Wisuda
Halo, Dunia! Perkenalkan, saya Dewi Nala Husna, sudah resmi lulus dari tempat kuliah yang berarti juga resmi menjadi masyarakat sipil (masih) pengangguran saat menulis ini. Waktunya memperbarui laman 'about'.
Yak delapan hari yang lalu saya menjalani sidang terbuka yang kedua. Rasanya biasa saja. Mungkin karena saya sudah terlalu 'tua' sehingga euforianya tak seperti euforia orang lain (dalam imaji saya).
Wis uda(h)
Ehm saya mau nyinyir eh mengungkapkan pendapat saja. Saya menemui beberapa orang yang me-mleset-kan 'wisuda' menjadi 'wis uda(h)'. Jujur, saya agak berat mengikuti hal tersebut. Lebih suka menyebutnya dengan sewajarnya saja. Saya melihat ungkapan baru itu seperti keputusan untuk berhenti sekaligus menyiratkan beratnya hal yang telah dilalui dan ingin membuang jauh-jauh semua itu. In my mind, it's like, "Akhirnya gue terlepas dari ini semua. Akhirnyaa penderitaan gue berakhir ... Udah deh. Gue ga mau mengulangnya lagi. Kapok." Parahnya lagi, saya menafsirkannya dengan niat berhenti belajar.
Menurut saya, apapun yang sudah terlewati adalah bukan hal yang sia-sia. Tuhan sudah capek-capek (Tuhan ga pernah capek sih) men-set-nya untuk meningkatkan level kita. Lagian paling ntar juga kangen semua itu. Plus, berakhir masa studi di satu lembaga bukan berarti berhenti belajar, bukan berarti ujian cuma di sana saja, malah sebenarnya kita dibawa ke tempat lain yang lebih menantang. Jadi kalau beneran 'wis uda(h)' itu berarti "penderitaan gue berakhir" sepertinya itu salah besar karena tantangan selanjutnya lebih menantang seiring dengan meningkatnya level kita.
Hahaaa cuma pendapat saya, pikiran yang nongol menanggapi istilah baru itu. Saya yakin kok orang-orang yang menggunakan istilah itu ya cuma iseng-iseng. Saya saja yang memaknainya terlalu dalam wkwk.
Anti mainstream
Sebenarnya saya merasa banyak bagian dari hidup saya ga sesuai dengan arus sekitar saya sehingga saya sering banget bilang "hidup saya anti mainstream amat sih -___-" Nah wisuda saya ternyata tak luput dari gremengan ini.
Pertama, tentu saja waktu wisuda saya yang telat setahun dari teman-teman seangkatan pada umumnya.
Agak ke belakang sedikit, buat mencapai kelulusan TA, jalan saya juga agak berbeda dari yang lain. Bahkan berbeda dari teman satu tim.
Ketiga, biasanya wisuda di kampus saya diadakan pada hari Sabtu. Kalau membludak paling ngepol Jumat lah yang pernah terjadi sebelum ini. Di periode ini, saya dapat wisuda hari Kamis.
Empat, umumnya wisudaan di kampus saya diiringi dengan arak-arakan wisudawan oleh himpunan masing-masing. Nah kali ini, himpunan saya karena suatu hal, tak bisa mengadakan arakan. Jujur ya, hampa rasanya. Udah wisudawan himpunan cuma sebelas biji, wisuda hari kamis, ga ada arakan lagi. Sebenarnya apa yang salah dengan hari kamis? Itu weekdays, sebagian ortu bekerja (buat saya ga ngaruh sih), dan ada kuliah. Akhirnya, hari itu relatif lebih sepi daripada hari sabtu yang ortu ga kerja, semua mahasiswa free dari kuliah dan bisa nongol ke tempat wisuda. Ini juga berpengaruh pada kinerja LO.
Enam, Nominasi Best Female Graduates
Pada tanggal 03 Oktober 2017 sore, saya dibangunkan oleh telepon dari Bapak Kaprodi. Kaget dong. Beliau menawari saya untuk dinominasikan menjadi best female graduates yang merupakan event dari Ericsson. Saya hanya perlu mengumpulkan esai berbahasa inggris tentang suatu tema. Saya terima tawaran tersebut. Kapan lagi saya bisa kecemplung di beginian.
Sungguh itu adalah sebuah keberntungan. Saya bisa kecemplung di sana karena saya adalah satu-satunya wisudawati dari jurusan saya. Kalau ada wisudawati lain, mungkin saja saya tak dipilih.
Ga menang sih. Pemenangnya anak S2 kalau ga salah. Tapi berkat event ini saya jadi riset, jadi belajar tantangan apa saja yang akan saya hadapi nanti jika saya menelusuri jalur yang sama dengan yang saya titi di kampus.
