Posts

Showing posts from April, 2019

Ramadhan Sebentar Lagi. Sudah Siap?

Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Jujur, saya miris melihat diri saya sendiri yang malah nggleyor. Belakangan saya merasa secara spiritual terjadi kemunduran padahal seharusnya saya menata hati, mempersiapkan diri untuk Ramadhan.

Karena kontemplasi beberapa tahun belakangan membuat saya sadar, Ramadhan bukan hanya sekadar puasa fisik. Kontemplasi yang akhirnya mempertanyakan apakah Ramadhan saya cukup berarti ataukah saya merugi?

Kontemplasi saya dimulai dengan melihat kenyataan banyak kompensasi-kompensasi yang diberikan ataupun saya lakukan karena sedang puasa. Contoh: bermalas-malasan. Memang puasa mungkin cenderung membuat badan lemas karena tidak mendapat asupan secara terus menerus, lantas apakah ini berarti wajar untuk menjadi bermalas-malasan?

Lalu urusan makan. Kalau saya pikir-pikir, puasa atau engga bagi saya sama saja dalam hal makanan. Karena saya biasa makan sehari dua kali. Kalau puasa jadi cuma geser jam makan saja kan? Lantas apa artinya semua ini kalau cuma geser jam makan? Pasti ada sesuatu yang lain.

Selanjutnya melihat perilaku banyak orang yang saya lihat termasuk diri saya sendiri saat waktu buka. Makanan yang disajikan sering dibuat spesial, tak seperti biasanya. Banyak orang berjualan ini-itu yang menurut saya akhirnya mengundang konsumerisme. Ditambah tak sedikit yang makan banyak-banyak selama waktu diperbolehkan makan. Jika demikian, apakah puasa yang kata orang untuk membersihkan fisik jadi menghasilkan hal yang sama? Apakah puasa yang katanya menahan diri hanya dilakukan pada saatnya lantas di saat berbuka kita mengumbar pemuasan nafsu?

Sebenarnya bermunculannya penjual spesial Bulan Ramadhan bukanlah hal yang negatif. Banyak orang mendapatkan rezekinya dari jalan itu dan itu bukanlah hal yang haram dilakukan. Memberikan hal spesial untuk diri sebagai hadiah atas perjuangannya juga bukan hal yang salah sama sekali. Hanya saja, mungkin kita perlu merenungkan diri apakah yang kita lakukan masih wajar atau sudah terlalu melenceng dari esensi utama.

Satu hal lagi yang menurut saya cukup berpotensi menjebak: persiapan lebaran. Gini. Entah pemikiran saya benar atau tidak, saya merasa ada yang salah dengan persiapan lebaran. Saya melihat di lingkungan kita sudah seperti sebuah keharusan untuk sementara "bermewah-mewah" untuk menyambut lebaran. Seolah-olah harus untuk membeli jajan lebaran ini dan itu, pakaian ini dan itu, ngasih parsel ini dan itu, dsb. Semua itu sama sekali bukan hal yang salah. Malah sebenarnya baik sebagai bentuk menghargai diri, orang lain, dan bulan suci itu sendiri. Tapi "seolah-olah harus"nya ini loh. Saya merasa miris ketika orang-orang harus memaksakan diri bekerja keras bagai quda sampai rela meninggalkan ... Sholat tarawih misal yang hanya ada setahun sebulan yang tidak akan ditemui selain di bulan dia bekerja keras bagai quda ini demi sebuah "adat" lebaran harus baju baru, jajanan enak terhidang, dan memberi sangu bocah-bocah. Apalagi kalau kerja keras bagai quda demi adat keharusan ini sampai membuatnya meninggalkan puasa. Sangat disayangkan kan? Padahal semua itu bukan keharusan. Itu hanya seolah-olah harus karena orang-orang umumnya melakukan hal yang demikian. Again, hal-hal tadi sama sekali tidak salah, hanya sepertinya rugi jika sampai melencengkan kita dari hal yang esensial.

