Posts

Showing posts from March, 2019

Durhaka

Malu rasanya kala mendengarkan lagu-lagu romantis religius seperti lagu-lagu Maher Zain. Seperti munafik karena nyatanya yang saya lakukan atau rasakan belum sampai sejauh itu.

"You're the reason my life worth living, You're the reason I'm alive, I'll be lost without You, You're the reason that I strive."

Beluuum. Saya belum bisa berpikir seromantis itu dengan Tuhan. Dulu mungkin saya bisa menganggap Tuhan adalah "teman" saya. Kala saya sepi, sedih, senang, saya curhat padanya. Bukan lewat sholat, curhat biasa saja, jadi seperti orang ngomong sendiri. Dulu saya pernah bisa hingga tahap seperti itu. Sekarang entah kenapa tak bisa.

"Allah, every day I try to be as true as I can to You. Cause loving You the best I can will always be my number one and only plan"

Yaampun apalagi ini ... Setiap hari banyak lupa. Ditelan kesibukan dan berbagai permasalahannya.

Kalau dipikir-pikir, diri ini tidak tahu diri. Egois. Tuhan cuma nyuruh apa sih? Sholat misal, hal dasar yang harusnya mudah karena bisa diatur sedemikian rupa menjadi habit, sebuah media untuk berkeluh kesah lima kali sehari. Ironisnya, belum menemukan sebuah kekhusyukan di sana. Lebih memilih segera pergi daripada curhat panjang lebar setelahnya. Lebih ironis lagi, masih malas untuk menyegerakannya. Lebih lebih ironis lagi, masih belum bisa melengkapi kelimanya.

Yang diminta simpel loh padahal. Itu pun sebenarnya untuk kebaikan diri sendiri, baik secara fisik atau psikologis. Padahal mungkin itu bisa menjadi jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Jika pun harus dilogiskan agar percaya itu bisa jadi jalan keluar, ketenangan yang didapatkan setelah melakukan tentunya bukan hal yang bisa diabaikan, kan?

Sebenarnya saat ini bisa dibilang saya sedang rindu. Rindu saat saya bisa merasakan nikmat kala mendekat padaNya. Ketika yang terpikir dan terucap pertama kala mengeluh atau curhat adalah namaNya. Rindu ketika membaca dan merenungi ayatNya terasa nikmat. Rindu ketika ayatNya jauh lebih ingin kudengar daripada musik manapun. Rindu ketika tiba-tiba audio ayatNya yang kuputar menjawab kegelisahan yang sedang kurasakan.

Sayangnya, biarpun saya bilang saya rindu, usaha saya tak sepadan dengan yang saya katakan. Salah satu hal yang saya benci dari diri saya.

Menunggu Moment of Blossoming

Belakangan ini saya merasa tidak berguna. Saya merasa bodoh hingga tak dapat melihat adanya nilai tambah dengan adanya saya di lingkungan. Sebenarnya saya benci diri saya yang seperti ini. Karena ini kontras dengan satu nilai yang saya coba untuk percaya.

Saya yakin bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Saya percaya bahwa setiap hal, setiap orang pasti berguna, sekecil apapun value yang disumbangkaan.

Namun mengingat kepercayaan tadi ternyata tidak membantu memperbaiki mood. Anggapan bahwa saya tak dapat melakukan apa-apa tetap saja mengendap di kepala.

Saat seperti ini, saya perlu energi eksternal untuk menarik saya dari belenggu ini. Saya perlu seseorang untuk meyakinkan saya bertahan dan berjuang. Dulu ada bapak yang melakukan peran tersebut. Sekarang, untuk sementara, saya belum punya penggantinya.

