Posts

Showing posts from August, 2017

Cerita Saja (19)

Kali ini merupakan kepulangan ke rumah yang paling lama, mengabaikan dua hari yang saya sempatkan untuk menikmati Bandung. Sejak Hari Raya Idul Fitri hingga sebentar lagi sudah Hari Raya Idul Adha, sudah sekitar dua bulan saya di rumah. Banyak hal terjadi pada "kepala" saya. Dari yang dulu sampai di rumah dengan stress karena tekanan pertanyaan dan ekspektasi orang-orang, hingga sekarang yang begini-begini saja.

Suatu hal urusan orang dewasa
Pada pos yang lalu-lalu, saya pernah menyinggung bahwa ada suatu hal urusan orang dewasa terjadi pada saya. Jujur, peristiwa ini membuat saya banyak berpikir dan, saya akui, membuat saya menjadi sedikit lebih dewasa, I guess.

Saya yang selama ini cuek-cuek saja tentang urusan nikah jadi mulai mikir wkwk. Berkat ini, saya jadi mikirin orang seperti apa yang saya inginkan untuk nanti menemani; membantu saya menentukan apa yang sebenarnya saya ingin lakukan karena waktu itu log-pose saya kacau; mentrigger saya untuk berkaca dari pengalaman orang yang sudah mengalami dan memikirkan akan bagaimana saya ingin mengurus keluarga saya nantinya; dan tentunya beberapa hal tentang masa depan yang sebenernya dipikir sampai sekarang pun saya belum nemu titik pemecahannya.

Urip kuwi wis diatur. Aja kakehan ndlangak!
Dulu, saat pertama saya sampai di kampung, log-pose memang belum jelas. Setelah jelas saya pengen kerja, sudah tertarik untuk apply-apply ke loker-loker -- beberapa sudah di-apply sih -- masalah kesehatan orang tua malah datang.

Pekewuh.  Satu sifat saya yang saya sadari dari kejadian ini : reaktif dan melebih-lebihkan perkiraan. Karena masalah ini, saya kurang mendapat restu untuk kerja di luar kota ini. "Kerja di sini aja, sedapet-dapetnya," begitu katanya. Saya diminta untuk membantu di rumah : momong -- sementara mbak saya ngajar; cuci baju, bersih-bersih, mengerjakan yang berat bagi ibu. Sementara hati masih ingin melanglang buana, melihat hidup di luar sana, mencari ilmu dan pengalaman, menantang hidup. Sementara dari sisi yang lain, sudah diperlihatkan kepada saya seberapa besar "tanggungan" saya, yang "mengharuskan" saya bekerja. Sebuah kondisi yang kontradiktif.

Saya sampai merutuk dalam hati, "why me? kenapa harus saya yang dikorbankan? kenapa ga mbak saya saja yang berhenti ngajar. Toh dia sudah ada yang menanggung. Why?" dst dst.

Ditambah lagi, selama saya menghabiskan waktu di rumah, ada beberapa hal yang saya korbankan : panitia AOTULE Summer program, datang ke tunangan teman sebangku, datang ke wisudaan teman pojok kanan bawah, buddy for int'l student orientaion, sebuah wawancara kerja, dan tentunya kesenangan hidup sendiri di rantau -- ya ada banyak hal positif dari hidup sendiri di rantau kan, bukan literally seneng-seneng doang.

Saat itu, dalam pikiran saya, saya harus bekerja seterusnya di sini hingga akhir nanti karena nanti harus membantu orang tua, mengurusi sekolah adik, dan membantu mengurus keponakan. Saya ngambek. Ngambek pada keadaan, mungkin pada Tuhan. Hingga akhirnya saya sampai pada pemikiran, "Sebenarnya hidup ini untuk apa? Apakah Tuhan mengharuskan kamu melakukan hal yang menurutmu keren? Tidak ada yang salah kan dengan bekerja di sini selain tidak sesuai dengan ego dan gengsimu?"

