Cerita Lama Muncul Lagi
saat buka-buka folder kutemukan ini. dulu kutulis karena memenuhi permintaan kakak mentor. tapi terimakasih, tulisan ini membuatku kembali mengenang masa laluku. mungkin postingan terpanjang.
SMA Negeri 7 Kediri, itulah SMA-ku dulu, yang awalnya aku ’terpaksa’ sekolah di sana karena kurang direstui untuk bersekolah di sekolah yang kuinginkan. Dan itu adalah kedua kalinya keinginanku bersekolah di suatu sekolah tidak dikabulkan. Yang pertama saat aku lulus dari SDN Keniten I, aku ingin melanjutkan ke SMPN 4 Kediri, SMP yang cukup favorit di kota Kediri. Namun saat keinginan itu kusampaikan kepada bapak, bapak tidak mengiyakannya, alasan beliau adalah masalah biaya. Aku masih ingat betul yang dikatakan beliau sore itu untuk merespon keinginanku, ”Gak usah ke SMP 4, biayanya lo. Di MTsN 1 saja, biar ilmu agamanya juga dapat, apalagi ditambah sekolah diniyah yang sore itu. Sekarang agamanya dikuatin dulu, nanti pas SMA terserah kamu wes, mau pilih sekolah di mana.” Ya, akhirnya aku bersekolah di MTsN 1, walau bukan keinginan utamaku, tapi aku ikhlas dan merasa nikmat dalam menjalaninya waktu itu.
Saat kelas 9 galau kembali datang. Aku mulai memikirkan akan melanjutkan sekolah di mana aku nanti. SMAN 2 Kediri, SMA terfavorit, ah tidak, bapak pasti tak kuat menanggung biaya. Akhirnya aku mempunyai 2 pilihan, SMAN 1 Kediri atau MAN 3 Kediri. Saat kusampaikan keinginanku,jawaban bapak tetap sama, ”Jangan SMAN 1 to. Bapak gak kuat mbiayai. MAN 3 ki ya larang lo la (MAN 3 itu juga mahal lo la)”. Saat itu aku benar-benar kecewa. Padahal dulu bapak sendiri yang bilang, setelah aku lulus MTs aku dibebaskan memilih ingin sekolah di mana. Padahal saat itu keinginanku sangat kuat, malah suatu hari aku pernah sampai menangis karena sangat ingin bersekolah di salah satu sekolah pilihanku itu dan tidak dikabulkan. Dan aku masih ingat itu membuat bapak yang sedang banyak pikiran berbicara dengan nada agak kasar, ”Nduk, kamu itu digubeng ’dikelillingi’ doa, kalau teman-temanmu itu digubeng duwit. Jangan ikut-ikutan temen-temen”.
Hingga suatu hari saat aku masih galau, dalam pembicaraan suatu sore bersama ibu dan mbak, mbak Ulfa menyarankan untuk sekolah di SMAN 7 saja. ”SMA 7 ae lo,” katanya. Hah? SMA 7? Di Kediri ada SMA 7? Bahkan aku baru mendengarnya saat itu. Sejak saat itu, di mana aku bersekolah selanjutnya seperti sudah ditetapkan keluargaku.
Suatu hari, aku diajak bapak untuk jalan-jelan melihat-lihat sekolah dan mencari info sekolah-sekolah. Hari itu bertepatan dengan hari pendaftaran MAN 3 Kediri. Walaupun kurang membolehkan sekolah di MAN 3, bapak tetap mengajak masuk ke MAN 3. Nyesek rasanya, sudah masuk sekolahnya, tapi tak bisa bersekolah di sana.
Seperti yang sudah kukatakan, di mana aku akan melanjutkan sekolah sudah jelas, SMAN 7 Kediri. Ternyata SMAN 7 yang selama ini tak kuketahui, kabarnya terbaik nomor 3 setelah SMAN2 dan SMAN1, tanpa memasukkan MAN ke nominasi.