Hal lain dimana saya sering merugi dalam bulan Ramadhan adalah gimana saya menjalani hidup seperti biasa saja. Kurang ada atau malah tak ada peningkatan kualitas diri dalam sebulan itu. Bulan yang harusnya di sana banyak agenda pdkt, banyak merenung, refleksi diri, berdoa, belajar, malah dilalui dengan biasa-biasa saja padahal kesakralan bulan itu luar biasa. Bahasa lainnya sih pahala lagi promo gedhe-gedhean.

Ketika Ramadhan berganti menjadi Syawal lantas bertanya-tanya apa yang meningkat dari diri. Dan apa yang ditemui?

Makanya menata hati menyambut bulan spesial ini perlu agar saat tiba, kita siap untuk tidak melewatkan promo yang ada. Pun siap untuk menyelam dan mendapat mutiara esensi dari kegiatan bulan ini.

The Weird Me: Pernikahan

Belakangan saya sadar ada satu hal lagi yang agak ga umum dari diri saya. Dari pengamatan saya di lingkungan, orang-orang seumuran saya rata-rata sudah memikirkan pernikahan, sudah ada keinginan untuk menikah. Ga jarang saya nemu mereka baper kalau ke mantenan atau sekedar dapet undangan ke nikahan.

Nah saat saya ngaca, kok yang saya dapati diri saya tidaklah demikian. Di beberapa kasus kehidupan memang entah kenapa saya antimainstream makanya agak susah nyari yang klop sepemikiran. Tak terkecuali kasus ini.

Saya sendiri seringnya merasa saya masih 16-17 tahunan. Ini ngomongin kelakuan dan psikologis loh ya. Saya sering lupa bahwa seumur-real saya sebenernya sudah menjadi hal yang biasa untuk memikirkan dan membicarakan perihal jodoh dan pernikahan.

Sekarang diri saya lebih mending loh. Sekarang saya sudah sadar bahwa hal tersebut wajar. Sebelum wisuda, saya masih merasa nikah itu urusan orang gedhe. Masih terasa memalukan untuk saya saat itu untuk membahas masalah jodoh.

Meski sadar bahwa sudah wajar, saya ga yang baper pengen nikah. Mungkin belum sih haha. Saya hanya sadar bahwa suatu saat saya akan menikah. Bahkan meski belum ada calon entah dapat wangsit dari mana, saya punya feeling saya akan nikah ga lama setelah kontrak kerja sekarang berakhir. Saya justru tertarik pada hal yang dilewati setelah pernikahan: tentang punya anak. Saya lebih tertarik dengan bahasan tentang bagaimana perasaan punya anak, bagaimana anggapan orang pada umumnya terhadap anak dan harusnya bagaimana, bagaimana cara mendidik anak, bagaimana orang tua berpengaruh terhadap anaknya, gimana rencana kegiatan (pekerjaan) saya kalau sudah punya anak, dsb. Intinya sih tentang gimana dealing dengan amanah yang namanya anak.

Di situlah anehnya saya. Menurut saya ketertarikan pikiran saya ini agak ga umum. Kayak loncat gitu soalnya. Sempet nanya ke satu orang sih apakah pas dia memutuskan punya anak sudah memikirkan konsekuensi bahwa harus begini begini, harus persiapan begini begini, harus berubah begini begini. Dan jawabanya: dia baru kepikiran setelah punya anak. Sementara saya malah ga baper nikah, ga mikirin nanti harus gimana ke suami, ... Harus mikirin apa sih soal pernikahan??? Saya malah lebih tertarik sama yang berhubungan dengan menjadi orang tua. Gatau sih kalau ternyata fenomena saya ini biasa aja. Hahaha

Cita-cita

Saya punya cita-cita baru: jadi penulis. Yang utama sih penulis buku baik fiksi atau nonfiksi tapi ga bisa dipungkiri saya juga pengen jadi content writer. BTW kalau dibilang baru, engga juga sih ya kan saya udah state ini publicly sejak saya update laman about haha.