Ngomong-ngomong soal kebergunaan diri, saya yakin setiap manusia sudah punya jalan masing-masing untuk menjadi berguna. Ada yang berguna lewat science, agama, komunikasi, kelihaian debat, ketekunan, kemandirian, ketahanan fisik, bahkan sampai bentuk fisiknya. Banyak aspek dari manusia yang memungkinkan dia berguna. Maka mereka yang bukan menjadi bintang kelas, bukan lah orang bodoh dan tidak mempunyai kesempatan untuk sukses. Bisa jadi potensi mereka bukan di bidang itu. Bisa jadi potensi mereka sebenarnya di bidang itu namun hanya perlu waktu untuk membuatnya bersemi. Seperti tanaman, manusia perlu musim dan tempat yang tepat.

Mungkin sekarang saya sedang di tempat yang kurang tepat. Atau sebenarnya sudah tepat tapi hanya perlu menunggu waktu dan moment of blossomingnya. Yang jelas, pasti ada skenario besar kenapa saya ada di sini.

Budaya (Minta) Traktiran

Di lingkungan saya, biasanya kalau ada seseorang yang dianggap patut merayakan sesuatu, paling sering sih ultah, teman-temannya akan minta traktiran. Ultah, dimintai traktiran. Dapet peringkat satu, dimintai traktiran. Jadian, dimintai traktiran. Semua-muanya aja traktiran wkwk.

Sebelumnya, saya merasa wajar saja dengan budaya ini. Tapi setelah ngobrol dikit dengan orang-yang-saya-lupa-namanya pas saya di Korsel, pikiran saya jadi berubah. Kenapa kalau ada yang ultah malah kita "palak" minta traktiran? Kenapa ga temen-temennya yang urunan nraktir dia? Bukankah jadi lebih ringan daripada satu orang harus mentraktir sekian banyak orang? Lagipula, siapa tahu orang yang sedang ultah ternyata sedang seret.

Tentang hal selain ultah juga begitu. Mungkin dia dapat rezeki, tapi siapa tahu rezeki itu benar-benar sedang dia butuhkan? Siapa yang tahu kalau rezeki itu untuk biaya rumah sakit misal. Eh malah kita "palak".

Kalau si dia dengan inisiatif sendiri mau sedekah, itu beda kasus. Terima saja dengan senang hati hahaha. Tapi kalau kita yang membuat dia "sedekah" dengan permintaan atau sindiran kita, menurut saya kok kurang pantas.

Letter to Bapak (3)

Halo, Pak!

Apa kabar? Aku sedikit kurang fit beberapa hari ini. Dingin. Hidung tersumbat. Batuk.

Dan aku rindu Bapak. Mungkin Bapak akan merawatku kalau ada di dekatku sini. Menawariuntuk membelikan makanan apapun yang aku mau. Menyuruhku istirahat. Tak lupa haruspakai jaket, berselimut, dan guling di kanan-kiri. Mengusahakan agar aku hangat.

Aku rindu.

On The Way Home - Part 1

23 Juni 2017
Assalaamu'alaikum!

I am on the way to my home rite now.
 Menunggu bus yang entah datangnya kapan. Sebenarnya masih banyak hutang cerita untuk ditulis di blog tapi masih belum sempat menuliskannya. Ada cerita voluntary activity terakhir, ada farewell parties, hari terakhir sebelum balik Indo, dan tentunya catatan perjalanan pulang ke Indo yang agaknya memberikan kesan tersendiri. Hahahaa

Well, perjalanan pulang saya ke Indonesia dimulai dengan berangkat jam 1.30 pagi dari kampus. Saya diantar sama 김원경, buddy saya. Saya agak ga enak gitu sih sama dia, soalnya itu tengah malem dan sebenernya bus saya ke bandara itu jam 2.30 am. Hahaaa jadi deh kami nunggu di bus terminal selama 1 jam. Ohiya, sebelum kami hail taxi, saya ketemu Ali, Dervis, sama Tim. Saying goodbye to each other. Kali itu sudah ga sedih-sedih amat menghadapi perpisahan. Udah sedih sebelum-sebelumnya. Well, good luck, Ali, on your postgrad study! And have a nice vacation, Dervis, Tim! May you have a nice campus life! Btw, waktu itu Dervis bilang ke saya, kalau ga salah inget, "Thank you. It was really funny. Itu beneran funny loh, beneran." Trus saya mikir, saya beneran kocak po?

