Posts

Showing posts from June, 2013

Renungan untuk Menjadi Tanah, Api, ataupun Air.

Saya yakin, malam in menjadi malam yang mengesankan bagi saya dan teman-teman Calon Panitia OSKM ITB 2013. Bagaimana tidak, mala mini kata “calon” telah dicoret dari status kami, dengan diterimanya kami di divisi-divisi lapangan OSKM ITB 2013. Pengumuman divisi ini sangat menarik. Acara ini berupa renungan, sembari menutup mata dalam posisi rileks, kami merenungi perkataan yang dikeluarkan.

”Dengan posisi rileks, dan mata terpejam, yang membekas di ingatanku adalah :
tanyakan pada dirimu, apakah pantas kamu di sini? Untuk apa kamu di sini? Apa tujuanmu di sini?

Lakukan segala sesuatu dengan kurung dan kuring yang menyatu. Tak ada rasa congkak.
Bagaimana bisa kamu melakukan semua itu dangan aku? Sementara ada dua orang yang telah menghilangkan ke-aku-annya selama ini hanya untuk memenuhi keinginanmu. Aku adalah rasa congkak dan kamu, kamu adalah kuringmu.

Seorang pemimpin menjadi teladan, panutan, ing ngarsa sung tuladha. Seorang pemimpin, seorang pemimpin memberikan semangat kepada orang-orang di sekitarnya, ing madya mangun karsa. Dan mendorong orang lain, tut wuri handayani.

Jadilah kamu yang prasaharja, yang lenggawa, yang gemi nastiti.”

Begitu panjang penjabaran tentang hal-hal itu, dan di tengah-tengahnya, suara kemeresek terdengar, suara langkah kaki juga terdengar. Dan tiba-tiba seseorang mengikatkan sesuatu di kepalaku.

Renungan tutup mata selesai. Kami membuka mata, semua telah memakai ikat kepala, kuning, merah, biru. Sesuai instruksi, mengikuti ke arah cahaya. Seseorang berorasi dengan membawa suatu lambing yang kutahu itu bagian dari lambang OSKM 2013.
”aku adalah tanah.  . . . . . . . . . . . jadilah taplok yang rendah hati seperti tanah . . . . .”

Lalu cahaya berganti dari sisi lain.
”aku adalah api. Api yang berkobar,  . . . dan bergelora. Api, simbol keamanan. Karena dengan kobarnya,  . . . . . . . . . . . . .”

Lalu cahaya berganti ke sisi selanjutnya.
”aku adalah air. . . . . . . . . . . . . air, lambing divisi medic, . . . . . . .”

Cahaya pun berganti ke spot selanjutnya.
”aku adalah angin. aku membawa lambang tanah, api, dan air. Aku memang tak terlihat, tapi akulah sumber kobar api, aku bisa membuat omabak besar, dan aku bisa menghancurkan bumi. Aku ingin setiap dari kalian memiliki angin. Bukan untuk menghancurkan, tapi angin yang  . . . . . . (intinya memberi sesuatu yang baik)”

NB : perkataan itu hanya garis besar dan seingat penulis.

saya senang, setelah saya tanyakan kepada teman sebelah saya, apa warna slayer yang ada di kepala saya? merah. ya, api. itulah saya.

Renungi Sejenak

Setiap pagi aku harus menjalani berbagai aktivitas yang bisa dibilang sibuk. Rasanya pikiran itu monoton-monoton saja. yang ada di pikiran ya itu-itu saja. kadang penat rasanya. Tanpa sadar, ternyata sekelilingku itu bisa saja menjadi sebuah refreshing mini buatku. Tapi sepertinya mereka lebih sering terabaikan. Sekeliling itu bisa saja membuat kita menjadi lebih tenang dan ingat akan nikmat Allah. Aku yakin di antara kita pasti jarang sekali memperhatikan indahnya pagi, siang, sore, maupun malam.

Saat aku berjalan santai di kampus, terkadang aku melihat sekelilingku. Saat pagi, Matahari bersinar dengan tingkat terik yang pas, burung-burung berkicau, angin yang sejuk berhembus, langit biru yang indah. Dan aku lebih merasa damai dan teringat betapa besar nikmat Allah. Indahnya bulan dan bintang membuatku ’terpesona’. Bagaimana tidak, kesadaranku akan hadirnya mereka membuatku berpikir apa yang ada di sana. Ya, kawan, ternyata nikmat dan tanda kebesaran Allah itu ada di mana-mana. Bagaimana bisa semua ini aku ’cuekin’ hampir setiap hari.

Dan baru kusadari, peringatan Allah padaku pun ternyata selama ini telah ada di sekelilingku. Nikmat-nikmat dari alam sekitar yang bisa membuatku merasa lebih damai, aku merasa itu juga sebuah peringatan dari Allah agar aku selalu bersyukur. Banyak orang yang kurang mampu di sekitar kampusku, ada yang mengemis, ada yang menjual makanan ringan dsb. Setelah kurenungkan, ini juga peringatan Allah agar aku bersyukur, aku masih lebih beruntung. Peringatan Allah agar aku tergerak untuk bersedekah.