Setelah dinyatakan diterima, seperti sekolah pada umumnya, pendaftaran ulang yang biasanya di dalamnya harus melunasi ini dan itu. Sebelum melakukan pembayaran, siswa-siswi baru harus mengisi berkas –berkas dan saat itu salah satunya adalah kesediaan untuk masuk kelas akselerasi. Dalam hatiku rasanya ingin juga ikut program itu setelah keinginanku tidak dipenuhi, tapi aku juga memikirkan keadaan keluarga. Akhirnya aku ragu. Hampir semua berkas-berkas diisi bapak, termasuk berkas program kelas akselerasi. Saat mengisi berkas program itu bapak benar-benar memikirkannya, beliau menanyaiku, aku hanya menjawab, ”Terserah, aku manut”. Lalu dengan mengucapkan Bismillaahirrahmaanirrahiim bapak mencentang ”Ya” pada kertas itu. Ya, bapak bersedia kalau aku mengikuti program itu. Entah karena apa, padahal aku tak diperbolehkan bersekolah di sekolah yang kuinginkan karena masalah biaya, tapi ini kenapa? Tapi aku menghormati keputusan bapakku, dan jika ingat saat mengharukan saat beliau mengisi blanko sambil mengucap Bismillaahirrahmaanirrahiim aku tahu kalau bapak tetap mengusahakan yang terbaik untukku.
Setelah melewati tes, aku dinyatakan diterima di program kelas akselerasi. Berhasil masuk kelas akselerasi adalah suatu hal yang menyenangkan bagiku, namun di sisi lain juga menjadi suatu tekanan untukku karena aku selalu terpikir keadaan keluargaku, aku takut orang tuaku tak kuat menanggung biaya sekolah di kelas akselerasi itu. Semester awal aku sering berpikir, ”Ah, keluar dari aksel saja lah. Di kelas reguler juga sudah cukup”. Aku coba sampaikan pikiranku itu ke bapak, namun bapak malah menjawab, ”sudahlah, sekolah saja, itu urusan bapak.”
Untuk masalah sekolah aku memang selalu bilang ke bapak, tidak ke ibu, karena bapak lebih mengerti masalah begituan. Ibu mendapat kabar dengan mendengar pembicaraan atau diceritakan bapak atau aku yang bercerita. Ibu itu untuk hal yang menyangkut sekolah biasanya sebagai penyalur aspirasiku kalau aku tak berani mengatakan langsung ke bapak. Juga mengingatkan bapak dengan gayanya yang terkesan seperti orang ngomel setengah marah, istilahnya nguring-nguring, untuk segera menyelesaikan masalah sekolahku.
Saat semester pertama berakhir, pembagian rapor. Pembagian rapor ini sering aku dan bapak gelisah. Yang kami gelisahkan sama, bagaimana kalau raporku tidak dibagikan karena aku belum lunas administrasi. Bahkan uang pendaftaran ulang pun belum lunas. Namun kami lega, rapor tetap dibagi, hanya tertera tulisan di lembaran yang dibagikan untuk wali murid khusus kelas aksel, ”Dewi Nala Husna kesanggupan membayar Rp600.000,00”. Ya, itu seperti suatu tagihan bagiku, entah orang tuaku menganggapnya seperti apa. Untuk semester selanjutnya, setiap pembagian rapor, kegelisahan macam itulah yang kurasakan.
Hal yang paling tak kusuka, atau lebih tepatnya kutakuti adalah saat ada temanku yang membayar SPP di pelajaran bahasa Indonesia karena guru bahasa Indonesia, bu Iswin namanya, adalah bendahara aksel. Aku selalu merasa tak karuan saat melihat ada teman yang membayar. Sungkan iya, takut iya. Dan selama di SMA aku takut pada bu Iswin. Dipanggil bu Iswin adalah hal yang menakutkan. Bukan hanya dipanggil bu Iswin, tapi siapa pun yang menyangkut tentang pembayaran uang sekolah. Disamperin pas di kelas pas ada pelajaran saja takut, apalagi dipanggil.
Hal lain yang membuatku merasakan hal yang sama adalah saat-saat akan UAS. Setiap akan UAS, siswa-siswi diberi lembaran berisi tabel yang setiap bagian tertentu harus ditandatangani orang yang bersangkutan. Setelah itu baru ditukar dengan nomor ujian. Dan bisa mendapatkan tanda tangan jika sudah bebas masalah dari orang itu. Tentu saja masalah pembayaran dan buku perpustakaan. Yang sudah pasti kudapatkan adalah tanda tangan pustakawan.