Setelah saya pikir dengan lebih tenang, "Hey, Nal! kamu bisa melakukan yang kamu mau setelah ibu sehat atau keponakan sekolah, kan?" Jadi, begitulah, saya kemarin sangat reaktif dan drama banget sampek mikir ini akan menjadi hal yang sangat buruk.

Godaan tak hanya di situ. Kemonotonan kegiatan di rumah membuat saya terlalu sering membuka media sosial, melihat berbagai kegiatan yang dilakukan teman-teman. Si ini yang sering begini terlihat beruntung sekali menemukan jalannya sesuai yang diinginkan (setahu saya). Si itu bentar lagi mau kuliah ke luar negeri. Si Abal udah kerja di sana. Si Anu jalan-jalan melulu. Si Ampar sudah melakukan kegiatan sosial ini. Si Ampir sudah kuliah di sana. dst dst. Sementara saya, di sini, berurusan dengan balita dan popoknya, berurusan dengan cucian baju, cucian piring, rumah yang harus dibersihkan dan kegiatan rumahan lainnya. Jujur yang sejujur-jujurnya, semua itu membuat saya iri. Saya jadi sering menasehati diri sendiri, "Hidup mereka sudah diatur. Demikian juga hidupmu, sudah diatur dari sononya. Yakin deh, di balik ini pasti ada hikmahnya. Pasti ada cerita bagusnya. Sudah-sudah." Dan akhirnya saya menguninstall dua sosial media : satu yang memancing iri, satu lagi yang bikin saya pusing pengen gonta-ganti profpict.

Dan beginilah, saya sudah berdamai dengan keadaan. Saya sadar keluarga saya membutuhkan saya, saat ini, di sini, bukan di tempat lain dengan kegiatan yang lain yang berpenghasilan sekalipun. Saya menganggap ini menganggur sementara, toh belum wisuda, jadi dinikmati saja waktu saat ini. Saya juga jadi kepikiran mungkin ini salah satu latihan buat nanti, karena saya minta pada Tuhan agar ketika saya punya anak nanti, saya diberikan pekerjaan yang dapat saya kerjakan dari/di rumah. Hal buruknya, saya jadi malas lihat-lihat loker di career center.

Pengen jadi penulis
Pemikiran-pemikiran yang terjadi, mebuat saya semakin ingin menjadi penulis. Saya ingin suatu saat saya bisa menjadi penulis buku. Bukunya diterbitkan, dibaca dan disukai orang banyak. Ada juga keinginan untuk menjadi penulis konten media massa cetak, saya ingin tulisan saya dimuat di media massa. Selain alasan idealis : ingin mengubah peradaban menjadi lebih baik melalui tulisan, salah satu alasan lainnya adalah menjadi penulis waktu kerjanya fleksibel sehingga nanti kalau sudah punya anak bisa disambi hehehe. Masalahnya adalah saya tak tahu bagaimana memulainya, apalagi tulisan saya masih berantakan begini bahasanya.

Sekian dari saya. Terima kasih dan sampai jumpa.

Teruntuk Hati

Teruntuk hati yang terlalu mudah terserang iri,
Setiap orang sudah punya porsinya masing-masing,
Sudah diberikan jalan hidup masing-masing,
Sudah ditulis hidupnya sejak zaman azali

Teruntuk hati yang masih sering kalah dengan rasa takut,
Apa yang kautakutkan?
Semuanya akan terasa menakutkan selama kamu belum melakukannya
Bermimpilah
Tuhan memeluk mimpi-mimpimu
Apapun hasilnya, sudah ditulis sejak zaman azali

Teruntuk hati yang reaktif menanggapi akal,
Sudahkah kamu meminta akalmu bersabar sedikt untuk memikirkannya dengan tenang?
Pikirkan baik-baik!
Terkadang keadaan sebenarnya tak seburuk yang kaubayangkan dengan pikiran sesak

Teruntuk hati yang mudah putus asa,
Sudahkah kau curhat kepada Yang Maha Mendengar?
Renungi hidupmu, refleksikan diri

Dirgahayu!

