Posts

Showing posts from November, 2020

Tentang Bersepeda hingga Rekor Baru Bersepeda ke Kresek

Belakangan hobi sepedaan menjamur di masyarakat, lebih tepatnya sejak Corona Virus memandemikan diri. Mungkin karena isolasi, WFH, dan penutupan banyak tempat umum yang terjadi membuat orang mencari alternatif hiburan. Sepeda memang menawarkan hiburan menyegarkan dengan membantu kita jalan-jalan namun menambah value olah raga untuk mengompensasi kebosanan dan kurangnya gerak karena isolasi dan teman-temannya. Jangkauannya pun lebih besar daripada lari yang mungkin 5 km saja sudah bikin ngos-ngosan.

Harga sepeda belakangan ini melonjak. Wajar saja. Permintaan naik, suplai tetap, di sinilah kelangkaan terjadi. Harga pun naik. Hukum ekonomi. Halah sotoy.

Saya sendiri sebenarnya sudah suka bersepeda sejak kecil. Hanya saja karena sarana dan kesempatannya tidak ada, tersingkirlah kegiatan bersepeda itu. Pada akhirnya saya lebih banyak jalan kaki terutama di rantau. Sampai sekarang juga begitu. Makanya kalau ada kesempatan bersepeda, saya senang karena akhirnya saya bisa jalan-jalan lebih jauh dari biasanya.

Ehm btw permisi saya mau nyinyir. Gara-gara hobi sepedaan yang menjamur ini, saya jadi penasaran. Ini orang-orang suka sepedaan simply karena lagi ngehits atau memang murni kebutuhan ya? Trus kenapa orang-orang tidak menerapkan sepedaan ini dalam kehidupan sehari-hari juga? Kenapa sepedaannya harus dikhususkan agenda bersepeda saja? Kenapa ga kerja pakai sepeda, ke pasar pakai sepeda, ke mall pakai sepeda, dsb? Jadi sekalian ubah lifestyle gitu. Bukan sepedaan karena momen aja. Tapi saya sendiri sepedaan masih kalau ada momen aja sih 😁 Kan belum punya sepeda wkwk. Dasar Nala tukang nyinyir.

Mohon maaf saya nyinyir begitu, soalnya saya agak menyayangkan -- terutama bagi diri sendiri -- jika melakukan sesuatu cuma karena ikut-ikutan, cuma karena lagi ngehits. Padahal sebenernya ga salah juga sih mengikuti tren, daripada ga sama sekali kan.

Selama di Madiun ini, beberapa kali saya dipinjami sepeda bu kos. Bukan saya yang inisiatif pinjam, tapi malah saya disuruh pakai sepeda beliau. Hihihi.

Semoga Nala bisa punya sepeda. Amin

Rekor terjauh sampai saat ini saya capai seminggu yang lalu bersama teman baru saya, namanya Septian. Kami bersepeda mulai dari Pahlawan Street Center yang lebih dikenal dengan 'Madiunboro' hingga Monumen Kresek. 

***

Minggu lalu, pagi-pagi saya berangkat ke Pahlawan Street Center. Akhirnya keinginan saya untuk duduk-duduk sendirian di 'taman' itu tercapai. Selama ini selalu urung karena ramai euy. Terima kasih pada Septian yang membantu merealisasikan keinginan ini. Hahaha.

Sekitar pukul 06.15, taman ini masih cukup sepi-tapi-ramai yet asik

Tunggu ditunggu, akhirnya Septian datang juga. Kami duduk-duduk santai dulu, Septian istirahat. Dia tadi harus bersepeda sekitar 15 km menuju lokasi janjian kami untuk selanjutnya masih harus bersepeda nun jauh ke Monumen Kresek. Luar biasa.

Perjalanan kami dimulai sekitar pukul 07.00. Pelan-pelan kami mengarungi jalanan. Perjalanan mulai menantang saat sudah keluar Kota Madiun. Jalanan mulai menanjak. Saya tidak kaget karena sebelumnya saya pernah melewati jalanan ini tapi hanya sampai Pasar Dungus kemudian langsung balik kanan pulang. Serunya, jalanan ini jauh lebih segar dibandingkan di Kota Madiun. Banyak bagian perjalanan dimana kita bisa melihat sawah di kanan-kiri. Beberapa kali kami berpapasan dengan pesepeda lain yang turun. Septian santai saja say hi dengan mereka. Rupanya di antara pesepeda ada 'persaudaraan' tersendiri. Yah sayang sekali sepanjang jalan ini tidak terdokumentasi.

