Posts

Showing posts from April, 2020

Menuju Lyss, Bern

Dari Bandara Zürich, kami naik kereta menuju Lyss via Bern. Pada kisah sebelumnya, saya sudah mengaktifkan paket data sehingga dapat melihat jadwal kereta. Untuk melihat jadwal kereta di Swiss, kami menggunakan SBB Mobile App. Meskipun ada aplikasi lain yang memungkinkan untuk melihat jadwal kereta, SBB Mobile ini yang digunakan nationwide. Memang SBB adalah perusahaan penyedia jasa kereta api nasional di Swiss, semacam KAI kalau di Indonesia. Jadi SBB Mobile adalah KAI Access di sana. Pembayaran sebenarnya dapat dilakukan via aplikasi tersebut dengan kartu kredit. Namun, karena sangu kami tidak dalam kartu kredit, kami membeli tiket fisik.

Tampilan SBB Mobile.

Sejenis kereta yang kami tumpangi

Suasana peron di stasiun Zürich Flughafen

Pemilahan sampah yang dilakukan: kertas - aluminium (kaleng) - botol plastik - sampah lainnya

Tiket kereta kelas 2 Zürich Flughafen - Lyss berharga 61CHF. Beda kelas 1 dan kelas 2 adalah tempat duduk. Kelas 1 mendapatkan kepastian tempat duduk, amat berguna untuk perjalanan jauh yang sering penuh. Sementara itu, tidak ada tempat duduk khusus untuk kelas 2. Selama ada tempat duduk kosong, dipersilakan duduk. Namun, selama perjalanan kami, selalu ada tempat duduk kosong cukup banyak kok. Setelah googling lebih lanjut, ternyata tempat untuk kelas 1 tempat duduknya lebih nyaman dan jendelanya lebih lebar. Di beberapa rute, kelas 1 dapat memperoleh meal on train.

Untuk perjalanan antar-kota begini, kelas 2 menurut saya sudah cukup nyaman. Begini saja kami berempat sudah ber-wah ria.

Disediakan tempat koper. Belakangan saya pernah lihat di kereta Jakarta - Madiun (lupa kereta apa) juga sudah menyediakan tempat koper begini

Cukup lengang dan nyaman.

Agar saya selalu mengenang kebersamaan dan kedekatannya, saya rasa swafoto cukup perlu untuk dilakukan.

Model kami sedang sholat di kereta

Tiket fisik Zürich Flughafen - Lyss via Bern

Rute kami Zürich-Bern-Lyss. Tiba di Bern, kami berganti kereta. Saya pikir kami akan kebingungan. Ternyata fasilitas di sana membuat menemukan peron menjadi mudah. Maaf sekali saya hanya mendokumentasikan satu suasana di Stasiun Bern. Kami sudah rempong dengan barang bawaan.

Sebuah lorong menuju peron di Stasiun Bern

Dalam perjalanan Bern - Lyss

Kami tiba di Lyss sekitar pukul 16.30 waktu setempat. Selanjutnya kami harus berjalan menuju hotel. Kami menginap di Hotel Weisses Kreuz -- dan beberapa hari setelahnya pindah ke hotel lain untuk selanjutnya kembali lagi ke hotel lama. Lokasinya tidak jauh dari Stasiun Lyss. Banyak toko sepanjang perjalanan menuju hotel. Menulis ini, membuat saya ingat suasana sore itu. Menyenangkan sekali. Bahkan cuacanya masih terbayang.

Di depan Stasiun Lyss

Berikut saya lampirkan sebuah dokumentasi perjalanan menuju hotel agar pembaca yang budiman dapat terbayang indahnya sore itu.


Karena judulnya Menuju Lyss, Bern, kurang pas rasanya jika tulisannya dibawa ke mana-mana. Cukuplah hingga sampainya kami di Lyss, Bern saja. Akhir kata, akhirnya saya tiba di kamar hotel.


Btw Lyss adalah sebuah kota kecil di Canton of Bern. Orang Swiss asli menyebutnya village. Kami, dengan representasi village sendiri, tidak bisa menerima sama sekali bahwa area seramai itu disebut village. Bagi kami, tetap saja itu adalah sebuah kota.