Malah pernah karena belum lunas, aku tak mendapatkan nomor ujianku, artinya aku tak bisa ikut ujian. Hingga saat hari pertama UAS itu bapakku datang ke sekolah. Entah bagaimana beliau mengurusnya, hingga aku diperbolehkan mengikuti ujian.
Ya, sepertinya masa SMA membuatku takut sendiri dengan hal yang berhubungan dengan uang pembayaran.
Namun pasti ada kesenangan di tengah kesusahan. Walaupun ’tertekan’ begitu, aku bersyukur masih bisa bersenang-senang bersama teman-teman. Aku bersyukur masih bisa mengikuti lomba-lomba yang bisa lolos sampai tingkat provinsi, walaupun belum pernah juara. Aku bersyukur, mungkin hasil belajarku menjadi obat atas pengorbanan orang tuaku.
Permasalahan tak hanya ada di sekolah. Hal yang tidak mengenakkan yang menurutku membuatku stress juga ada di rumah. Bagaimana tidak, saat aku bercerita tentang masalah sekolah ke ibuku, jawabannya adalah ”Gak usah sekolah ae”, jawaban yang tidak mengenakkan bukan? Hampir setiap hari aku mendengar nada yang memberi kesan ’muring-muring’. Ya, hampir setiap hari ibuku mengomel ke bapakku karena ekonomi keluarga kami memang semakin menurun saat itu. Menyebalkan sekali mendengar hal seperti itu. Rasanya aku ingin tidur jika merasa ’melas’ saat mendengar ocehan mereka membicarakan masalah keluarga karena ibuku itu kalau ngomel bisa melebar kemana-mana. Kalau yang diomelin bapak, nanti pasti aku, mbakku, adikku juga masuk di dalamnya. Dan sering sekali ada kalimat ini ”Nala barang, wis tak omongi ra usah nerusne sekolah ta”. Ya, hampir setiap hari aku mendengar kalimat itu. Sedih sih, tapi aku berpikir, ah itu pasti hanya untuk sedikit memberi tekanan bapak agar cepat bertindak.
Yang lebih membuat sedih adalah saat itu sering ada orang datang ke rumah, menagih. Sepertinya hampir setiap harinya ganti orang dan dari instansi yang berbeda. Bahkan pernah bapak sampai berpesan kalau ada yang mencari bilang saja gak ada. Dan itu berlaku selama mungkin hampir 3 minggu. Ya Allah... sebegitu rumitkah?
Namun walau begitu, aku tetap merasa nyaman saja di rumah, hanya saat seperti tadi saja aku ingin segera tidur agar tak mengetahuinya. Meluangkan waktu bersama keluarga saat damai membantu melupakan beban-beban. Begitu pula saat bersama teman-teman. Rasanya sejak SMA itu aku jadi resisten. Hal-hal seperti omelan yang sekiranya men-down-kan hanya berlalu begitu saja.
Tahun kedua adalah saat yang menggalaukan lagi. Aku kembali digalaukan akan ke mana aku selanjutnya. Berbagai jurusan kupertimbangkan, tapi tetap bingung. Bahkan aku sampai mambuat list aku nanti ingin yang seperti apa dan jurusan yang sekiranya cocok yang mana, dan jurusan itu yang baik di perguruan tinggi mana. Aku malah merasa tak cocok dengan konseling, karena waktu itu aku masih takut dengan guru konselingku karena beliau juga pengurus program akselerasi. Tentu saja kau tahu apa yang membuatku takut.
Hingga akhirnya aku mantap untuk memilih ITB, termasuk niat yang nekat sih. Tapi aku merasa klop dengan ITB saat itu. Kisah yang hampir sama dengan sebelumnya, bapakku punya keinginan lain. Beliau ingin aku melanjutkan ke sekolah yang punya ikatan dinas. Beliau menyuruhku mencari info tentang semua sekolah berikatan dinas. Akhirnya beliau memintaku untuk mendaftar STIS. Aku coba sampaikan keinginanku, responnya biasa saja. Malah selanjutnya beliau seperti meyakinkanku untuk bersekolah di STIS.