Saya sempat berkecil hati karena dua teman saya yang datang syukwis himpunan itu maju ke depan saat syukwis STEI karena cum laude. Saya kan engga. Dan rasanya senang sekali, berkat event ini, ada giliran saya dipanggil ke depan saat syukwis STEI. Ditambah salaman dengan perwakilan dari Ericsson dan kaprodi (?) pemenangnya (pemenangnya ga datang jadi diwakilkan ke kaprodi).
Terakhir, yang datang ke syukuran wisuda fakultas saya bukanlah ortu, mbak, ataupun om saya tapi malah ibu kos lama saya, Teh Ros saya memanggilnya.
Sebenarnya itu saja sih cerita wisuda anti mainstreamnya.
Anyway, saat syukuran wisuda STEI, saya menyadari, orang tua akan begitu bahagia dapat mendatangi acara semacam itu untuk anaknya, bagaimanapun hasil belajar anaknya. Sekedar melihat bagaimana sosok tempat yang dititipinya anaknya selama ini saja sudah bahagia apalagi melihat anaknya mendapatkan hasil yang baik dan diapresiasi di kala itu. Malam itu, saya berandai-andai. Andai saja bapak saya datang, andai saja bapak yang duduk di samping saya, bukan Teh Ros.
Daaan terima kasih untuk semua teman yang menyempatkan waktu untuk membahagiakan saya, merayakan kelulusan saya. Terima kasih untuk masih mengingat saya. Saya bersyukur atas wisuda ini. Saya bersyukur masih bisa wisuda bareng sebagian kecil teman seangkatan kuliah. Saya bersyukur dapat 'wisuda bareng' beberapa teman sekolah dulu : teman SD dan MTs. Semuanya membuat saya merasa boku wa hitori janai (bodo amat ini kalimatnya bener atau engga).
Yak delapan hari yang lalu saya menjalani sidang terbuka yang kedua. Rasanya biasa saja. Mungkin karena saya sudah terlalu 'tua' sehingga euforianya tak seperti euforia orang lain (dalam imaji saya).
Wis uda(h)
Ehm saya mau nyinyir eh mengungkapkan pendapat saja. Saya menemui beberapa orang yang me-mleset-kan 'wisuda' menjadi 'wis uda(h)'. Jujur, saya agak berat mengikuti hal tersebut. Lebih suka menyebutnya dengan sewajarnya saja. Saya melihat ungkapan baru itu seperti keputusan untuk berhenti sekaligus menyiratkan beratnya hal yang telah dilalui dan ingin membuang jauh-jauh semua itu. In my mind, it's like, "Akhirnya gue terlepas dari ini semua. Akhirnyaa penderitaan gue berakhir ... Udah deh. Gue ga mau mengulangnya lagi. Kapok." Parahnya lagi, saya menafsirkannya dengan niat berhenti belajar.
Menurut saya, apapun yang sudah terlewati adalah bukan hal yang sia-sia. Tuhan sudah capek-capek (Tuhan ga pernah capek sih) men-set-nya untuk meningkatkan level kita. Lagian paling ntar juga kangen semua itu. Plus, berakhir masa studi di satu lembaga bukan berarti berhenti belajar, bukan berarti ujian cuma di sana saja, malah sebenarnya kita dibawa ke tempat lain yang lebih menantang. Jadi kalau beneran 'wis uda(h)' itu berarti "penderitaan gue berakhir" sepertinya itu salah besar karena tantangan selanjutnya lebih menantang seiring dengan meningkatnya level kita.
Hahaaa cuma pendapat saya, pikiran yang nongol menanggapi istilah baru itu. Saya yakin kok orang-orang yang menggunakan istilah itu ya cuma iseng-iseng. Saya saja yang memaknainya terlalu dalam wkwk.
Anti mainstream
Sebenarnya saya merasa banyak bagian dari hidup saya ga sesuai dengan arus sekitar saya sehingga saya sering banget bilang "hidup saya anti mainstream amat sih -___-" Nah wisuda saya ternyata tak luput dari gremengan ini.
Pertama, tentu saja waktu wisuda saya yang telat setahun dari teman-teman seangkatan pada umumnya.
Agak ke belakang sedikit, buat mencapai kelulusan TA, jalan saya juga agak berbeda dari yang lain. Bahkan berbeda dari teman satu tim.
Ketiga, biasanya wisuda di kampus saya diadakan pada hari Sabtu. Kalau membludak paling ngepol Jumat lah yang pernah terjadi sebelum ini. Di periode ini, saya dapat wisuda hari Kamis.