Teruntuk negeriku, selamat ulang tahun yang ke-72! Semoga kau dijadikan semakin tangguh dan berjaya oleh Tuhan Yang Maha Esa. Aku memohon maaf karena aku belum memberikan apa-apa, masih banyak berkutat dengan diri sendiri. Semoga ke depannya semakin banyak manusia-manusiamu yang berbaik hati berbakti padamu. Termasuk aku, semoga selanjutnya aku dapat turut berkontribusi menjadikanmu lebih baik.

Nasionalisme memang timbul-tenggelam. Siapapun itu, saya yakin pasti semua orang mengalaminya. Salah satu momen dimana nasionalisme orang Indonesia naik secara serempak adalah hari kemerdekaan. Banyak kemeriahan terjadi di bulan Agustus : upacara kemerdekaan, segala jenis lomba untuk segala jenis tingkat pendidikan, pemasangan umbul-umbul dan bendera di setiap depan rumah, panjat pinang, pengajian, berbagai tontonan tradisional maupun klasik yang tak lekang dimakan waktu. Saya suka bulan Agustus. Umbul-umbul dan bendera sepanjang jalannya membuat saya merasa disambut. Lagu-lagu nasional yang banyak diputar membuat saya secara tiba-tiba mengingat cinta kepada negeri.

Lain halnya ketika hidup di luar negeri. Entah kenapa, yang saya rasakan, saya mendadak menjadi begitu cinta dan rindu Indonesia ketika saya kemarin sempat tinggal di luar negeri selama beberapa bulan. Kebanggaan dan syukur atas Indonesia muncul dalam kehidupan sehari-hari. Mendadak saya jadi sering baca berita. Jadi lebih serig memutar musik Indonesia secara random di aplikasi streaming musik. Saya jadi lebih sering menyadari bahwa banyak hal baik yang Indonesia punya : lokasinya yang membuat iklim terasa nyaman, tak super dingin, tak super panas; Keanekaragaman hayatinya banyak; Pulaunya banyak banget; Keanekaragamannya kaya banget. Kita kaya. Dan yang penting lagi, dengan kondisi geografis yang terpisah pulau-pulau dan kondisi sosial budaya yang beragam, kita bisa bersatu. Yea. Banyak hal dapat dibanggakan dari Indonesia regardless berbagai praktik yang menunjukkan kebobrokan di beberapa tempat. Kebobrokan dapat dimusnahkan dan diganti dengan yang baik.

Sebagai manusia doyan makan, salah satu hal yang paling membuat saya bersyukur adalah betapa Indonesia kaya akan makanan dan bahan-bahannya. Makanan di tempat saya numpang, rasanya tak sekaya rasa masakan Indonesia. Lihat saja di akun-akun instagram yang berhubungan dengan makanan, resep masakan Indonesia akan terlihat lebih ribet karena bumbunya banyak. Daun salam, daun jeruk, serai, kunyit, dan segala hal tetek bengek yang terlihat tak seberapa porsi pemberiannya ternyata memberikan kekayaan rasa yang bikin nagih. Beda banget deh sama masakan-masakan lain yang kebanyakan, yang saya lihat, cenderung instan bikinnya.

Perkara buah ternyata juga membuat saya bersyukur tinggal di Indonesia. Di Indonesia, saya dapat menemukan banyak jenis pisang : pisang kepok, pisang marlin (temen saya nyebut pisang unyil), pisang raja, pisang nangka, pisang susu, pisang maraseba, pisang kulit merah (ga tau namanya), dan masih ada beberapa jenis pisang yang saya sering makan tapi tak tahu namanya. Sementara selama di luar negeri, saya cuma nemu pisang yang dijual di supermarket, yang rasanya bagi saya kurang kaya : tak terlalu manis, tak ada sensasi masam seperti pada beberapa jenis pisang. Begitu pula dengan buah jeruk dan apel. Itu doang sih buah yang saya pernah beli di sana. Haha. Tapi seriusan, saya bersyukur banget perkara buah ini, terutama pisang karena saya suka pisang.

