Kelahiran Krucil #1
Assalamu'alaikum ...
Setelah saya mengeluh terkait kehamilan saya yang tak kunjung memperlihatkan hilal kontraksi di postingan 41 weeks, tiga hari berikutnya qadarullah akhirnya anak saya lahir.
Ternyata itu adalah kontraksi
Pada dini hari tiga hari berikutnya, saya merasakan sensasi aneh di sekitar perut dan pinggang saya. Sebenarnya sudah mulai berpikir seperti ada yang aneh sejak malamnya, tapi saya tunggu dulu.
Dini hari sekitar pukul 1.30, saya yang curiga bahwa yang saya rasakan adalah kontraksi, akhirnya mulai menggunakan aplikasi timer untuk kontraksi. Sampai jam makan sahur, saya lihat belum memenuhi akidah 5-1-1 (setiap 5 menit, kontraksi 1 menit, observasi selama 1 jam). Yasudah saya ikut makan sahur saja. Saya masih sempat mencoba pup juga melanjutkan usaha semalam yang mungkin sebenernya itu tanda kontraksi juga.
Hingga subuh, saya lihat kontraksinya masih tetap belum memenuhi akidah 5-1-1. Belum memenuhi namun sudah mendekati. Akhirnya saya bilang ibu saya sepertinya kok saya mengalami kontraksi. Ibu segera meminta mbak saya mengantar saya ke puskesmas, meski disambut dengan, "nglahirin beneran ga nih?" Tapi daripada ternyata beneran dan terlambat kan ya. Jadi saya dibonceng mbak saya naik motor ke puskesmas dengan sudah membawa perlengkapan lahiran.
Di puskesmas, kebetulan sekali saya dilayani oleh bidan yang saya cocok, bidannya ibu saya juga, Bu Waroh namanya. Setelah beliau cek, beliau bilang sudah bukaan 6. Kaget dong saya. Masa iya bukaan 6 masih kayak gitu rasanya. BTW yaampun itu pertama kalinya vagina saya "diobok-obok" sama bidan, dan itu ga enak. Selanjutnya pun saya ga suka pengecekan bukaan oleh siapapun. Hwehehe.
Sambil menunggu ambulans dan prosedur lainnya, saya masih kuat jalan-jalan dan iseng memainkan peralatan kesehatan di IGD puskesmas. Eh tapi selanjutnya ternyata ada prosedur pemeriksaan COVID. Rapid antigen saya positif. Dalam sekejap, mode pelayanan untuk saya menjadi berstandar protokol COVID. Ambulans ganti yang buat COVID, petugas yang ngantar ke RS pakai APD, dan yang nemenin saya cuma boleh 1 orang sampai akhir proses nanti.
Lahiran mode isolasi
Dalam ambulans tadi saya masih santai. Masih cengengas-cengenges. Masih kuat jalan sampai IGD.
Singkat cerita, dari IGD, saya dibawa ke ruang bersalin khusus. Sebelum pintu dikunci, ternyata Mas Darmo sudah tiba di depan ruangan tempat saya berada. Akhirnya, bukan lagi mbak saya yang akan menemani proses persalinan dan isolasi saya nanti, tapi Mas Darmo. Saya lega. Saya bisa lebih los dol ditemani Mas Darmo. Apalagi dia kan cowo ya, saya tega-tega saja ngremes-remes tangannya buat pegangan.
Tanpa mengetahui waktu sudah pukul berapa, saya melalui kontraksi demi kontraksi bersama Mas Darmo. Kami berdua saja di dalam ruangan itu. Pintu dikunci. Kami dipantau melalui kamera CCTV di ujung ruangan dan juga lewat chat WA antara bidan dengan Mas Darmo. Antara sweet dan kasihan ga si?
Lama-lama kontraksi melulu ternyata bikin capek. Di akhir-akhir saya sering ngeluh pengen tidur. Mungkin efek sejak setengah 2 sudah bangun. Tapi ya mana bisa tidur, kontraksinya datang terus. Saya cuma berbaring miring menghadap tembok sambil pegang tangan Mas Darmo.