Semakin ke sini, saya melihat menjadi penulis tuh keren banget. Saya pengen jadi penulis yang bisa membawa pembaca masuk ke dunia buatan saya. Berimajinasi, merasakan ketegangan, kebahagiaan, kesedihan, dan segala jenis emosi yang ada di tulisan saya. Orang yang sering baca pasti sadar ada beberapa perubahan yang terjadi pada diri mereka karena tulisan. Tulisan secara tidak sadar dapat merasuk di hati, menanamkan doktrin, mengembangkan harapan, menusuk kepala batu, mencuci otak, membuat perubahan. Keren kan?

Membiarkan orang lain membaca tulisan kita adalah sebuah tanggung jawab yang tidak main-main. Ya karena tadi: kita bisa menyemai perubahan umat melalui tulisan. Akan sangat membahagiakan jika karya kita turut berperan dalam sebuah perubahan menuju kebaikan.

Meski saya bercita-cita demikian, saya masih belum tau tulisan seperti apa yang ingin saya jadikan genre karya utama saya. Apakah cerita fiksi, atau puisi, atau sharing pengalaman dan motivasi, saya belum tahu. Saya latihan semampu saya saja dulu.

Saking pengennya saya jadi penulis, saya pernah nulis di status WA (hahaaa ga install ig sih wkwk hanya dishare ke sekitar 26 kontak pula), target saya ketika kontrak kerja saya habis sudah ada draft tulisan siap kirim ke penerbit. Kalau bisa sih pas kontrak berakhir bukunya udah terbit biar bisa dikasih buat kenang-kenangan ke best persons di tempat kerja kalau saya ga lanjut kontrak. Kalau lanjut yaaa tetep dikasih. Hahaha. Meski begitu, saya masih tetep belum kebayang sih buku kayak gimana yang cocok saya tulis. Mungkin ada yang mau kasih masukan berdasarkan pengalaman mengenal saya baik secara langsung atau melalui tulisan? Woy Nal, emang di sini ada yang baca? Kan lu milih bercurhat ria di sini karena ga ada yang baca wkwkwk.

Yaudah aminin aja lah ya cita-cita saya.

Cita-cita pertama saya adalah menjadi guru. Sudah sempat tercapai karena sebelumnya saya memang sempat ngajar les. Ngajar ternyata ngangenin juga. Dulu saya ngajar banyakan anak SMP. Saya merasa nyambung sama mereka. Hihihi

Selanjutnya, cita-cita saya kalau ga enjiner ya jadi ilmuwan. Masuk dunia kuliah, terseok-seok menghadapi dunia tapi tetap saja saya masih ingin jadi enjinir. Bahkan saya masih berani bermimpi kuliah enjiniring lagi meski menyadari keterseokan yang begitu berarti. Kesulitan yang pernah bikin diri kayak mayat hidup. Memenuhi ciri-ciri makhluk hidup tapi jiwanya mati. Kesulitan yang membentuk saya seperti sekarang ini, entah baik entah buruk.

Saat ini, posisi saya ada di cita-cita ini. Pengalaman selama beberapa bulan ini memang banyak menampar saya. Menyuburkan pikiran bahwa mungkin dunia saya bukan di sini. Tapi bisa jadi kan sebenarnya tempat saya memang di sini, cuma perlu waktu untuk belajar dan healing myself dari segala efek buruk pengalaman hidup sebelumnya.

Nanti jika saya harus meninggalkan pekerjaan ini, saya mau serius menulis dan nyemplung ke dunia pendidikan, ikut gerakan-gerakan di bidang pendidikan. Kalaupun nanti saya jatuh cinta cukup dalam sama enjiniring, saya akan tetap serius dengan dunia menulis, mungkin peran di dunia pendidikan yang porsinya akan agak kurang.