Lagi, Indonesia alamnya super bagus banget. Saat saya jalan-jalan di sana, yang sebenarnya hanya dua-tiga kota yang pernah saya datangi, saya sering banget membatin, "Ah, bagusan di Indonesia. Indonesia punya banyak yang lebih menarik." Hal yang paling menarik bagi saya selama di sana ya cherry blossom, itu yang ga bisa saya lihat di Indonesia kecuali imitasinya. Waktu itu, teman-teman dari Eropa sempat liburan ke Pulau Jeju. Saya pun tanya,

"Jeju gimana?"
"Surga. Itu pertama kalinya saya ke pantai selama hidup saya. Di negara kami ga ada pantai."

Bayangkan! seumur hidupnya, baru pertama kali dia ke pantai. Saya sangat bersyukur Indonesia punya banyak pantai yang super indah. Diam-diam, saya semakin pengen berkeliling Indonesia (ehm kalau sudah dipublikasikan gini namanya sudah bukan diam-diam sih).

Terima kasih, Allah, telah menjadikan Indonesia tempat yang penuh nikmat. Jadikanlah manusia-manusianya mencintai negerinya, merawat dan menjaganya, sehingga menjadi khalifah yang baik seperti yang dituturkan di Al-Qur'an.

Saya Pulang Lagi

Assalaamu'alaikum. Oraen mane!

I am on the train rite now keurigo I am gonna write about today's chaos and the prequel.

Sebenarnya saya baru sampai Bandung tiga hari yang lalu tapi hari ini saya pulang lagi ke kampung halaman. Rencana awalnya, saya ga akan balik hingga nanti wisuda. Saya mau menyelesaikan urusan-urusan kampus, dan tentunya melamar loker-loker. Sebenarnya melamar loker bisa dilakukan di rumah sih. Namun, saya adalah tipe orang yang kurang bisa melakukan pekerjaan seperti itu di rumah. Tiap liburan, rencana ingin belajar ini-itu, mengerjakan ini-itu, yang berhubungan dengan kuliah, pasti gagal. Di rumah, hampir tidak bisa membuka laptop, buka hp pun jadi lebih jarang. Banyak kegiatan dilakukan dengan berinteraksi langsung. Di rumah ya waktu buat sama keluarga. Mungkin itu yang tertanam di alam bawah sadar saya. Makanya, saya kemarin mikir mending saya cari kerja itu di Bandung biar fokus dan kalau ada panggilan pun mungkin akan lebih mudah, mengingat banyak loker yang menarik perhatian saya berlokasi kalau ga di Bandung, ya di Jakarta.

Saya juga sudah daftar buat jadi buddy for international student orientation. Sudah diterima. Harusnya kemarin jam 3 sore brifing dan hari ini hari pertama orientasi. Namun, sebuah kabar sampai ke saya. Ibu saya masuk rumah sakit. Saya ga tahu sih itu sakit parah atau engga. Bagi saya sakit yang sampai dibawa ke rumah sakit dan dioperasi itu ya serem regardless itu mengancam nyawa atau tidak. Saya diminta pulang, paling ga bantuin ngurusin rumah sama keponakan. Langsung saya batalkan kebersediaan jadi buddy, janji bantuin TA Zulfa, dan jalan-jalan sama Zulfa dan Cici. Urusan administrasi juga sebagian sudah diselesaikan. Sisanya tinggal minta bantuan teman seperjuangan, Mas Ikhlasul. Saya berencana pulang hari ini.