Empat, umumnya wisudaan di kampus saya diiringi dengan arak-arakan wisudawan oleh himpunan masing-masing. Nah kali ini, himpunan saya karena suatu hal, tak bisa mengadakan arakan. Jujur ya, hampa rasanya. Udah wisudawan himpunan cuma sebelas biji, wisuda hari kamis, ga ada arakan lagi. Sebenarnya apa yang salah dengan hari kamis? Itu weekdays, sebagian ortu bekerja (buat saya ga ngaruh sih), dan ada kuliah. Akhirnya, hari itu relatif lebih sepi daripada hari sabtu yang ortu ga kerja, semua mahasiswa free dari kuliah dan bisa nongol ke tempat wisuda. Ini juga berpengaruh pada kinerja LO.
Wisudawan yang datang syukwis himpunan pun cuma 3/11: saya, Ikhlashul, dan Mamang Gojek |
Lima, ketidakjelasan kedatangan keluarga. Orang tua yang tak bisa datang wisuda bukan hal yang anti mainstream menurut saya. I think, there would be many people whose parents couldn't come. Wisuda saya direncanakan untuk didatangi Mbak dan Om. Semuanya sudah saya persiapkan jauh-jauh hari untuk hari Sabtu. Jadwal hari kamis yang tetiba nongol tentulah mengubah segalanya. Karena keterbatasan, ada wacana mereka tak jadi datang. Saya dirundung kesedihan, kegalauan, atau mungkin sebenarnya iri melihat orang lain keluarganya bela-belain datang, sampai ada yang beli tiket wisuda dengan harga muahal (bagi saya) demi melihat upacara sekali seumur hidup itu, sementara saya? hahaaa tapi H-2 akhirnya mereka memutuskan membeli tiket kereta baru demi Om dapat menyaksikan upacara wisuda saya -- Mbak tak bisa masuk karena bawa balita. Akhirnya saya bahagia ada mereka
Enam, Nominasi Best Female Graduates
Pada tanggal 03 Oktober 2017 sore, saya dibangunkan oleh telepon dari Bapak Kaprodi. Kaget dong. Beliau menawari saya untuk dinominasikan menjadi best female graduates yang merupakan event dari Ericsson. Saya hanya perlu mengumpulkan esai berbahasa inggris tentang suatu tema. Saya terima tawaran tersebut. Kapan lagi saya bisa kecemplung di beginian.
Sungguh itu adalah sebuah keberntungan. Saya bisa kecemplung di sana karena saya adalah satu-satunya wisudawati dari jurusan saya. Kalau ada wisudawati lain, mungkin saja saya tak dipilih.
Ga menang sih. Pemenangnya anak S2 kalau ga salah. Tapi berkat event ini saya jadi riset, jadi belajar tantangan apa saja yang akan saya hadapi nanti jika saya menelusuri jalur yang sama dengan yang saya titi di kampus.
Saya sempat berkecil hati karena dua teman saya yang datang syukwis himpunan itu maju ke depan saat syukwis STEI karena cum laude. Saya kan engga. Dan rasanya senang sekali, berkat event ini, ada giliran saya dipanggil ke depan saat syukwis STEI. Ditambah salaman dengan perwakilan dari Ericsson dan kaprodi (?) pemenangnya (pemenangnya ga datang jadi diwakilkan ke kaprodi).
Terakhir, yang datang ke syukuran wisuda fakultas saya bukanlah ortu, mbak, ataupun om saya tapi malah ibu kos lama saya, Teh Ros saya memanggilnya.
Sebenarnya itu saja sih cerita wisuda anti mainstreamnya.
Anyway, saat syukuran wisuda STEI, saya menyadari, orang tua akan begitu bahagia dapat mendatangi acara semacam itu untuk anaknya, bagaimanapun hasil belajar anaknya. Sekedar melihat bagaimana sosok tempat yang dititipinya anaknya selama ini saja sudah bahagia apalagi melihat anaknya mendapatkan hasil yang baik dan diapresiasi di kala itu. Malam itu, saya berandai-andai. Andai saja bapak saya datang, andai saja bapak yang duduk di samping saya, bukan Teh Ros.
Daaan terima kasih untuk semua teman yang menyempatkan waktu untuk membahagiakan saya, merayakan kelulusan saya. Terima kasih untuk masih mengingat saya. Saya bersyukur atas wisuda ini. Saya bersyukur masih bisa wisuda bareng sebagian kecil teman seangkatan kuliah. Saya bersyukur dapat 'wisuda bareng' beberapa teman sekolah dulu : teman SD dan MTs. Semuanya membuat saya merasa boku wa hitori janai (bodo amat ini kalimatnya bener atau engga).