'Pendakian' kali ini rasanya berbeda. Jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan kesempatan sebelumnya dimana saya bersepeda sendiri. Bisa jadi karena saya sudah pernah mengalami perjalanan itu, bisa jadi karena ada teman sehingga perhatian atas lelah teralihkan.

Melewati Pasar Dungus, rekor saya sebelumnya, drama terjadi. Ban sepeda Septian bocor. Kami putar balik. Sepeda Septian ini road bike yang lebar dan ukuran valve bannya kecil. Cukup sulit menemukan tempat yang bisa menambal ban sepeda Septian ini. Beruntung di area Pasar Dungus kami menemukan bapak tambal ban yang bisa dan mau membantu. Lumayaaan sekalian kami leren. Namun, masalahnya adalah pompa yang dipunya si bapak ga bekerja dengan baik. Akhirnya setelah ditambal, kami cari-cari lagi tempat untuk mompa. Alhamdulillah ketemu.

Pelajaran dari kejadian ini: bawalah ban serep dan pompa mini jika sepedamu tidak lumrah bagi masyarakat sekitar wkwkwk.

Dia tergeletak tak berdaya menghadapi dunia. Dokter sedang berjuang menyelamatkan nyawanya. Kami menunggu-nunggu, mengharapkan dokter keluar dan mengatakan, "Operasinya berhasil." Halah apaan sih, Nal. 


Kelanjutan perjalanan kami tidak begitu lama. Monumen Kresek memang dekat dari Pasar Dungus. Hanya saja, kami harus melewati Tanjakan Putus Asa terlebih dahulu. Puas rasanya bisa melewatinya. Semoga saja kaki Septian baik-baik saja.

Tibalah kami di Monumen Kresek. Ramai. Ada banyak sepeda terparkir di sana. Banyak mobil juga. Sebenarnya ada apa di dalam sana?

Sebelum berkeliling lebih jauh, kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Pecel dan teh panas menjadi pilihan kami. Sepertinya cukup lama kami menyantap makanan sambil ngobrol ngalor-ngidul yang kebanyakan ngomongin pengalaman di kerjaan masing-masing. Di sini Septian juga bilang sebelumnya dia belum pemanasan dan hari itu dia langsung menempuh jarak yang jauh. Saya bingung. Antara kasihan dan salut (tapi lebih banyak salutnya) sama ni orang. Dia memang sudah biasa bersepeda jarak jauh sih tapi kalau selama 3 bulan ga bersepeda trus ujug-ujug sepedaan jauh kan bisa kaget juga badannya.

Obrolan ngalor-ngidul kami hentikan sementara karena kami berniat masuk ke Monumen Kresek. Sepeda kami titipkan ke pemilik warung.

Kami masuk melalui pintu selatan. Spot pertama yang menyambut kami adalah patung (?) orang-orang mati beserta tembok bertuliskan daftar para korban kekerasan PKI di Desa Kresek. Sejujurnya, saya kurang pengetahuan tentang peristiwa PKI ini. Kenapa bisa ada, bagaimana sepak terjangnya, pemusnahannya bagaimana, saya belum tahu atau mungkin simply saya lupa. Yang menjadi pertanyaan saya selanjutnya adalah mengapa kejadian menyedihkan yang melibatkan kekerasan kepada manusia malah dimonumenkan?


Sederhana saja isi Monumen Kresek. Setelah spot tadi, ada semacam pendopo yang ternyata dulu adalah markas PKI. Di sana saya membayangkan beberapa orang duduk berkumpul merundingkan aksi mereka. Pendopo itu menjadi saksi bisu betapa akal dan nafsu manusia bisa terjerumus begitu dalam, terlalu dalam, terlalu gelap hingga nyawa manusia seperti tiada artinya.

Selain itu, ada juga patung 'ekseskusi' yang dibawahnya ada "air terjun" buatan. Karena fokus tulisan ini adalah kegiatan bersepeda ke Monumen Kresek, saya tidak akan membahas banyak tentang tempat ini. Biar foto-foto saja yang bercerita.

Patung 'eksekusi' yang saya bilang tadi. Di sisi kiri Septian ada air terjun buatan.

In more detail



View dari samping patung 'eksekusi'. Saya tidak mengerti makna patung-patung itu. 

Ada seorang guru dan banyak muridnya sedang membuat video. Mungkin untuk kenang-kenangan sebelum berpisah.