Kamar 22 Juni 2017 00:53:46. Mi Ji dan Ji Yeong sudah pindah ke asrama baru. Tinggal barang-barang ... haduh lupa nama roommate yang jarang pulang

Kali ini, saya memilih tempat duduk di bus persis sama dengan tempat duduk saya saat pertama kali datang ke Gumi, pojok kanan belakang. Saya pikir, biar makin enak diinget gitu haha. Nothing to enjoy in every night trip, jadi saya tidur saja. Pas banget bangunnya
tepat saat sampe bandara. Sampai bandara baru 5.42 am. Iya, saya kepagian. Flight saya jam 11.15 am btw.

Karena ga tahu mau ngapain, saya iseng-iseng nyobain self check-in di bandara tapi ga bisa. Sempet dibantuin bapak-bapak, yang berakhir tetap gagal. Akhirnya saya cuma duduk. Ada dua orang Indonesia di deket saya waktu itu. Salah satunya orang kuliah S2 kalau ga S3. Mereka ngomongin cerita kerja sambil kuliah di Korea. Kalau kuliah sambil kerja di Korea, bedakan rekening buat nerima beasiswa (dari pemerintah Korea) dengan rekening buat nerima gaji biar ga kena kasus. Itu yang saya tangkap. Setelah ngobrol super dikit, saya pamitan check in ke counter.

Datanglah saya ke counter maskapai China Southern. Waktu itu ternyata saya salah counter. Ternyata itu counter Garuda Indonesia yang sebelumnya sempet diapakai China Southern. Tapi untungnya masih ada petugas China Southern di sana. Komentar pertama, "you come too early." Cuma bisa ketawa hahaha. Trus dia bilang, gampangnya sih gini, "Penerbangan Anda kayaknya ditunda deh. Kami masih belum tahu apakah waktunya bakal cukup untuk mnegejar penerbangan selanjutnya di Guangzhou atau engga. Kalau ga bisa, kami bakal ngasih penerbangan alternatif kok. Penerbangan yang langsung ke Jakarta. Tapi itu belum pasti jadi tolong tunggu dulu. Kami informasikan lagi nanti jam 9.”

Waktu itu saya seneng-seneng gimana gitu sih. Ada harapan lebih biar flightnya beneran ga kekejar. Hahaa soalnya lagi males nungguin lama dan diganti yang langsung ke Jakarta. Kemungkinan pakai Garuda Indonesia dong. Seinget saya pas booking ga da penerbangan China Southern langsung Incheon – Cengkareng.

Setelah lama berselang …

12 Maret 2019
Bagian di atas ditulis sejak 23 Juni 2017, sudah dua tahun yang lalu belum kunjung diselesaikan. Gara-gara baru saja dibeberkan pengalaman kocak Mas Nugroho dan Mas Fakhrudin dulu pas di Cina, saya jadi tergelitik untuk melanjutkan draft ini.

Oke mari kita lanjutkan.

Selanjutnya saya duduk-duduk saja deh di tempat tunggu Garuda Indonesia. Di sana saya kenalan sama mas-mas orang daerah Tegal gitu deh kayaknya. Saya ada kontak FBnya kok haha dia minta soalnya tapi ga pernah kontak wkwk. Sekarang si mas sudah nikah dan masih lanjut kerja di Korea Selatan. Di daerah mana ya? Gimhae deh kalau ga salah. Dia ambil penerbangan Garuda Indonesia jam 9.