Saya terkulai menikmati istirahat tiap kontraksi berhenti dan mengencangkan pegangan sambil mengatur nafas, juga berucap takbir (ingetnya itu).
Mas Darmo tidak bosan-bosannya, "Atur nafasnya, Sayang. Hhhhh .... Haaaaaaaah (nyontohin)." Tapi sumpe, dicontohin begini worked for me sih.
Crowning
Makin lama, sensasi kontraksinya mirip banget sama BAB pas lagi susah banget. Bawaannya pengen ngeden sampek gemeter. Saya ga tau progress perkontraksian ini sampai mana. Sama sekali ga kerasa bayinya sudah sampai mana.
Sampai akhirnya ada 2 bidan masuk dan mengatakan, "Yuk ditolong yuk."
Entah bagaimana mereka tahu bahwa saya sudah saatnya mengeluarkan bayi. Padahal mereka hanya monitor dari CCTV. Apakah pertanyaan saya "kapan boleh ngeden?" itu menjadi salah satu pertanda bagi mereka? Idk.
Posisi saya diminta berubah jadi berbaring. Padahal kalau menurut buku yang saya baca, posisi berbaring malah susah karena kurang didukung gravitasi. Tapi ya mau begimana kan ya.
Mas Darmo diminta berpindah dari posisinya. Saya tidak punya pegangan lagi. Dia malah menyingkir di depan kaki saya.
Sambil saya ngangkang, kedua bidan meminta saya untuk mengejan sekuat tenaga kayak orang bedegelen ketika kontraksi datang. Saya coba. Percobaan pertama gagal. Untuk mendukung saya, Mas Darmo sampek mencontohkan gimana cata ngeden.
"Ayo ngeden, Sayang. Hhhhhrrrgh."
"Nah, itu. Kayak bapaknya gitu ngedennya, Bu."
Di percobaan kedua, si bayi berhasil dikeluarkan.
Menurut pengakuan Mas Darmo yang bisa lihat jalan lahir, awal-awal emang kelihatan kepala bayi muntup-muntup maju-mundur gitu, Trus pas ngeden yang kedua kepalanya beneran keluar trus ditarik sama bidannya. Dia sampek terheran-heran kok bisa ya kayak gitu. Keren memang desainnya Allah.
Kami dekat namun tak dapat berjumpa
It was amazing melihat bayi yang tadinya dalam perut saya lantas saat itu diletakkan di dadasaya. Tidak lama-lama si bayi diletakkan di dada saya. Setelah tali pusarnya dipotong dan kemudian diadzani oleh bapaknya, dia dibawa ke ruangan lain: NICU.
Saya lupa selanjutnya saya harus ngeden lagi atau engga buat ngeluarin ari-ari. Tapi yang jelas, it's truly amazing. Beberapa menit pertama merekam wajah anak pertama saya. Selanjutnya Mas Darmo mengadzani si bayi. Beberapa menit pertamanya juga. Selanjutnya kami tidak diberi kesempatan bertemu anak kami hingga 5 hari ke depan.
Saya dan Mas Darmo diisolasi selama 5 hari. Sementara anak kami dievaluasi di NICU terlebih dahulu. Kami sama sekali tidak dapat bertemu anak kami. Jangankan melihat langsung, foto saja tidak diberikan oleh pihak RS. Kami hanya dapat mengandalkan memori beberapa menit pertama kami dengan bayi kami saja untuk melepas rindu.
Karena isolasi ini pula, Idul Fitri rasanya hambar. Ruang gerak kami ya hanya satu ruangan itu. Itu pun semakin sempit karena ada pasien lain yang juga diisolasi di sana. Kami jadi harus berbagi. Kegiatan yang monoton dan beberapa kejadian yang membuat bad mood membuat suasana Idul Fitri jadi hampir tidak terasa sama sekali. Saya tidak peduli dengan perkara ucapan permohonan maaf khas idul fitri. Waktu itu fokus saya adalah pulih, ASI cukup, dan tidak stress. Karena ternyata urusan isolasi ini menantang mental juga.
