Omku Keren

I am on the train right now, on my way home. Kali ini saya pulang membawa barang cukup banyak. Oleh karena itu, kali ini saya akan dijemput Om Ihsan. Om Ihsan adalah adik bungsu ibu saya.

Beberapa malam yang lalu, saya menghubungi Om via SMS.
“Om, kalau aku pulang Kediri trus nyampe sana jam setengah 10 pagi gitu, Om bisa jemput ga?”
“Lha kapan?”
“Rabu atau Kamis ini.”
"Kalau mau pulang woro-woro ya. Aku tak gak usah kerja.”
“Lhah, rapopo? Aku nyari kereta yang lebih mahal tapi nyampe Kediri subuh deh.”
“Podho wae. Tetep wae aku ga kerja senajan subuh. Golek rambane pora yo kawanen hayo. Awan gapapa kok.”
“Yowis deh. Hahaa aku bawa koper sih jadi ga tega nyuruh Mbak Pah yang jemput.”

Ada hal yang “jleb” banget. “Podho wae. Tetep wae aku ga kerja senajan subuh. Golek rambane pora yo kawanen hayo. Awan gapapa kok.” Omaigod, lihat, Nal, apa yang dilakukan keluargamu di sana! Mereka bekerja keras!

SMSnya waktu itu membuat saya mengingat lebih jauh tentang Om Ihsan. He is a hard worker. I admit it. Saat ini, Om Ihsan belum punya pekerjaan tetap. Setau saya, sekarang beliau bekerja sebagai kuli bangunan yang dalam pikiran saya, pasti sangat amat melelahkan, dengan upah yang menurut saya tak seberapa. Maklum lah, Kediri kota yang belum besar, begitu pula standar upahnya. Dan hari ini saya membuat beliau tidak masuk kerja yang berarti saya membuat beliau kehilangan income untuk hari ini. Maafkan aku, Om. Semoga niat ikhlasmu dibayar jauh lebih banyak daripada apa yang kau korbankan.

Om Ihsan hanya lulusan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) yang di tempat saya disebut SMP Terbuka. SMP Terbuka bukanlah sekolah negeri, itu sekolah swasta. Di daerah saya, sekolah swasta kecil seperti ini dinilai tidak lebih baik dibandingkan sekolah negeri di daerah yang sama. Ya kecuali sekolah swasta yang sudah membuktikan prestasinya lah ya, tapi itu kan namanya bukan sekolah kecil lagi. Saat itu, SMP Terbuka hanya bersekolah dari jam 1 siang hingga jam 4 atau 5 sore, DAN TIDAK SETIAP HARI. Belum lagi lingkungan yang didapat, eum … untung saja Om Ihsan punya filter yang cukup baik. Dapat kalian bayangkan seberapa kurang layaknya pendidikan formal yang didapatkan Om Ihsan.

Beliau bekerja apapun yang bisa beliau kerjakan, kebanyakan beliau “menjual” tenaganya, kadang juga sedikit keahlian dari pengetahuannya. Mulai dari kuli bangunan, buruh tani, jualan, ngebenerin alat elektronik, ngebenerin bagian rumah yang rusak. Belum lagi mengurus sawah milik keluarga dan golek ramban buat makanan kambing.


Saya yakin, Om Ihsan pasti sering memikirkan kehidupan beliau : tentang pekerjaannya, tentang pendidikannya, atau mungkin yang lainnya. Beliau beberapa kali curhat ke saya, suka sama cewe tapi juga sekaligus nanya, si cewe yang notabene anak yang sekolah, apa iya mau sama dia yang ga sekolah tinggi, sekolah yang buat ngaji juga enggak (maksudnya sekolah ngajinya anak pondok). Ternyata masa lalunya mempengaruhi mental pencarian jodohnya.


Om Ihsan adalah orang yang, berdasarkan pengamatan saya, senang belajar. Beliau senang mengotak-atik barang. Beliau sering bertanya pada saya, misal rangkaian ini buat apa, kalau bikin rangkaian buat gini, saya bisa atau engga. Yah saya mah masih cupaks, ga ngerti apa-apa. Sepanjang hidupnya sampai saat ini, I guess, he never interact with computer. Terkadang beliau bertanya pada saya tentang bagaimana menggunakan facebook, gimana cara menggunakan komputer. Tapi ya, jahatnya, saya tidak memberikan semaksimal yang saya mampu.