Dari kedua skema tadi sih common thing nya saya mau serius menulis. Ga peduli apakah akan menjadikannya profesi utama atau tidak. Yang jelas saya ingin karya saya dibaca orang banyak dan memberikan efek yang baik. Kalau bisa menekuni jadi penulis, enjiner, dan ikut gerakan pendidikan sih mantap syekali. Aamiin.

Cerita Saja (20)

Wah judul Cerita Saja muncul lagi! Terakhir muncul sekitar dua tahun lalu. Seperti namanya, Cerita Saja berisi sekadar cerita apapun yang ada di kepala. Alurnya tak beraturan. Hahaha.

Tadi malam saya nonton Mata Najwa On Stage Kediri (tapi di yutub haha). Tokoh tamunya orang-orang keren semua. Tapi jujur, di mata saya yang paling keren adalah Pak Fuadi, novelis, karena beliau yang pernah menginspirasi saya secara langsung melalui karya-karyanya. Hehehe.

Orang-orang keren emang biasanya penuh dengan energi positif. Energi itu menular ke orang-orang sekitarnya. Empat orang keren di panggung energi positifnya meluber-luber sampai ke saya yang cuma menikmati lewat hp ini. Dan entah bagaimana mereka bisa membangkitkan harapan, membangkitkan optimisme, membangunkan mimpi-mimpi yang terlelap tak berdaya ditelan realita.

Saya teringat akan impian saya. Mimpi untuk belajar di Jepang. Tak hanya Jepang sebenarnya tapi di manapun itu, sejauh apapun itu. Mimpi untuk keliling dunia. Apalagi saat ini saya lebih sering mengeluhkan hidup saya. Mengeluhkan hidup yang harus saya jalani karena keputusan yang didasari rasa tak enak. Hal ini menambah pertanyaan apakah saya harus mengejar mimpi saya untuk melanjutkan studi? Jika ya, saya perlu bersiap-siap sejak dini.

Kalau dipikir-pikir, mimpi lanjut studi terutama di luar negeri dan di institusi yang lebih baik daripada institusi yang saya tempati sebelumnya tuh sepertinya khayal buat saya. Malah mungkin saya tak tahu diri karena berkaca dari pengalaman sebelumnya, di sekolah sebelumnya saja saya terseok-seok, gelagapan untuk menyelesaikan tanggung jawab lha kok mau narget sekolah yang secara kualitas lebih baik dan keren. Lha wong dihadapkan dengan kerjaan begini saja ngeluhnya ga karuan lha kok mimpi masuk ke lingkungan akademik nan keren. Ini perang yang harus saya selesaikan dalam diri saya: ke mana sebenarnya saya mau melangkah.

Despite the pessimism above, bangunnya mimpi-mimpi itu mengingatkan saya pada seseorang yang spesial. I think we were close enough but now ... It seems great wall grows between us haha. Saya ingat bagaimana kami dulu berbagi impian kami. Kebahagiaan saya selalu membuncah, tumpah-tumpah setiap membicarakan mimpi bersama dia. Tak tahu dari sisinya apakah juga demikian.

Tiga bulan yang lalu saya memutuskan mengirimkan sebuah surat untuknya melalui e-mail. Tak berbalas. Saya sendiri tak tahu apakah dia sudah mengetahui surat tersebut dan sudah membacanya atau belum. Sebenarnya saya sudah bertekad bahwa menulis surat tersebut merupakan satu langkah untuk move on. Untuk mengeluarkan semua yang saya pendam agar lebih longgar ruang dalam diri. But even though I said that I wanna move on, nyatanya sudah tiga bulan dan saya belum bisa. This scares me karena jika ternyata takdir kami memang akan bersama orang lain, apakah bayangannya akan benar-benar pergi? Semoga. Semoga Allah jadikan itu mudah bagi saya. Semoga hidup masing-masing kami bahagia. Dan semoga kami tetap menjadi teman baik dan tak ada masalah terkait itu. Amin.

----

Ini saya kok tumben ngomongin ginian sih haha