saya pikir dengan lebih tenang, "Hey, Nal! kamu bisa melakukan yang kamu mau setelah ibu sehat atau keponakan sekolah, kan?" Jadi, begitulah, saya kemarin sangat reaktif dan drama banget sampek mikir ini akan menjadi hal yang sangat buruk.

Godaan tak hanya di situ. Kemonotonan kegiatan di rumah membuat saya terlalu sering membuka media sosial, melihat berbagai kegiatan yang dilakukan teman-teman. Si ini yang sering begini terlihat beruntung sekali menemukan jalannya sesuai yang diinginkan (setahu saya). Si itu bentar lagi mau kuliah ke luar negeri. Si Abal udah kerja di sana. Si Anu jalan-jalan melulu. Si Ampar sudah melakukan kegiatan sosial ini. Si Ampir sudah kuliah di sana. dst dst. Sementara saya, di sini, berurusan dengan balita dan popoknya, berurusan dengan cucian baju, cucian piring, rumah yang harus dibersihkan dan kegiatan rumahan lainnya. Jujur yang sejujur-jujurnya, semua itu membuat saya iri. Saya jadi sering menasehati diri sendiri, "Hidup mereka sudah diatur. Demikian juga hidupmu, sudah diatur dari sononya. Yakin deh, di balik ini pasti ada hikmahnya. Pasti ada cerita bagusnya. Sudah-sudah." Dan akhirnya saya menguninstall dua sosial media : satu yang memancing iri, satu lagi yang bikin saya pusing pengen gonta-ganti profpict.

Dan beginilah, saya sudah berdamai dengan keadaan. Saya sadar keluarga saya membutuhkan saya, saat ini, di sini, bukan di tempat lain dengan kegiatan yang lain yang berpenghasilan sekalipun. Saya menganggap ini menganggur sementara, toh belum wisuda, jadi dinikmati saja waktu saat ini. Saya juga jadi kepikiran mungkin ini salah satu latihan buat nanti, karena saya minta pada Tuhan agar ketika saya punya anak nanti, saya diberikan pekerjaan yang dapat saya kerjakan dari/di rumah. Hal buruknya, saya jadi malas lihat-lihat loker di career center.

Pengen jadi penulis
Pemikiran-pemikiran yang terjadi, mebuat saya semakin ingin menjadi penulis. Saya ingin suatu saat saya bisa menjadi penulis buku. Bukunya diterbitkan, dibaca dan disukai orang banyak. Ada juga keinginan untuk menjadi penulis konten media massa cetak, saya ingin tulisan saya dimuat di media massa. Selain alasan idealis : ingin mengubah peradaban menjadi lebih baik melalui tulisan, salah satu alasan lainnya adalah menjadi penulis waktu kerjanya fleksibel sehingga nanti kalau sudah punya anak bisa disambi hehehe. Masalahnya adalah saya tak tahu bagaimana memulainya, apalagi tulisan saya masih berantakan begini bahasanya.

Sekian dari saya. Terima kasih dan sampai jumpa.

Comments

  1. Teruslah berkarya. I like it, aku tunggu crita selanjut.nya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Es Wawan