Ternyata Saya Masih Beruntung
Hari ini saya bersama teman satu angkatan saya memiliki agenda berkumpul di
Pulbis jam 8 pagi untuk bermusyawarah memilih ketua angkatan. Awalnya kami
mengenalkan diri masing-masing agar kami bisa mengenal 256 orang dengan lebih
cepat. Selanjutnya barulah si momod (baca : momot) memulai acara. sesi pertama,
kelima calon, berinisial A, D, F, M, S memaparkan visi dan misinya untuk
angkatan kami. Dilanjutkan dengan tanya jawab. Cerita ini muncul setelah
pertanyaan tentang kesibukan dan prioritas. Dan cerita ini muncul dari jawaban
si D.
Si D menjawab dengan bercerita bahwa dia
memiliki seorang adik yang terpaut usia 10 tahun dengannya, mengingat sekarang
pelajaran SD sekarang sulit, dia juga harus mengajari adiknya. Semuanya
tertawa. Si D menenangkan suasana dengan mengatakan bahwa hal tersebut serius.
Ayahnya bekerja di bidang geologi dan beliau pulang hanya satu minggu sekali.
Karena itu, dia sekaligus menjabat sebagai kepala keluarga untuk menggantikan
ayahnya. Terkadang dia harus pulang jika tidak ada acara penting untuk
menggantikan ibunya menjaga adiknya. Dan dia tidak bisa pulang malam, kecuali
jika ada alasan yang jelas.
Setelah dia beserta calon lain harus pergi
untuk ke sekre himpunan, kami mendiskusikan tentang mereka satu per satu. Ada
yang menambahkan tentang si D, dia bilang bahwa saat SMA dulu si D pernah
tiba-tiba ditelfon ibunya untuk segera pulang menjaga adiknya. Karena berbagai
pendapat dan kebanyakan karena dia mempunyai tanggung jawab sebagai anggota
keluarga, si D dieliminasi. Sayang sekali, padahal menurutku dia cukup ‘capable’
untuk menjadi seorang pemimpin.
Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan. Aku
ingin bercerita apa yang terlintas di pikiranku setelah mendengar cerita si D
itu. Aku merasa selama ini aku kurang bersyukur akan keadaan keluargaku. aku
terkadang sebal mendengar celotehan-celotehan yang kurang enak di rumah. Aku
sering kesal sendiri jika harus mengajari adikku dan dia ‘ndablek’. Aku
sering bikin rumah ’heboh’ karena keusilanku.
Aku baru sadar bahwa aku kurang bersyukur.
Bagaimana tidak, bapakku selalu di rumah, walau lebih sering tidak di rumah,
setidaknya setiap hari beliau pulang. Aku masih bisa menikmati waktu yang cukup
lebih bersama keluargaku. sering aku diberi nasihat oleh orang tuaku saat kami
duduk santai menikmati suasana sore. Sedangkan temanku yang satu itu, dia bisa bertemu
ayahnya mungkin hanya dua hari dalam seminggu.
Aku baru sadar, aku ini seperti hanya meminta
saja kepada orang tuaku. Ibuku saja masih ”nguring-nguring” masalah
pekerjaanku, maksudku pekerjaan rumah seperti menyapu yang harus kukerjakan.
Aku baru sadar bahwa aku ini ’mager’ sekali masalah urusan rumah. Sedangkan
temanku, dia harus menjadi kepala keluarga. Bayangkan kawan! Seorang kepala
keluarga untuk menggantikan ayahnya selama beberapa hari! Dan aku di rumah
malah sering membuat ibuku kesal dan biasanya beliau berkata ”Liburan, ada kamu
atau ngga, kok sama aja.”
Aku baru sadar, bahwa selama ini aku itu
sangat beruntung bersama kedua orangtuaku terus. Saat aku pulang aku dijemput
bapakku, lalu disambut dengan masakan ibuku, walaupun ekspresi ibuku biasa
saja, tapi aku merasa ada ’something’ yang menunjukkan bahwa beliau itu
sebernernya seneng lho.. anaknya pulang. Sedangkan ada orang lain yang mungkin
tidak merasakan itu.
Sungguh mungkin aku belum tergugah jika
temanku yang satu itu tidak bercerita tentang keluarganya. Terimakasih untuk
temanku si D yang telah berbagi kisahnya.
Comments
Post a Comment