Teman sebangkuku, Amel, adalah sahabatku masa SMA. Kuceritakan masalahku ke Amel, aku ingat responnya yang sangat meyakinkan, ”Nal, kalau kamu memang yakin ITB ya ITB aja. Bilang ke bapak kalau kamu memang pengennya di ITB. Nal, kamu dari dulu belum keturutan sekolah di sekolah yang bener-bener kamu pengen kan? Kamu udah gede, Nal. Kalau kamu memang berhasil masuk STIS trus kamu gak betah ya sama aja.”
Akhirnya aku tetap bertahan dengan ITB dan orang tuaku tetap dengan STIS. Walaupun bapak bilang ”kamu sekolah di mana saja terserah kamu kok”, tapi bapak dan ibu seolah tetap memaksaku untuk masuk STIS. Hingga suatu hari, setelah sholat maghrib, tiba-tiba saja air mata menetes mengingat hal seperti itu.
”Kamu kenapa kok mewek?”, tanya bapak.
”Pak, aku pengen di ITB”, kataku sambil mewek khasku.
” ITB ya ITB to. Gak apa-apa kamu di ITB.
”Lha tapi sampean tetep nyuruh ke STIS...
”Ya daftar STIS sama ITB. STIS itu nanti langsung diangkat lo, La. Ya dicoba.
”Lho itu, itu namanya nyuruh ke STIS
”Ora (enggak). Ya kamu daftar dua-duanya . Kalau diterima di STIS ya di STIS aja.
Jawaban seperti itu menyebalkan bukan? Ingin rasanya aku mengatakan bahwa aku ingin bersekolah di sekolah yang benar-benar kuinginkan, selama ini aku menurut saja, tapi ini... ah, biarkan saja dulu lah. Aku turuti keinginan orang tuaku. Aku daftar STIS. Aku senang dengan tes tahap 1 nya, ada matematikanya. Dan tahap 1 aku dinyatakan lolos untuk mengikuti tes tahap 2. Untuk sekian kalinya aku meminta pada orang tuaku agar nanti kalau aku diterima di kedua-duanya, aku pilih ITB. Dan akhirnya aku mendapat respon yang sedikit mengiyakan dari sebelumnya.
Di tengah kegalauan seperti itu, masalah di sekolah tetap saja sama seperti dulu. Beberapa kali aku dipanggil untuk menghadap bu Iswin. Dan setiap panggilan itu aku tahu apa yang akan ditanyakannya. Aku bingung dengan sekolahku itu. Mereka tahu orang tuaku kesusahan, kenapa mereka tidak menawarkan bantuan ataupun keringanan biaya? Itu pertanyaan ’besar’ku.
Yah, akhirnya aku mendaftar beasiswa Bidik Misi. Aku masih ingat betapa galaunya aku waktu itu. Apakah aku bisa mendapatkan beasiswa itu? Yang membuatku galau adalah nilai gaji yang tertera di slip gaji orang tuaku cukup besar, padahal pada kenyataannya uang itu habis terpotong untuk membayar hutang.
Saat itu alhamdulillah aku mendapat kesempatan mengikuti SNMPTN Undangan. Aku masih ingat saat itu aku bersama bapak pergi ke warnet untuk mendaftar SNMPTN Undangan. Dengan diskusi yang cukup lama aku memilih perguruan tinggi. Dan akhirnya sudah selesai dengan urutan pilihan STEI-ITB, FTI-ITB, Matemaika-UGM, dan Geofisika-UGM, tinggal berdoa.
Untuk mempersiapkan ujian nasional, sekolahku mengadakan ’mabit’, siswa-siswi kelas 12 menginap di sekolah dan berdoa bersama, semacam istighosah. Dan di acara itu ada juga semacam training motivasi. Semua lampu dimatikan, ada bagian dimana hampir semua menangis. Masih keadaan lampu dimatikan, kami harus mengatakan pada teman kami doa untuk kami. Dan aku masih ingat kata-kataku bersama Amel waktu itu, saat kami masih terisak-isak.
”Mel, nanti kamu ke Jogja ya, UGM
”Iya Nal, nanti kamu ke Bandung, ke ITB, Nal.
”Mel, nanti kita satu kereta ya. Kamu ke Jogja, aku ke Bandung.
Dan subhanallah kata-kata itu terwujud nantinya.