Pejuang ASI
Kami mengetahui kondisi bayi kami hanya melalui chat atau telepon dengan pihak NICU. Awal-awal, dokter tidak mengizinkan saya memberikan ASI kepada krucil dengan alasan COVID. Oleh karena itu, saya tidak memompa ASI saya. Padahal tetap perlu dikeluarkan ya biar saya juga sehat.
Setelah chat beberapa kali, akhirnya dokter anak memberikan izin untuk memberikan ASI. Bahagianya saya. Beruntung pompa ASI sudah dikirimkan dari rumah.
Namun, ternyata awal-awal tu ASI seret. Susah banget mendapatkannya. Beberapa kali kami dikabari pihak NICU bahwa krucil sudah mulai rewel. Akhirnya saya menyetujui pemberian susu formula. Meskipun sempat ada miskom sehingga pernah saya mendapat kabar bahwa krucil belum diberikan sufor, hanya diberi ASI saya yang ditambah glukosa, padahal saya sudah menyetujui pemberian sufor dengan catatan ASI dari saya tetap diprioritaskan.
Perjuangan mendapatkan ASI perah terus berlanjut karena ASI dari saya masih belum cukup memenuhi demand dari krucil. Pagi siang sore malam saya mompa tiap 2-3 jam sekali. Mungkin sesekali ke-skip karena ketiduran. Ternyata perjuangannya sebegitunya ya.
Kelihatan banyak karena dikempes |
Sampai akhirnya hasil pumping saya sudah cukup dengan demand dari krucil. Alhamdulillah. Saya bahagia bahwa suplai dari saya cukup. Berarti krucil bisa full minum ASI. Namun ternyata ...
Krucil diperbolehkan pulang pada hari Senin, 24 April 2023 setelah evaluasi dan urusan administrasinya selesai. Dia dijemput mbak saya. Itulah pertama kalinya kami melihat anak kami kembali, menatap wajahnya melalui layar. Akhirnya. Terima kasih Ya Allah.
Cuma bisa lihat lewat layar :( |
Dari mbak saya, saya mendapat kabar bahwa krucil ternyata diberikan sufor saja oleh pihak RS. Katanya krucil menolak diberikan ASI. Kabar tersebut auto bikin hati sedih. Lantas selama ini usaha saya untuk apa?
Mbak saya menenangkan dengan, "Nanti di rumah dicoba aja dikasih ASI." Sejak hari itu, saya suplai ASI ke rumah. Merepotkan keluarga untuk mengantar cooler bag dan mengambil ASI. Demi krucil.
Kabar baiknya, alhamdulillah krucil akhirnya mau minum ASI dari saya. kata mbak saya, mungkin pihak RS kurang telaten jadi langsung yaudah sufor aja.
Hore saya pulang
Saya dan Mas Darmo diperbolehkan pulang hari berikutnya, 25 April 2023. Kami sudah diedukasi oleh pihak RS untuk melakukan isolasi mandiri selama 10 hari. Tidak boleh dekat-dekat dengan anak saya selama itu. Sedih gitu ga sih. Serumah tapi ga bisa ketemu.
Karena saya khawatir apakah kami akan membawa virus ke rumah atau tidak, saya dan Mas Darmo mampir lab dulu sebelum pulang untuk melakukan tes PCR untuk saya, dan antigen untuk Mas Darmo. Hasilnya baru keluar esok sorenya.
Saya pulang nyeker. Sandal Gara kesayangan saya hilang di IGD |
Kami memutuskan untuk pulang ke rumah saja, tidak memilih opsi untuk menghuni rumah mbak ulpe agar benar-benar isolasi. Akhirnya, kami mengungsi di musola rumah. Membiarkan orang-orang sholat di ruangan masing-masing.
Paling tidak, akhirnya saya bisa mendengar tangis krucil dan melihatnya dari jauh.