Usai berkeliling, kami menjemput sepeda, berpamitan pada ibu pemilik warung, dan beranjak pulang. Perjalanan pulang sangat menyenangkan. Karena saat berangkat kami sudah menanjak, maka pulangnya kami banyak santainya. Hingga terjadi 'BAM!!!' Saya nyenggol seorang pejalan kaki. Beruntung tidak terjadi injury yang serius. Si bapak yang saya senggol insyaAllah aman. Alhamdulillah anak yang digendongnya tidak jatuh. Cuma saya yang jatuh. Saya cuma merasa lecet sedikit di lutut. Ditambah ternyata ada memar di betis yang sampai sekarang belum kunjung hilang. Selain itu, I am totally fine. 

Gara-gara ini saya minta Septian untuk di depan saja. Usai jatuh, masih ada Tanjakan Putus Asa yang lebih berat dari sebelumnya. Karena Septian nuntun, saya ikutan deh wkwk. Ga tau kalau saya lanjut mancal apakah akan kuat atau tidak. Selepas itu, barulah perjalanan kami benar-benar bahagia. Tiada tanjakan. Yang ada hanya turunan.

Eta teh Septian. Sepedanya da kenceng pisan.

Septian yang di depan ini membuat saya menyadari perbedaan sepeda gunung dan road bike (Bahasa Indonesianya apa sih?). Saat perlu mengayuh, Septian terlihat santai sekali mengayuh namun dia lebih cepat daripada saya meski frekuensi ngayuh saya lebih tinggi dikit. Padahal kayaknya ga mungkin Septian pakai gir yang levelnya lebih tinggi dari yang saya gunakan saat itu. Setelah saya lihat lebih dekat, ternyata gir sepedanya Septian lebih banyak, Coy. Pantes. Bisa aja kan bagi sepeda Septian ada beberapa gir di antara gir selevel yang sedang kupakai hingga level berikutnya di sepedaku (eh sepeda bu kos wkwk). Selain itu, road bike kan memang didesain biar rolling resistance di pavement nya kecil. Bisa jadi bukan hanya efek gir. 

Seperti biasa, perjalanan kembali selalu terasa cepat. Tiba-tiba saja kami sudah tiba di Kota Madiun. Kami berpisah di gang Jalan Nias. Sepedaan kami ditutup dengan toss. Septian masih harus lanjut sekitar 15 km lagi menuju rumahnya. Semangat, qaqaa. Alhamdulillah kabarnya Septian cuma cenat-cenut malam harinya. Esoknya dia sudah kembali fit.

Demikian cerita rekor baru sepedaan 35 km saya. Mungkin saya perlu nulis tentang rekor baru bersepeda selanjutnya atau tentang lari atau home workout

Perjalanan saya 35 km. Septian sendiri menempuh 70 km. Luar biasa. Sungkem.


Separuh Hatiku Tertinggal di Lyss - Bern - Bagian 2

Tidak banyak yang bisa dinikmati di taman bermain kurang lampu di samping katedral. Hanya pemandangan di seberang dan bawah sana, serta beberapa "wahana" bermain yang tidak kami manfaatkan. Kami melanjutkan perjalanan menelusuri jalur hijau berikut.

Kami mengambil jalan di sisi kiri Katedral Bern. Lurus dari sana akan ditemui gedung parlemen dan pelatarannya. Sebenarnya bukan murni pelataran yang kemudian terkesan seperti area eksklusif milik gedung parlemen gitu. Memang itu masih area gedung parlemen, namun digunakan sebagai public space. Banyak kegiatan yang digelar di sana. Menurut hasil googling sih acara yang digelar diantaranya air mancur saat summer, light show, bahkan traditional market serta area ski saat winter. Saat itu, saya kira sedang ada acara apa gitu di pelataran ini ternyata ... karena kami datang di awal musim dingin, itulah area ski umum yang saya sebutkan tadi. WOW menyadari hal ini baru saat saya menuliskannya, membuat hati senang sekali. Senang sekali ternyata saya menyaksikan sebuah acara spesial tahunan, atau lebih tepatnya hanya lokasi dan persiapannya wkwk.

Saya dan mas-mas sempat mengabadikan foto bersama yang selanjutnya menjadi icon grup kami: Lyss - Bernstrasse.