Setelah itu, aku juga mengikuti tes ke-2 STIS karena sebelumnya aku lolos tes tahap 1. Saat wawancara dengan terang-terangan aku mengatakan jika aku diterima STIS dan ITB aku agak susah untuk melepas ITB. Mungkin karena itu aku tak diterima. Tapi wallaahu a’lam.
Selama menunggu pengumuman SNMPTN Undangan, hampir semua teman sekelasku mengikuti bimbel untuk mempersiapkan ujian tulis. Satu lagi keinginanku yang dari kecil sampai sekarang belum keturutan, ikut les di lembaga bimbingan belajar. Setiap aku mencoba mengatakannya, jawaban bappak selalu sama ”gak usah. Sudah, semampumu saja. bapak juga gak punya uang buat itu”. Tololnya aku, tak berpikir buat sekolah saja masih kurang kok minta les. Jadi, teman-temanku mengisi hari kosong setelah ujian dengan les, sementara akau menganggur hingga suatu hari aku ditawari ikut program ”Pesantren Kilat” yang juga memberikan bimbingan persiapan SNMPTN Tulis. Aku mengikutinya karena gratis. Hehe... tapi aku malah sering pulang karena aku kurang betah.
Hari semakin mendekati kelulusan. Hasil SNMPTN Undangan diumumkan saat aku di ’pondok’. Aku melihatnya bersama-sama teman-teman di pondok. Akhirnya aku memberi kabar orang rumah lewat sms.
”pak, aku keterima ITB.
Bapakku langsung menelpon. Tanya ini, tanya itu. Akhirnya aku menjelaskan ini, menjelaskan itu. Dan hari itu juga aku tahu Amel juga diterima di UGM. Ya, doa kami dikabulkan. Aku sangat bersyukur. Kedua orang tuaku juga ikut senang.
Masalah administrasi sekolah, aku merasa bingung juga. Sudah mau lulus, tapi masih belum lunas. Tapi bapak selalu bilang ”Tugasmu belajar, itu biar bapak urus”. Walaupun begitu, aku tahu sampai aku berangkat ke Bandung pun itu masih belum lunas karena saat di Bandung aku harus kembali setelah sekitar satu bulan untuk mengambil ijazah. Kebetulan saat aku berangkat, ijazahku belum jadi. Tapi, saat aku ke sekolah untuk mengambil yang terjadi adalah aku tak boleh mengambil ijazahku karena ada administrasi yang belum lunas. Nyesek juga waktu itu, sudah jau-jauh kembali ke Kediri dari Bandung, tapi tidak boleh diambil. Padahal waktu itu aku butuh untuk dipakai di ITB. Tapi sorenya saat di rumah tiba-tiba saja ijazah itu ada di mejaku. Bapakku mengambilnya, beliau tahu aku tak bisa mengambil ijazah. Entah bagaimana cara beliau bernego sehingga bisa mengambil ijazah itu. Subhanallah sekali perjuangan orang tuaku.
Dan perlu kalian tahu, doaku bersama amel tentang kereta juga dikabulkan oleh Allah. Saat pertama kali aku ke Bandung, juga menjadi kali pertamanya Amel pergi ke Jogjakarta untuk ke kampus. Dan kami sama-sama naik kereta malabar, hanya saja kami berbeda gerbong.
Dan sekarang, sekarang aku kuliah di ITB, benar-benar bersekolah di sekolah yang kuinginkan. Setelah ku-flashback, dulu, hingga sampai ada anak ITB yang sosialisasi di SMA-ku, aku belum pernah kepikiran untuk masuk ITB, tahu pun bisa dikatakan belum. Jadi, dulu itu aku tak pernah kepikiran akan seperti ini. Sungguh rencana Allah itu indah. Benar kata Danang A. Prabowo, sorang tokoh yang berhasil memotivasiku lewat video ”Pembuat Jejak”nya, ”Seindah-indahnya rencana kita, masih indah rencana Allah untuk kita”. Selalu terpikir olehku, semoga aku dapat ’membayar’ pengorbanan kedua orang tuaku selama ini. Semoga suatu saat aku bisa memberikan kontribusi yang baik, yang bisa memperbaiki bangsa ini. Semoga semuanya indah pada waktunya.
Dan sekarang, aku akan menjalani liku-liku kehidupan di ITB. Mengukir kisah baru. Akan seperti apa, menjadi apa aku nantinya, wallaahu a’lam.