Om Ihsan adalah orang yang kreatif. Dulu beliau pernah mengotak-atik radio rusak dan akhirnya bisa digunakan. Karena tidak punya casing untuk radionya (tinggal rangkaiannya doang), dibungkuslah rangkaian-rangkaian itu dengan triplek. Itu adalah radio ber-casing kayu triplek pertama yang saya pernah lihat. Beliau juga merakit alat sederhana untuk membantu orang-orang nggeblog pari*. It was simple, memanfaatkan barang-barang yang ada di rumahnya tapi manfaat dari barang simpel rakitannya dapat dirasakan hampir semua orang di sekitarnya. Di pasaran, mungkin sebenarnya sudah ada mesin untuk nggeblog ini tapi sepertinya cukup mahal. Usaha Om Ihsan yang hanya memanfaatkan barang-barang yang ada di rumah menurut saya hal yang keren. Lagian saya kan mau menggambarkan Om Ihsan yang kreatif. Selain itu, untuk mengurangi beban kerja emak (emak itu nenek saya), beliau mengubah sanyo** menjadi mesin untuk memarut. Ah saya cuma ingat itu.


*nggeblog pari adalah kegiatan memukul-mukulkan padi pada suatu alat yang saya lupa namanya untuk memisahkan padi dari pohonnya. Alat yang saya maskudkan masih meminta manuisa untuk memukulnya. Nah, Om Ihsan bikin alat buat nggeblog yang memanfaatkan putaran mesih diesel gitu jadi ga bikin capek. Saya belum lihat penggunaan alatnya secara langsung sih.
**mesin pompa air listrik di tempat saya lebih beken dengan sanyo. Ya semacem air minum kemasan yang lebih beken dengan Akua)

Melihat semua itu, saya yakin jika Om Ihsan diberikan kesempatan untuk belajar ke jenjang yang lebih tinggi, dia akan lebih hebat dibandingkan saya yang bocahnya kayak gini. Bayangkan saja, kombinasi hard worker, curious, dan kreatif. Bukankah hal yang hebat? Cukup berbeda dengan saya yang seperti ini.

Belakangan ini, sepertinya beliau ingin membuka usaha. Beliau tanya-tanya ke saya enaknya jualan apa. Tapi sayang sekali saya belum punya sense untuk bisnis. Kami juga terkendala modal. Tapi kata teman, kalau business plannya sudah jelas, modal akan datang sendiri. Ya karena sensenya belum ada, business plannya juga ga kebayang. Andai saja … Ah andai saja beliau diberikan kesempatan untuk belajar lebih tinggi, mungkin saat kuliah beliau sudah memulai bisnis seperti yang sudah beberapa teman saya lakukan.

Ah andai saja, andai saja …

Terkadang, bahkan saat saya kecil (pas Mbak saya SMA, brati saya masih SD), saya memikirkan bagaimana ya perasaan beliau melihat Mbak saya dapat sekolah di SMA Negeri di kota bahkan bisa kuliah sementara dia tidak. Saya sedih ketika memikirkan itu. Oleh karenanya (entah kenapa) saya merasa bersalah.

Om, maafkan keluargaku yang saat itu tak membantumu menuju pintu kesempatan untuk menikmati indahnya sekolah. Aku yakin, kau akan menjadi orang yang jauh lebih baik daripada sekarang in many ways, jika saja kesempatan itu datang. Aku tak tahu, apakah kau tidak melanjutkan sekolah karena masalah biaya atau memang kau tak mau. Tapi aku yakin alasan pertama lah masalahnya. Aku juga tak tahu, apakah saat itu keluargaku memang tak dapat membantumu atau tidak. Saat itu memang ekonomi kami sangat buruk, tapi kupikir seharusnya kami bisa mengusahakan untuk membantumu, bagaimanapun caranya. Seperti bagaimana bapakku memperjuangkan aku, mbakku dan adikku bagaimanapun caranya asal halal. Karena setelah kupikirkan di saat aku sudah di umur sekarang, saat itu harusnya ibu dan bapakku juga punya andil di sana. Oleh karena itu, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Untuk membalasnya, izinkan suatu saat nanti aku membantu menyekolahkan anak-anakmu nanti.

Kau mungkin tak akan pernah membaca tulisan ini tapi … biar saja. Aku sedang ingin.

Comments

Popular posts from this blog

Es Wawan