Icon grup Lyss - Bernstrasse

Gedung Parlemen tampak depan, dan area ski yang disiapkan

Serunya, Gedung Parlemen Bern boleh dijadikan wisata. Waktu itu, dari depan memang tampak cukup sepi. Namun, setelah kami mencoba mlipir ke belakang, ternyata ada banyak orang: beberapa kelompok tur. Kebanyakan anak sekolah. Ingin sih masuk ke gedung ini, melihat arsitektur bangunannya tapi tidak ada agenda itu dalam perjalanan ini. 

Bagian belakang gedung berbatasan langsung dengan pagar tembok setinggi pinggang. Setelahnya sudah area yang lebih rendah. Dari sini, kami bisa melihat sungai Aare yang merupakan sungai terpanjang di Swiss. Saat summer, orang-orang biasa berenang di sungai itu. Budayanya asik ya. Sungainya bersih sih. Ga butek lagi. Di Indonesia sungainya bisa gitu ga ya? Bersih sih bisa asalkan manusianya mau menjaga. Tapi kalau bening, apakah bisa? Bisa aja kan profil tanahnya memang larut dalam air jadi warnanya cokelat.

Pemandangan dari belakang gedung parlemen

Bening mantap begini sungainya 😀 sumber: bern.com

Kalau dilihat dari gambar di situsnya Bern kok kelihatan asik gitu sih acara berenang di sungai ini. Bayangin deh siang-siang gitu main di sungai. Di pinggirannya ada banyak pohon rindang. Abis main-main air nanti makan-makan di bawah pohon. Wenaaaaaaaak.

OK lanjut.

Tepat di sisi barat dari sisi belakang gedung parlemen merupakan taman area sayap barat. Area ini masih termasuk area gedung parlemen. Sayap barat dan timur gedung parlemen digunakan sebagai rumah dinas beberapa anggota pemerintahan. Di taman ini terdapat miniatur lanskap area gedung parlemen. Ada juga tempat-tempat duduk yang saat itu beberapa diantaranya diduduki oleh pengunjung.

Rasa-rasanya area pemerintahan yang dijadikan ruang publik begini memberikan kesan ramah. Mendekatkan para pemangku jabatan dan orang-orang yang ditanggung olehnya. Ga tau sih dalam praktiknya di sana sebenernya kesannya gimana. Tadi kan cuma kesan saya sebagai orang yang belum pernah main dengan santainya ke area pemerintahan kecuali balai desa.

Miniatur area gedung parlemen

Kami bergegas. Rupanya spot acara jalan-jalan kami hampir berakhir. Tinggal satu spot terakhir: Christmast Market. Seperti yang sudah pernah saya kabarkan sebelumnya, di Swiss ada tradisi pasar malam dalam rangka menyambut hari natal. Tidak kalah dengan pasar malam menjelang idul fitri di Indonesia.

Pasar yang kami tuju di adakan di sebuah taman bernama Kleine Schanze di sisi barat area gedung parlemen. Di sana ramai sekali. Lebih banyak orang menjual makanan di sini. Kalau di spot pasar yang kami sempat mampir sebelumnya (tapi saya lupa posisinya di mana) lebih banyak dijual suvenir.

Di pasar natal Kleine Schanze ini lah kami berjumpa dengan Caesar dan Bärtschriger. Mereka masing-masing sudah membawa secangkir minuman. Mungkin wedang jahe wkwk. Kemudian kami bersama-sama mengelilingi pasar malam itu (cangkir masih dibawa-bawa, diminum-minum sambil jalan). Kami tidak membeli apa-apa karena memang tujuan kami hanya menikmati suasana di sana. Lagian kami juga mau makan di tempat lain.

Menyenangkan sekali mengelilingi taman berpasar malam itu. Hiasan lampu di mana-mana. Orang-orang duduk-duduk dan ngobrol bersama. Ada yang bergerombol, ada juga yang berpasangan. Kalau saya lihat-lihat, orang-orang Swiss sweet sekali mengekspresikan romansanya. Ga jarang kalau pas di balkon kamar hotel saya melihat pasangan bapak-ibu yang jalan bersama gandengan tangan atau si bapak merangkul si ibu. Kayaknya kesan sweet ini lebih karena mereka sudah cukup tua tapi tetep rukun adem ayem sweet gitu deh. Kalau kesan ke anak mudanya ga ada wkwk.