Yang kocak dari perkenalan ini adalah si masnya mirip banget sama dosbing saya, Pak Egi. Mirip banget! Saya pas pertama lihat langsung ngira dia saudaranya Pak Egi. Sampek mbatin, “Di Korea masih aja ‘ketemu’ sama Pak Egi. Adik (iparnya) kuliah di kampus yang sama dengan tempaku numpang, jadi asisten dosen pula. Eh ini ketemu sodara lainnya (trus ternyata orang yang mirip doang). Mengingatkan masih ada urusan lagi buat wisuda nanti wkwk.”

Saya juga sempet kenalan sama orang Trenggalek. Mereka juga ambil flight Garuda Indonesia. Tidak terlalu banyak obrolan dan cerita dengan mereka. Sekadar obrolan biasa perjalanan. Kayak gini nih yang bikin sebuah perjalanan menyenangkan. Bertemu orang baru dan berinteraksi. Memang tak selalu bisa terjadi pembicaraan yang menyenangkan. Entah mereka atau diri kita sendiri yang menutup diri sehingga suasana jadi awkward. Tapi kalau sudah nemu, sensasinya menyenangkan!

Lama menunggu, pukul 9 saya diinformasikan penerbangan saya belum ada kejelasan. Ternyata ditunda karena pesawatnya masih di China sono dan cuaca di sana lagi ga baik. Oke menunggu lagi. Apa yang saya lakukan? Orang-orang dengan penerbangan Garuda Indonesia sudah berangkat. Saya duduk-duduk saja lagi sambil baca Qur’an. Ih gaaaya wkwk.

Sekitar pukul 12 gitu saya dikabari untuk segera check in. Flight untuk saya sebentar lagi berangkat. Saya disuruh cepet-cepet itu. Panik lah. Waktu itu saya diprioritaskan sama maskapai ini. Ternyata menjadi prioritas itu memang membahagiakan wkwkwk. Buru-buru saya cari gate-nya. Ah ternyata masih nunggu lumayan lama juga di sana.

Menunggu Gate 107 dibuka

Ternyata pesawat penerbangan berdurasi 3 jam itu termasuk pesawat kecil. Saya duduk di samping mbak-mbak orang China. Dari dia, saya menebak waktu itu di China lagi ngetren chatting menggunakan voice message. Hahaha.

Waktu itu Bulan Ramadhan dan saya tidak sedang udzur, jadi saya memutuskan untuk puasa. Saya menolak makanan di flight itu, membuat si mas pelayan bingung haha. Saya kurang baik sih menyampaikan maksud saya.

Ohiya selingan. Sehari sebelum pulang, saya sempet jalan-jalan sendiri di 옥계- (Okgye-dong) dan sempat mampir di toko roti yang pernah saya kunjungi bersama Liyana. Wah pelayannya masih inget dong sama saya. Sebenernya yang diinget Liyana sih wkwkwk tapi karena saya pakai kerudung jadi gampang aja mengingat kalau saya temennya Liyana. Trus saya ngobrol dikit looooh sama si mbak pelayan. Pakai bahasa korea seadanya. Uwaaah seneng banget.

Hmmm cerita kali ini segini dulu saja ya. hihihi ini saya kasih beberapa foto ga jelas wkwk.





Mental Manja

Permisi. Saya mau sambat di sini. Di sini kan ga ada yang baca lagi *eh haha.

Mental saya bukanlah mental yang saya impikan. Bukan mental sekuat baja. Saya rapuh. Mudah sekali patah. Selain itu, penakut pula. Mental saya hingga saat ini ditulis masih mental diajari dan disuruh. Masih mental disuapi. Perlu energi cukup besar bagi saya untuk membuat diri saya berani melakukan sesuatu yang mungkin bagi kebanyakan orang lain mudah saja. Bertanya, misalnya. Mudah kan? Tapi banyak kesempatan di mana saya benar-benar harus mengumpulkan keberanian hanya untuk bertanya.

Tapi saya tetap cinta diri saya. I don't want to blame her. I want to encourage her. I want to support her in every side of life. I want her to be a good person. I want her to be proud of herself and love her self more and more so that it makes her grateful for her life.