Bahkan hujan pun harus kita syukuri, entah itu hanya gerimis ataupun deras. Aku baru menyadarinya setelah bapakku mengatakan hal ini padaku, “La, hujan kok malah ”aduh”, hujan itu harus disyukuri, alhamdulillah dong. Kita beruntung lho, hujannya berupa tetesan air. Coba kalau air hujannya langsung turun semua bersama-sama, pasti semua orang mati kan?” Subhanallah, bahkan aku tak pernah berpikir sejauh itu.


Baiklah kawan, ayolah kita tingkatkan awareness kita agar kita sadar betapa besar nikmat Allah yang tak kita sadari. Rasanya, kita seperti hanya menuntut kepada Allah jika kita tak bisa bersyukur.

Ternyata Saya Masih Beruntung

Hari ini saya bersama teman satu angkatan saya memiliki agenda berkumpul di Pulbis jam 8 pagi untuk bermusyawarah memilih ketua angkatan. Awalnya kami mengenalkan diri masing-masing agar kami bisa mengenal 256 orang dengan lebih cepat. Selanjutnya barulah si momod (baca : momot) memulai acara. sesi pertama, kelima calon, berinisial A, D, F, M, S memaparkan visi dan misinya untuk angkatan kami. Dilanjutkan dengan tanya jawab. Cerita ini muncul setelah pertanyaan tentang kesibukan dan prioritas. Dan cerita ini muncul dari jawaban si D.

Si D menjawab dengan bercerita bahwa dia memiliki seorang adik yang terpaut usia 10 tahun dengannya, mengingat sekarang pelajaran SD sekarang sulit, dia juga harus mengajari adiknya. Semuanya tertawa. Si D menenangkan suasana dengan mengatakan bahwa hal tersebut serius. Ayahnya bekerja di bidang geologi dan beliau pulang hanya satu minggu sekali. Karena itu, dia sekaligus menjabat sebagai kepala keluarga untuk menggantikan ayahnya. Terkadang dia harus pulang jika tidak ada acara penting untuk menggantikan ibunya menjaga adiknya. Dan dia tidak bisa pulang malam, kecuali jika ada alasan yang jelas.

Setelah dia beserta calon lain harus pergi untuk ke sekre himpunan, kami mendiskusikan tentang mereka satu per satu. Ada yang menambahkan tentang si D, dia bilang bahwa saat SMA dulu si D pernah tiba-tiba ditelfon ibunya untuk segera pulang menjaga adiknya. Karena berbagai pendapat dan kebanyakan karena dia mempunyai tanggung jawab sebagai anggota keluarga, si D dieliminasi. Sayang sekali, padahal menurutku dia cukup ‘capable’ untuk menjadi seorang pemimpin.

Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan. Aku ingin bercerita apa yang terlintas di pikiranku setelah mendengar cerita si D itu. Aku merasa selama ini aku kurang bersyukur akan keadaan keluargaku. aku terkadang sebal mendengar celotehan-celotehan yang kurang enak di rumah. Aku sering kesal sendiri jika harus mengajari adikku dan dia ‘ndablek’. Aku sering bikin rumah ’heboh’ karena keusilanku.

Aku baru sadar bahwa aku kurang bersyukur. Bagaimana tidak, bapakku selalu di rumah, walau lebih sering tidak di rumah, setidaknya setiap hari beliau pulang. Aku masih bisa menikmati waktu yang cukup lebih bersama keluargaku. sering aku diberi nasihat oleh orang tuaku saat kami duduk santai menikmati suasana sore. Sedangkan temanku yang satu itu, dia bisa bertemu ayahnya mungkin hanya dua hari dalam seminggu.

Aku baru sadar, aku ini seperti hanya meminta saja kepada orang tuaku. Ibuku saja masih ”nguring-nguring” masalah pekerjaanku, maksudku pekerjaan rumah seperti menyapu yang harus kukerjakan. Aku baru sadar bahwa aku ini ’mager’ sekali masalah urusan rumah. Sedangkan temanku, dia harus menjadi kepala keluarga. Bayangkan kawan! Seorang kepala keluarga untuk menggantikan ayahnya selama beberapa hari! Dan aku di rumah malah sering membuat ibuku kesal dan biasanya beliau berkata ”Liburan, ada kamu atau ngga, kok sama aja.”

Aku baru sadar, bahwa selama ini aku itu sangat beruntung bersama kedua orangtuaku terus. Saat aku pulang aku dijemput bapakku, lalu disambut dengan masakan ibuku, walaupun ekspresi ibuku biasa saja, tapi aku merasa ada ’something’ yang menunjukkan bahwa beliau itu sebernernya seneng lho.. anaknya pulang. Sedangkan ada orang lain yang mungkin tidak merasakan itu.

Sungguh mungkin aku belum tergugah jika temanku yang satu itu tidak bercerita tentang keluarganya. Terimakasih untuk temanku si D yang telah berbagi kisahnya.