Baiklah. Sampai jumpa!



Tentang Niat

Beberapa waktu yang lalu, pada hari ketika semangat saya tidak begitu cerah, saat melewati gerbang tempat saya bekerja, sebuah pertanyaan muncul dalam benak.

Kenapa orang-orang ini mau bersusah-susah berangkat pagi-pagi, menghambakan diri pada tempat ini? Apa motivasi mereka?

Masing-masing orang pasti berbeda. Dugaan yang terpikir dalam benak adalah:
1. Memenuhi kebutuhan finansial
2. Bertemu teman
3. Mengisi waktu daripada nganggur di rumah
4. Aktualisasi diri, berkarya
5. Bentuk tanggung jawab atas tugas
6. Rutinitas saja

Lantas saya bertanya, mengapa pula saya yang lagi malas ini mau-maunya berangkat juga? Alasan paling pas bagi saya adalah rutinitas. Mungkin ada alasan yang terpendam lebih dalam, yang tidak disadari, yaitu tanggung jawab. Mungkin di alam bawah sadar sudah terpatri bahwa ini adalah sebuah amanah. Jika tidak dijalankan akan menyusahkan orang lain. Makanya di tengah kemalasan masih ada kemauan untuk berangkat.

Tak lama kemudian, saya menemukan ayat ini

يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ ۚ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (Q.S. Saba' : 13)

Agama Rutinitas

Beberapa hari yang lalu, saya melakukan obrolan teks dengan Mbak Primadini. Dimulai dengan pernyataan sadar diri bahwa kami melakukan sholat hanya untuk sekadar menggugurkan kewajiban. Miris sekali. Saya sendiri sering bertanya-tanya apakah niat sholat saya sudah benar. Selama ini mau sholat ya sholat saja. Apakah ini benar atau salah? wallahu a'lam.

Dalam pikiran saya, alangkah indahnya jika tiap melakukan sesuatu kita sadar alasan di baliknya. Kita sadar senyata-nyatanya bahwa niatnya memang karena Allah. Bisa jadi karena cinta Allah, atau mungkin karena rasa terima kasih pada Allah, atau karena takut pada Allah, atau ... apalagi? Bukan apa-apa. Saya takut saja jika ternyata saya hanya beragama rutinitas. Atau mungkin seperti kata Al-Quran, hanya beragama nenek moyang. Hanya melakukan sesuatu tanpa mengambil esensinya.

Ngomongin masalah niat dan agama nenek moyang ini, saya jadi ingat postingan ini.

Sampai sekarang, saya penasaran gimana rasanya hidayah yang didapat para muallaf. Saya menduga berislamnya seorang muallaf bisa jadi lebih mantap daripada berislamnya  saya. Karena mereka mengalami proses mencari dan menemukan alasan hingga mereka memilih Islam sementara saya terbiasa melakukan ajaran-ajaran Islam sejak kecil, karena lingkungan yang juga Islam.

Mungkin karena menemukan sendiri, mereka lebih menyadari indahnya Islam dan kebesaran Tuhan. Mungkin mereka lebih mantap melakukan sholat karena mereka tahu mengapa mereka mau sholat. Mungkin mereka yang baru berhijab lebih jelas kenapanya, lebih tegak niatnya.

Saya sendiri bertanya-tanya, kenapa saya berhijab? Karena perintah? Lantas kenapa saya mau-maunya taat aturan? Nyatanya saya tidak memikirkan itu saat sedang mengenakan hijab. Mau keluar ya pakai saja. Aneh dan malu rasanya kalau ga pakai. Sholat juga begitu. Saya kadang bertanya-tanya, kenapa alam bawah sadar mengajak sholat ketika sudah masuk waktu? Kenapa diri saya mau diajak sholat? Rasanya saya mau sholat ya berangkat saja. Tak berpikir kenapa-kenapanya.

Ini yang kadang saya khawatirkan. Saya khawatir bahwa menjalani rutinitas agama tanpa esensi hanyalah menjadi beragama rutinitas.