Belajar Ikhlas
Blog ini udah ga ada yang beneran baca selain diri sendiri kan ya?
Jadi gini. Trigger curhatan ini muncul karena barusan saya mengalami penolakan. Simpel sebenernya tapi membekas.
Entah mengapa beberapa hari ini saya merasa kesepian. Di satu sisi, saya merasa kehilangan teman-teman dekat di kantor (maksudnya di divisi). Di sisi lain, saya beberapa hari tidak berjumpa geng baru saya. Dengan kondisi seperti ini, rasanya sepi. Kesepian lebih tepatnya. Kangen pun melanda.
Ada ajakan untuk makan bareng di kos saya. Saya setuju tapi satu orang lebih memilih nonton pertandingan sepak bola. Emyu. Ide makan bersama tadi dibatalkan.
Saya kecewa. Saya yang biasanya menahan-nahan untuk bergantung pada mereka sudah bilang kangen loh tapi ternyata teman saya satu ini lebih memilih nonton bola. Sepele memang tapi saya kecewa. Muncullah dalam hati, "Buat apa selama ini saya selalu mengusahakan ada saat mereka butuh kalau ternyata dalam kondisi saya kesepian begini mereka tidak lantas ada untuk saya? Padahal sering saya menunda mengerjakan sesuatu demi dapat menemani mereka. Memenuhi kebutuhan sosial (dan mungkin psikologis) mereka."
Setelah dipikir-pikir, kalau saya mikirnya gitu, berarti saya ga ikhlas dong membantu mereka. Kok pamrih gitu.
Ya harusnya kecewanya has nothing to do with what you have done for them, Nal. Kecewa boleh tapi ya kecewa aja gitu. Ga usah dikait-kaitkan dengan apa yang sudah dilakukan untuk mereka. Wajar kok kecewa karena harapan kita tidak terpenuhi. Makanya jangan menaruh harap pada manusia, Nal. Berharap sama Allah aja.
Memang cuma Allah yang paling ngerti. Allah yang Maha Lembut, Maha Teliti.
Lagipula orang lain juga perlu has their own time, Nal. Mungkin temanmu memang sedang butuh nonton bola demi kesehatan mentalnya.
Rupanya ikhlas itu ga gampang ya. Secara ga sadar ketidakikhlasan baru terlihat nanti-nanti bahkan dengan cara dan peristiwa sesimpel ini.
Comments
Post a Comment