Kabar sudah menyebar ke beberapa oran. Eeeeeh sorenya dibilang, "ga usah pulang aja deh. Nanti kamu tetep geger balik lagi." Ya kalau ada yang perlu diurus ya balik kaleee. Tentu saja saya menolak! Hey! saya terlanjur membatalkan rencana jadi buddy yang saya pengen jadi kepanitiaan terakhir saya selama kuliah, sudah ngebut buru-buru ngurusin yang harus diurus, sudah nunda nonton ahjussi cakep si dokkebi, sudah mbatalin janji bantuin TA Zulfa -- kasihan dia, mbatalin acara seneng-seneng pula. Saya sudah mengorbankan itu semua dan dibilang ga usah pulang karena alasan sekonyol itu? Oh my God, sabarkanlah hati ini.

Nah akhirnya pagi ini saya jadi pulang. Naik kereta Lodaya yang saya kira saya pesan berangkat dari Stasiun Bandung. Setelah di check-in counter, saya baru sadar bahwa saya salah milih stasiun keberangkatan. Tiket itu dijadwalkan untuk berangkat dari Kiaracondong. Saat itu, waktu tinggal sekitar 30 menit. Daripada macet dan ada kemungkinan telat, saya pun mikir mending saya nglobby buat berangkat dari Stasiun Bandung. Toh cuma selisih satu stasiun. Atau kalau memang harus melalui pembatalan, gapapa bayar dikit, daripada harus menunda sampai sore ini kalau telat. Toh sebenarnya sama-sama membayar lagi kalau beli untuk sore ini.

Saya antri di loket keberangkatan langsung. Trus diminta mencoba ke penjaga boarding saja. "Sayang uangnya," kata mas petugas. Oleh penjaga boarding, saya diminta ke customer service, untuk mendapatkan bantuan lebih lanjut. Di CS, mbak CS mencoba menghubungi CS di stasiun Kiaracondong namun di sana belum ada orang. Akhirnya ....

"Mbak, coba bawa ini ke petugas boarding dan naik kereta dulu saja. Nanti saya mintakan bantuan ke teman di Kiaracondong untuk men-check-in-kan dari sana."

I passed the boarding part. Saya menuju tempat duduk dengan hati yang masih gelisah. Gimana kalau CS di Kiaracondong ga dateng-dateng trus ga sempet di-check-in-kan? Walaupun gelisah, I am amazed, banyak bule di kereta ini. Ngarep banget bisa duduk sebangku sama bule yang enak diajak ngobrol trus ngobrol banyak. Kan seneng. Haha

Beberapa menit kemudian, saya ditelpon Mbak CS. Dia akan menyusul saya. Kami bertemu.

"Mbak, ini tadi saya salah. Ternyata tadi tiketnya saya batalin. Ini saya kasih Mbak tiket baru tapi pindah tempat duduk ke sini."

Masih ragu, saya sms si Mbak CS, apakah saya perlu melakukan pembayaran terkait pembatalan ini atau tidak. Tidak, katanya. Bahagiaaaaaaa.

Tiket paling berkesan

Terima kasih PT KAI. Pelayanannya sangat baik sekali. Customer Servicenya baik sekali. Regardless today's experience, saya tetap bangga sama PT KAI karena banyak banget perbaikan dalam pelayanannya. Saya pengguna kereta api sejak tahun 2012, dimana tiket ekonomi kahuripan masih 38ribu, masih ada "pop mie, pop mie, kopi" dari luar stasiun bersliweran di dalam kereta; hingga sekarang yang sampek ada On Trip Cleaning, Check- in mandiri yang memudahkan pemesan onlen biar ga perlu ke CS buat nyetak tiket, hingga banyak pembangunan di stasiun-stasiun. Terima kasih KAI, kamu sangat berjasa mendukung perkuliahan saya selama ini.

Kok jadi kayak iklan yak -_-