Salah satu kios di pasar malam yang bentuknya unik

Gedung parlemen terlihat dari pasar malam natal di Kleine Schanze

Setelah selesai berkeliling dan cangkir dikembalikan, kami beranjak menuju lokasi makan sambil menahan hajat buang air (kecuali Caesar dan Bärtschriger) haha. Saya lupa rute menuju lokasi makan dan malas mencari ulang. Makanya saya kasih garis lompat di peta perjalanan kami 😅

Tempat makan yang kami tuju namanya Swing Kitchen. Resto ini memberikan menu vegan. Gaya hidup vegan memang cukup ngehits belakangan ini makanya ada-ada saja resto vegan di kota ini. Di Indonesia mungkin veganism belum populer. Sejauh ini, hanya satu resto vegan yang saya tahu: Kehidupan Tidak Pernah Berakhir di Bandung. Itu pun saya belum pernah nyobain wkwk. 

Menu utama di Swing Kitchen adalah burger. Burger vegan lebih tepatnya. Kami pesan burger, kentang goreng, dan minuman. Porsinya gede banget. Saya aja sampe ga kuat ngabisin kentang gorengnya. Biasanya saya kan bisa habis porsi banyak kalau memang yang disediakan demikian (kalau ambil sendiri, ambilnya -menurut saya- dikit hihihi).

Swing Kitchen berada di bagian sebuah gedung besar jadi toiletnya ya ikut toilet gedung besar itu. Sepertinya jadi satu dengan bioskop di sebelahnya. Lokasi toiletnya agak mbulet. Karena saya cewe sendiri, saya di toilet sendiri, baliknya pun sendiri. Saya bingung baliknya gimana. Saya tersesat wkwk. Untung si Mas Schwab peka. Dia nyusul nyariin saya, mengabaikan komentar Caesar, "Masa ke toilet aja baliknya nyasar." Saya ditemukan Mas Schwab di dekat dapurnya Swing Kitchen. Nyatanya setelah Caesar ke toilet, sekembalinya dia bilang, "Ternyata bener. Jalan ke toiletnya agak mbingungin." Nah kaaaaaan.

Di tengah menunggu pesanan, de Lara tiba. Rupanya dia diizinkan istrinya untuk hang out đŸ˜ Lengkap sudah personil yang in charge malam itu. Kami makan bersama. Sambil makan, ada selentingan obrolan tentang anak Mas Ervani yang pada akhirnya berujung pada sindiran dari Caesar ke salah satu dari lainnya. 

Caesar    : "Ervani umur segini udah nikah nih. Udah punya anak dua lagi. Lu seumuran dia kok belum?"
Dirahasiakan    : "Eumm aku belum pengen nikah sih. Nikah tu nambah tanggung jawab dan rada ribet."

Obrolan berlanjut hingga kami usai makan. De Lara, Schwab, Bärtschriger, dan Caesar berkata mereka masih merasa lapar. Kurang puas karena tadi isinya sayuran saja, ga ada protein hewaninya. Sementara kami berempat: saya, Mas Nugroho, Mas Kridanto, Mas Ervani sudah kekenyangan.

Burger vegan, kentang goreng, dan minumannya Mas Nugroho dan Mas Kridanto

Dari kiri: Mas Schwab, De Lara, Saya, Mas Nugroho, Mas Kridanto, Mas Ervani, Bärtschriger, dan Caesar

Merasa cukup, kami keluar resto dan berjalan bersama ke timur hingga perempatan. Di sana kami berpisah dengan De Lara dan Caesar. Kami berenam sisanya memutuskan untuk pulang saja meski saya masih pengen banget jalan-jalan. Saya belum capek tapi Seiler besok sudah menunggu dengan materi (yang seharusnya) hari terakhir.

Kami berjalan lurus ke utara menuju lokasi parkir di area Universitas Bern. Bärtschriger juga parkir di sana. Kami berempat pulang bersama Bärtschriger karena dia "ngekos" di deket kantor jadi deket sama hotel kami sementara rumah Mas Schwab lumayan jauh.

Malam itu menyenangkan sekali. Mengeksplor tempat baru, melihat berbagai hal baru, apalagi bersama teman-teman yang beberapa juga baru. 

Tinggal dua hari kami di Swiss. Semakin dekat dengan jadwal pulang. Semakin dekat dengan perpisahan. Tulisan ini pun begitu. Sepertinya tinggal cerita terakhir tentang hari-hari terakhir dan perjalanan pulang (yang bisa saja lebih dari satu postingan wkwk) dan seri ini akan tutup buku. 

Sampai jumpa.