Taare Zameen Par
sumber : taarezameenpar.com
Title: Taare Zameen Par
Country : India
Year: 2007
Produced and Directed by: Aamir Khan
Barusan saya nonton lagi film Taare Zameen Par. Film ini berkisah tentang seorang anak SD yang mengalami dyslexia: bagaimana tingkah lakunya, kesulitan yang dialami, perlakuan keluarganya, dan bagaimana dia dapat meng-overcome kekurangannya tersebut. Dyslexia, berdasar pada apa yang saya tangkap dari film ini, merupakan sebuah 'penyakit' (sebenarnya inggrisnya disorder) dimana penderitanya tak dapat me-recognize huruf sehingga dia kesulitan membaca dan menulis. Tidak hanya itu, penderitanya juga bisa saja kesulitan untuk memproses dan mengkoordinasikan beberapa hal sekaligus, misal dia akan bingung dengan instruksi yang panjang, atau dia akan kesulitan mengkoordinasikan arah, kecepatan dan ketepatan saat bermain sepak bola.
Btw film ini keluar pada tahun 2007 dan ini bukan kali pertama saya menonton film ini. Pertama kali nonton, saya dibuat nangis sejadi-jadinya karena melihat tokoh utamanya, membuat saya ingat adik saya. Bukan karena adik saya menderita dyslexia, hanya terharu lebih dalam ketika membayangkan jika adik saya mengalami tekanan seperti itu meskipun dia tidak mempunyai dyslexia. Tekanan yang dialami oleh tokoh utama bukan hanya ekstrim terjadi pada penyandang disorder ini, semua orang punya kemungkinan mendapat pressure macam itu.
Setelah sekian kali menonton, kali ini saya menyadari bahwa film ini sangat bagus, lebih bagus dari ketika saya nonton sebelumnya. Lho kok bisa? Baru kali ini saya menyadari bahwa film ini menyajikan ilmu tentang parenting, tentang psikologi, dan tingkah laku anak.
Setelah belakangan ini saya membaca beberapa bacaan tentang pendidikan, saya kali ini menyadari sosok guru ideal digambarkan di film ini. Seorang guru yang dedikasinya tinggi. Seorang guru yang ikhlas. Seorang guru yang menjalankan tugasnya karena kebutuhan muridnya, karena dia ingin yang terbaik bagi muridnya. Guru yang seperti ini di dunia nyata, saya yakin banyak. Memang saya akui, sebuah kepuasan tersendiri ketika berhasil membantu orang yang kita coach, kita didik, kita bina, dapat meng-overcome masalahnya dan meraih prestasi yang baik.
Saya juga menemukan bagaimana film ini berusaha menyadarkan bahwa pendidikan dengan kekerasan fisik bukanlah hal yang baik. Bahwa guru perlu mengenal muridnya lebih dalam, mendekatinya, dan mengertinya sehingga kasih sayang ada diantara mereka dan penyelesaian masalah murid dapat dilakukan tanpa kekerasan. Mungkin di Indonesia, sudah jarang ditemui metode pendisiplinan anak dengan kekerasan fisik tapi itu mungkin di daerah yang sudah dikembangkan seperti di Pulau Jawa. Coba deh baca buku Indonesia Mengajar, akan ditemui kisah-kisah dari daerah di pelosok Indonesia yang ternyata di sana masih menerapkan metode kekerasan fisik untuk mendisiplinkan anak.
Home visit yang beberapa hari yang lalu saya baca merupakan metode yang baik untuk mengenal murid lebih dalam danmembuat lebih mengena bagaimana orang tua mengetahui kondisi anaknya, terutama di sekolah, pun dilakukan di film ini.
Yang tak kalah penting adalah usaha menyadarkan pemirsa bahwa setiap anak itu unik dan istimewa. Berusaha membantah pandangan sempit "anak yang pintar adalah yang jago eksakta." Rasanya saya jadi ingin mempertontonkan film ini kepada orang-orang di desa saya.
Film ini juga memberikan gambaran sedikit bagian dari metode penangangan masalah dyslexia.
Pesan-pesan implisitnya bagus banget deh ditambah lagi pemeran utamanya, si Ishaan, ganteng eh manis. Ditambah lagi, animasi di film ini unyu dan bagus. Begitulah komentar panjang saya setelah barusan nonton film ini. Selain kepada orang-orang di desa, saya juga pengen keluarga saya nonton film ini. Saya juga jadi pengen suami saya nanti manggil anak kami "Champ" di saat-saat tertentu.
Comments
Post a Comment